Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilu, Hegemoni Nasionalisme atau Politikus?

22 Januari 2019   10:47 Diperbarui: 22 Januari 2019   11:08 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya perselisihan antara kaum pemilih di media sosial ataupun di dunia nyata membuat saya ingin bertanya. Mengapa mereka buta akan nalar mereka? Membanding-bandingkan zaman antar pemimpin? Membagi informasi-informasi kedua calon untuk saling menjatuhkan? Juga saling membuat propaganda janji-janji calon pemimpin idamannya di lini masa media sosial mereka?

Memang tidak ada yang salah dari semua itu namun yang terkadang mengganjal adalah apakah perlu kita bersimpatik segila itu? Kini setiap orang menjadi pelayan argumentasi di media sosial. 

Tidak jarang di pojok warung sana pun, masa melatih retorikanya untuk saling menjatuhkan sesama calon presiden. Merekapun berharap pada retorikanya, nanti ada yang mau bersimpatik dengannya dan sama-sama memilih calon yang menjadi idolanya.

Kini pemandangan seperti itu sangatlah lumrah. Saya memang netral dalam pilpres dan pileg kali ini. Bukan saya menganjurkan menjadi golongan putih namun bagi saya memilih atau tidak memilih itu masalah pilihan. 

Semua warga negara bebas menentukan suaranya, mau bukam atau bersuara. Saya hanya tidak mau ikut-ikut krumunan orang-orang mencari simpatik dengan buta. Saya juga tidak mau hidup saya diisi dengan menjadi kacung yang terombang-ambing dalam kecintaan terhadap ideologi politik maupun politikus.

Terus terang saya sangsi, sebelumnya pemilihan umum dilakukan dengan cara yang sama. Untuk hasilnya pun, saya yakin tidak akan jauh berbeda. Yang berkuasa tetap berkuasa, arogan tetap menjadi arogan, dan yang korupsi tetap akan korupsi. Bukan saya pesimis dengan kebaikan orang yang mengatasnamakan dirinya mengabdi pada negara, tidak! 

Saya hanya memprediksi, dengan sistem yang sama jelas akan menuai hasil yang sama pula pada akhirnya. Jadi disinipun saya memperkirakan, kecintaan mereka hanyalah ilusi yang diciptakan oleh hegemoni itu sendiri. 

Layaknya apapun bentuk hegemoni dalam masyarakat muktahir ini. Mereka tidak banyak yang sadar akan posisi dirinya sebagai masyarakat demokratis. Sistem tata sosial kehidupan kita dipenuhi hegemoni dari negara, sayangnya mereka tidak bertanya apakah ini suatu bentuk hegemoni atau bukan? Seperti sistem pendidikan, kepercayaan dan sistem lainnya yang mendominasi. Selain itu hegemoni juga bisa dari sistem ekonomi maupun segala macam ideologi politik yang ada saat ini.

Dalam kasus ini, sayapun ingin menganalisa, jalas! Kasus ini berakar dari suatu hegemoni. Tetapi dalam fenomena seperti ini, apa yang menghegemoni mereka? Kesimpulan saya mengerucut pada dua kasus yaitu antara pendidikan nasionalisme dari negara dan citra para politikus yang membudaya. Saya mengira dua cara pandang itulah yang menjadi hegemoni pra pemilu kali ini.

Tetapi yang terkuat dalam kasus ini adalah hegemoni politikus yang membudaya. Karena pengertian sebagain besar dari masyarakat kita masih berkutat pada mitos-mitos. Alam bawah sadar masyarakat kita masih terpatri pada bayangan indah ratu adil yang akan memimpim negara dengan adil dan membawa pada kesejahteraan juga kejayaan negara. Oklah, tidak masalah akan hal itu sebagai khasanah keilmuan masyarakat kita. 

Namun yang sangat disayangkan adalah kebutaan nalar masyarakat kita yang berlangsung sangat lama. Mereka tetap masih berkutat pada isu-isu itu, mendidih jika digodog retorika-retorika dari para politikus yang mereka anggap ratu adil. Padahal ratu adil terbentuk sebagai politikus hanyalah mitos yang kerajaan-kerajaan dulu ciptakan untuk melegitimasi kuasa kerajaan atas rakyatnya. Saya yakin dijaman muktahir republik inipun akan sama pada akhirnya sebagai hak kuasa negara atas rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun