"Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu," jawabnya. "Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari.
Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita."
Betul juga. Mudah kita bayangkan apa yang terjadi bila tiap hari mental kita dihajar dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Mungkin dampaknya berupa siklus tanpa henti : kekerasan, berita kekerasan, kekerasan yang lebih ganas lagi, berita kekerasan yang lebih mencekam lagi, dan seterusnya. Dan seterusnya lagi.
Bahan olok-olok. Lalu bagaimana kaitan antara kabar buruk dengan komedian ? Kabar buruk itu, utamanya yang menyangkut tokoh terkenal, baik artis, pebisnis, politisi atau birokrat yang korup, yang melakukan deviasi, senantiasa menjadi bahan santapan lezat para komedian untuk dijadikan bahan tertawaan secara bersama-sama.
Komedian terkenal Jon Stewart, menjelang tampil sebagai <i>host</i> penganugerahan Oscar di tahun 2006, mengatakan bahwa dirinya telah bersyukur kepada Tuhan. Pengarang buku humor politik laris America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction itu merujuk munculnya peristiwa tragis yang tiba-tiba terjadi.
Ibarat ia dapat durian runtuh, karena melibatkan nama besar. Wakil Presiden Dick Cheney ketika itu berburu burung puyuh bersama rekan-rekannya. Lalu secara tidak sengaja justru menembak kawannya sendiri, pengacara sohor Harry Whittington. Jon Stewart melucukannya :
"Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !"
Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Alexander Hamilton (1755-1804) melawan Aaron Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi mengapa peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika ? Bahkan masih juga relevan menjadi bahan guyonan masa kini. Karena mereka memiliki fondamen budaya literasi, budaya baca dan tulis, yang telah kokoh.
Hikmahnya, bagi saya, barangkali itulah salah satu mukjijat humor. Sebagai media untuk melestarikan nurani bangsa agar tidak terkena amnesia sejarah. Sayangnya, nampaknya tidak banyak pemangku kepentingan dunia humor kita yang mampu merenung, lalu berusaha melahirkan, mengembangkan dan menanamkan keluhuran humor semacam ini sebagai penjaga moral kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.
Kita lebih sering seperti keledai, lupa dan lupa lagi, sehingga terantuk pada lubang yang sama lagi. Apalagi terhadap dinamika politik yang terjadi. Ingatan bangsa ini memang pendek, sentil sobat saya Effendi Gazali. Akibatnya, seperti kata filsuf George Santayana (1863-1952), "mereka yang tidak mampu mengingat masa lampau akan dikutuk untuk mengulanginya kembali."
Sebagai pelaku aktif gejolak peradaban untuk menghambat proses lupa sejarah itu, komedian dituntut memiliki antena atau radar yang super peka terhadap gejolak masyarakat. Bekerjanya 24 jam per hari dan 7 hari seminggu pula. Karena hanya dengan metode ini pula leluconnya berpeluang memicu gelak, karena mampu seirama dengan detak jantung dan nurani audiensnya.