Mohon tunggu...
Bambang Haryanto
Bambang Haryanto Mohon Tunggu... -

Nama asli : Bambang Haryanto. Penulis humor. Menulis buku Bom Tawa Dari Afrika sd Rusia (USA, 1987) dan Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Buku ketiganya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania,2010). Buku keempat, Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, terbit Januari 2012. Tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) dan Hari Epistoholik Indonesia 27 Januari (2005). Berdomisili di Wonogiri. Blog lainnya : Komedikus Erektus di : http://komedian.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lelucon iPad dan Piala Dunia Tawa

7 Mei 2010   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kostum dan dekor yang nampak mewah itu bagiku malah seperti membelenggu,memperkerdil para pelaku, juga karena tidak ada unsur-unsur yang dapat diolah secara cerdas sebagai sajian humor visual yang khas Cina pula.

Usul : kalau bisa, intro atau narasi 'dalang' oleh Oki dkk jangan sampai berkepanjangan. Mereka harus dibuatkan set (naskah lawakan) yang bernas dan terukur, muncul di saat tepat, membawakan 2-3 lelucon, lalu mundur lagi ke belakang. Jangan mereka dibiarkan 'liar' karena, maaf, stok lelucon yang ada di kepala dia nampak sangat-sangat terbatas."

Pemilihan tema sampai setting dari Piala Duniatawa malam itu,  menurut saya meleset terkait atmosfir yang hidup pada benak masyarakat.  Ini jelas merupakan kabar buruk. Yang kemudian memicu lahirnya tulisan ini.

Tentu saja, bukan diniatkan sebagai ejekan atau aksi penistaan. Tetapi diajukan dengan harapan semoga mampu menjadi bahan diskusi, syukur-syukur menjadi bahan perenungan di sana-sini.

Komedi Indonesia harus bergerak seperti ular. Ia tak mampu bergerak maju bila berada di permukaan yang licin. Ia akan bergerak bila berada di permukaan yang kasar. Dalam konteks niatan memajukan dunia komedi kita, permukaan yang kasar itu bukan pujian, melainkan kritik.

Sayangnya, kritik seringkali didaulat oleh masyarakat kita sebagai bentuk perlawanan, bukan sebagai suatu bentuk kemitraan. Kita belum mampu menerima kritik secara elegan. Tak ayal, meniru teknik lawakan call back  yang terkenal itu, bangsa yang tidak menghargai kritik berpeluang besar  dikutuk untuk mengulangi kembali segala kesalahan dan kejahatannya sendiri di masa lampu.

Kabar buruk lagi.
Apakah kita akan menerimanya dengan senang hati ?

Wonogiri, 4-5/5/201

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun