Mohon tunggu...
Bambang Haryanto
Bambang Haryanto Mohon Tunggu... -

Nama asli : Bambang Haryanto. Penulis humor. Menulis buku Bom Tawa Dari Afrika sd Rusia (USA, 1987) dan Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Buku ketiganya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania,2010). Buku keempat, Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, terbit Januari 2012. Tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) dan Hari Epistoholik Indonesia 27 Januari (2005). Berdomisili di Wonogiri. Blog lainnya : Komedikus Erektus di : http://komedian.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bajing Putar, Dunia Komedi Kita

10 Mei 2010   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komedi Indonesia adalah  bajing yang sibuk di kandang rotornya sendiri. Ia bergerak dan bergerak, terus saja bergerak, tetapi sama sekali tidak berpindah dari tempatnya semula.

Ketika menyimak suasana audisi perekrutan calon penghibur, utamanya pelawak, dalam tajuk Piala Dunia Tawa yang diselenggarakan stasiun televisi TPI di Yogyakarta, 2/4/2010, gambaran tentang ulah bajing di kandang berputar itu berparade di depan mata saya.

Lanskap statis apa yang tampak menonjol ketika anak-anak muda masa kini ingin terjun dalam dunia hiburan, khususnya lawak ? Sebagai seorang blogger komedi, saya mencatat : lawakan tentang drakula dan kuntilanak a la Srimulat, masih ada. Banci-bancian, juga masih ada.

Lawakan hansip, juga ada. Plesetan kata yang saya kenal sejak tahun 1970 saat bersekolah di Yogya, tetap muncul lagi juga. Penampilan komedian tunggal dengan gaya bercerita, mungkin ini warisan almarhum Taufik Savalas, juga ada. Lawakan dengan menyemprotkan air dari mulut ke wajah lawan main, juga ada.

Semua adegan itu mudah mengingatkan sinyalemen almarhum Dr. Sudjoko, ahli bahasa dan intelektual dari ITB. Tiga puluh tiga tahun lalu, ketika mengantar buku karya Arwah Setiawan,  Humor Jaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1977), antara lain ia menulis : "Kunci komedi itu pertama-tama ada di tangan penulis lakon. Nah, inilah yang sampai sekarang kita tidak tahu. Kita selalu mencari pelawak dulu, atau artis-artis dulu  yang mengaku gampang melucu, sebab toh sama saja dengan celoteh sehari-hari."

Keluhan Pak Djoko itu dan mencermati penyelenggaraan audisi semacam sejak 2005 (tahun 2008 saya ikut audisi API-4 dan gugur pada seleksi pertama), hanya menunjukkan betapa kehadiran penulis lakon, tepatnya penulis naskah lawakan, memang tidak pernah masuk radar para pelaku industri komedi, utamanya fihak televisi. Pola pikir atau mindset semacam itulah yang membuat dunia komedi kita hanya mampu berjalan di tempat.

Keluh Sudojoko lagi : "Nawan (Arwah Setiawan) itu jenakawan dalam tulisan, bukan dalam omongan plus lewa  (tingkah dibikin-bikin). Nawan tenang ini memang tidak pernah masuk pikiran dan bayangan bangsa kita tentang pembanyol. Semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah pelakon, orang panggung, orang tontonan. Bukan penulis, bukan sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua tidak mampu menulis.

Sungguh pun begitu, bagi masyarakat mohbaca  dan  mohnulis, itu sama sekali bukan kekurangan, malah wajar, dan sudah semestinya begitu, sebab dari dulu selamanya memang begitu. Masyarakat begini, secara mengejutkan ternyata juga pandai melahirkan sikap mohskripsi  di jaman Menteri Pendidikan Syaref Thayeb."

Terima kasih, Pak Djoko. Cerminan masih kuatnya cengkeraman budaya mohbaca dan mohnulis pada bangsa kita ini, potretnya yang mutakhir, adalah kegegeran mengenai wabah plagiasi di kalangan akademisi kita sampai maraknya bisnis pembuatan skripsi bagi mahasiswa S-1 sampai S-3 di perguruan tinggi kita.

Sepulang dari menonton acara audisi di Yogya itu, setelah pula ngerumpi dengan sahabat maya saya Harris Cinnamon,  yang Direktur Kreatif TPI, yang menari di kepala adalah tuntutan untuk kembali menyuarakan keprihatinan lama itu. Memang benar Indonesia membutuhkan pelawak-pelawak baru, tetapi sebenarnya jauh lebih membutuhkan banyak sekali penulis-penulis lawak yang baru pula.

Syukur-syukur bila bisa terjadi seperti halnya di negara-negara yang industri komedinya begitu maju, bahwa semua komedian haruslah mutlak seorang penulis juga. Seorang komedian dan aktor sekaliber pemenang Oscar, Robbin Williams sampai sutradara Tom Shadyac dengan karya-karya film dengan bintang Jim Carrey,  pada awal kariernya sebagai komedian tunggal juga harus menulis naskah lawakannya sendiri pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun