Komedi Indonesia adalah bajing yang sibuk di kandang rotornya sendiri. Ia bergerak dan bergerak, terus saja bergerak, tetapi sama sekali tidak berpindah dari tempatnya semula.
Ketika menyimak suasana audisi perekrutan calon penghibur, utamanya pelawak, dalam tajuk Piala Dunia Tawa yang diselenggarakan stasiun televisi TPI di Yogyakarta, 2/4/2010, gambaran tentang ulah bajing di kandang berputar itu berparade di depan mata saya.
Lanskap statis apa yang tampak menonjol ketika anak-anak muda masa kini ingin terjun dalam dunia hiburan, khususnya lawak ? Sebagai seorang blogger komedi, saya mencatat : lawakan tentang drakula dan kuntilanak a la Srimulat, masih ada. Banci-bancian, juga masih ada.
Lawakan hansip, juga ada. Plesetan kata yang saya kenal sejak tahun 1970 saat bersekolah di Yogya, tetap muncul lagi juga. Penampilan komedian tunggal dengan gaya bercerita, mungkin ini warisan almarhum Taufik Savalas, juga ada. Lawakan dengan menyemprotkan air dari mulut ke wajah lawan main, juga ada.
Semua adegan itu mudah mengingatkan sinyalemen almarhum Dr. Sudjoko, ahli bahasa dan intelektual dari ITB. Tiga puluh tiga tahun lalu, ketika mengantar buku karya Arwah Setiawan, Humor Jaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1977), antara lain ia menulis : "Kunci komedi itu pertama-tama ada di tangan penulis lakon. Nah, inilah yang sampai sekarang kita tidak tahu. Kita selalu mencari pelawak dulu, atau artis-artis dulu yang mengaku gampang melucu, sebab toh sama saja dengan celoteh sehari-hari."
Keluhan Pak Djoko itu dan mencermati penyelenggaraan audisi semacam sejak 2005 (tahun 2008 saya ikut audisi API-4 dan gugur pada seleksi pertama), hanya menunjukkan betapa kehadiran penulis lakon, tepatnya penulis naskah lawakan, memang tidak pernah masuk radar para pelaku industri komedi, utamanya fihak televisi. Pola pikir atau mindset semacam itulah yang membuat dunia komedi kita hanya mampu berjalan di tempat.
Keluh Sudojoko lagi : "Nawan (Arwah Setiawan) itu jenakawan dalam tulisan, bukan dalam omongan plus lewa (tingkah dibikin-bikin). Nawan tenang ini memang tidak pernah masuk pikiran dan bayangan bangsa kita tentang pembanyol. Semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah pelakon, orang panggung, orang tontonan. Bukan penulis, bukan sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua tidak mampu menulis.
Sungguh pun begitu, bagi masyarakat mohbaca dan mohnulis, itu sama sekali bukan kekurangan, malah wajar, dan sudah semestinya begitu, sebab dari dulu selamanya memang begitu. Masyarakat begini, secara mengejutkan ternyata juga pandai melahirkan sikap mohskripsi di jaman Menteri Pendidikan Syaref Thayeb."
Terima kasih, Pak Djoko. Cerminan masih kuatnya cengkeraman budaya mohbaca dan mohnulis pada bangsa kita ini, potretnya yang mutakhir, adalah kegegeran mengenai wabah plagiasi di kalangan akademisi kita sampai maraknya bisnis pembuatan skripsi bagi mahasiswa S-1 sampai S-3 di perguruan tinggi kita.
Sepulang dari menonton acara audisi di Yogya itu, setelah pula ngerumpi dengan sahabat maya saya Harris Cinnamon, yang Direktur Kreatif TPI, yang menari di kepala adalah tuntutan untuk kembali menyuarakan keprihatinan lama itu. Memang benar Indonesia membutuhkan pelawak-pelawak baru, tetapi sebenarnya jauh lebih membutuhkan banyak sekali penulis-penulis lawak yang baru pula.
Syukur-syukur bila bisa terjadi seperti halnya di negara-negara yang industri komedinya begitu maju, bahwa semua komedian haruslah mutlak seorang penulis juga. Seorang komedian dan aktor sekaliber pemenang Oscar, Robbin Williams sampai sutradara Tom Shadyac dengan karya-karya film dengan bintang Jim Carrey, pada awal kariernya sebagai komedian tunggal juga harus menulis naskah lawakannya sendiri pula.
Bahkan kalau Anda cermat membaca-baca tayangan kredit pada pemutaran film-film laris dunia, misalnya Avatar, Anda akan menemui data bahwa James Cameron adalah produser, sutradara dan sekaligus penulis untuk film maha laris itu. Seorang Nora Ephron (ia bangga sebagai seorang blogger di usia 69 tahun) dan kadang bersama saudaranya Delia Ephron, yang antara lain pernah melahirkan film komedi romantis Harry Meet Sally (1989), Sleepless in Seattle (1993) sampai Julie & Julia (2009), selain menjabat sebagai produser atau sutradara, selalu saja juga tampil sebagai penulis naskahnya.
"Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal," tutur Arwah Setiawan dalam buku Humor Jaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1977). Konsideran tentang masuk akal itulah yang kiranya terus saja terasa langka dalam karya-karya kreatif bangsa kita.
Misalnya, harian Kompas (Minggu, 28/3/2010) saat mengupas wabah genre hantu-hantuan dalam film kita, terdapat beberapa tonjokan yang menohok. Terutama menyangkut logika yang lemah dalam konstruksi cerita-cerita dari film hantu-hantuan kita itu. Selebihnya, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Dr. Mukhlis PaEni, sambil merujuk film tentang perempuan yang diperkosa hantu, memberi penjelasan mengentak :
"Ini cerminan betapa konyolnya budaya kita, di mana orang yang hidup sudah tidak bisa memberi hiburan sehingga tugas memberi hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu," katanya sambil tertawa.
Solusi dari semua kekacauan itu, barangkali kita bisa bercermin dari seorang Kevin Kelly. Terkenal sebagai seorang maverick dari majalah gaya hidup digital Wired, ia mengatakan dalam salah satu artikelnya betapa orang yang tumbuh dalam lingkungan teknologi baca dan tulis berfikir dengan cara berbeda.
"Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa orang berfikir berbeda ketika membaca. Membaca dan menulis merupakan sarana kognitif yang begitu kita kuasai akan merubah cara otak dalam mengingat fakta dan mengkonseptualisasikan gagasan. Pelbagai perubahan tersebut akan merangsang kinerja pemikiran secara abstraks."
Dunia kreatif Indonesia, terutama dunia sinema dan komedi kita, masihkah Anda mau mendengar ujaran Kevin Kelly di atas ? Menteri Pendidikan Nasional dan para pemangku kepentingan dunia pendidikan kita seharusnya juga mendengarkan. Karena semua sumber masih lemahnya budaya literasi bangsa ini sebagian besar memang berasal dari hulu yang satu ini pula.
Tanpa pembenahan secara radikal, bangsa kita akan selalu saja bergerak seperti seekor bajing dalam kandang rotornya. Menghabiskan enerji, tetapi tidak pernah sampai kemana-mana !
Wonogiri, 10/5/2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H