Kostum dan dekor yang nampak mewah itu bagiku malah seperti membelenggu,memperkerdil para pelaku, juga karena tidak ada unsur-unsur yang dapat diolah secara cerdas sebagai sajian humor visual yang khas Cina pula.
Usul : kalau bisa, intro atau narasi 'dalang' oleh Oki dkk jangan sampai berkepanjangan. Mereka harus dibuatkan set (naskah lawakan) yang bernas dan terukur, muncul di saat tepat, membawakan 2-3 lelucon, lalu mundur lagi ke belakang. Jangan mereka dibiarkan 'liar' karena, maaf, stok lelucon yang ada di kepala dia nampak sangat-sangat terbatas."
Pemilihan tema sampai setting dari Piala Duniatawa malam itu, menurut saya meleset terkait atmosfir yang hidup pada benak masyarakat. Ini jelas merupakan kabar buruk. Yang kemudian memicu lahirnya tulisan ini.
Tentu saja, bukan diniatkan sebagai ejekan atau aksi penistaan. Tetapi diajukan dengan harapan semoga mampu menjadi bahan diskusi, syukur-syukur menjadi bahan perenungan di sana-sini.
Komedi Indonesia harus bergerak seperti ular. Ia tak mampu bergerak maju bila berada di permukaan yang licin. Ia akan bergerak bila berada di permukaan yang kasar. Dalam konteks niatan memajukan dunia komedi kita, permukaan yang kasar itu bukan pujian, melainkan kritik.
Sayangnya, kritik seringkali didaulat oleh masyarakat kita sebagai bentuk perlawanan, bukan sebagai suatu bentuk kemitraan. Kita belum mampu menerima kritik secara elegan. Tak ayal, meniru teknik lawakan call back yang terkenal itu, bangsa yang tidak menghargai kritik berpeluang besar dikutuk untuk mengulangi kembali segala kesalahan dan kejahatannya sendiri di masa lampu.
Kabar buruk lagi.
Apakah kita akan menerimanya dengan senang hati ?
Wonogiri, 4-5/5/201
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H