Sekadar contoh, adalah ulah komedian favorit saya Andy Borowitz. Di tengah heboh peluncuran gadget fenomenal karya Apple Corporations, yaitu iPad, pada tanggal 3 April 2010 yang lalu, ia pun mengiris dengan lelucon bergizi tinggi.
Katanya, sabak cerdas iPad itu diramalkan akan menjadi satu-satunya pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang bukan berwujud manusia. Seloroh tingkat tinggi dalam balutan idea-driven jokes dari lulusan magna cum laude Universitas Harvard (1980) ini sungguh mematikan.
Katanya lagi, "iPad yang baru diluncurkan 24 jam saja itu sudah dikabarkan mampu sebagai solusi untuk menyelamatkan industri surat kabar, industri penerbitan, dan bahkan menyelamatkan perkawinan Tiger Woods yang terancam berantakan."
Komedi ular. Selain peka dan cerdas membingkai berita-berita hip yang hadir meledak-ledak, para komedian utamanya harus pula sensitif terhadap suasana hati rakyat yang sering menggumpal tetapi tidak serta merta muncul ke permukaan. Ketajaman dalam mengolah isu-isu yang menggumpal di benak rakyat itu, lalu menyuarakannya ketika banyak orang lain tidak berani, itulah yang membuat komedian sering disebut, meminjam istilah Jay Sankey (1998), sebagai sosok filsuf yang blak-blakan.
Sisanya, kepekaan komedian dalam menggarap sesuatu isu, sebenarnya juga dapat direncanakan sejak dini. Karena selain isu yang tiba-tiba hadir dan meledak, di kalangan masyarakat senantiasa juga dibeliti oleh isu-isu laten yang setiap rentang waktu akan hadir, atau muncul kembali, secara berkala.
Saat hari raya, tahun baru, saat ujian nasional, penerimaan mahasiswa baru, saat tenggat membayar pajak, sampai saat musim kering atau musim hujan misalnya, semua gejolak dan atmosfirnya berpeluang dijadikan bahan lawakan.
Merujuk hal itu, di negara-negara yang industri humornya sudah mapan telah terdapat lembaga kajian lawakan dengan luaran jasa yang unik. Mereka setiap awal bulan selalu menerbitkan "ramalan cuaca humor" sebagai pemandu penciptaan lawakan sehingga isi atau pesannya mampu mencocoki suasana hati masyarakat ketika lawakan tersebut dipanggungkan.
Lembaga peramal cuaca humor semacam itu belum ada di Indonesia. Mungkin itu sebabnya, mengapa pemanggungan perdana acara humor Piala Duniatawa di stasiun televisi swasta TPI, tanggal 2 Mei 2010 yang lalu, memancing tanda tanya.
Karena acara yang menurut direktur kreatifnya, yang juga sahabat saya, Harris Cinnamon, digagas mengambil momentum penyelenggaraan kejuaraan akbar sepakbola sejagat, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kok tiba-tiba justru tampil dengan kostum, dekor dan suasana berbau Cina.
Padahal, kita tahu, hari raya Imlek sudah lama berlalu. Apalagi dalam tayangan acara itu juga tak ada sentuhan terkait pertandingan sepak bola. Bahkan walau terbalut dekor dan kostum bernuansa Cina yang mewah dan mahal, saya telah menulis sentilan di wall-nya Harris Cinnamon antara lain berbunyi :
"Menurutku, sayang banget, totalitas sajian malam itu nampak tidak dirancang untuk mengeksploitasi kosmologi Cina secara komprehensif. Misalnya dimulai dari ajaran filsafat Cina yang luhur dan kaya, sampai sajian lelucon-lelucon khas Cina yang elegan, tanpa harus terjebak pendekatan berbau rasis atau stereotip yang dangkal.