Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

A Magic Carpet Ride: Bagaimana Menumbuhkan Nalar Puitis Murid-murid SMA Al Izhar Pondok Labu?

29 November 2023   06:35 Diperbarui: 30 November 2023   06:55 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Bagi saya,  pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran, ketika akan memulai pembelajaran adalah bagaimana mengawalinya dengan sesuatu yang menyenangkan, menyentuh perasaan dan makna yang terdalam bagi diri peserta didik? Dengan demikian pembelajaran tidak melulu membahas konten kurikulum, tetapi melatih kepekaan rasa, menumbuhkan emosi positif, melihat segala sesuatu dengan perspektif yang berbeda sehingga pemahaman menjadi lebih utuh. Sebagai guru geografi, pertanyaan yang sangat menantang adalah bagaimana melalui pembelajaran ini saya mampu memperkaya "jiwa estetika" anak-anak? Bukankah tanpa estetika maka kehidupan manusia akan menjadi steril, monoton dan tanpa makna? Sebagaimana yang dikemukakan oleh filsuf Bertrand Russel, "Pengetahuan dan perasaan adalah sama pentingnya dalam kehidupan individual dan masyarakat. Dunia tanpa kesukaan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai". Jadi, peran seni dan sains sama pentingnya bagi kehidupan manusia. Bahkan jika kita perhatikan dengan seksama, produk-produk berbasis teknologi selalu mengandung unsur artistik, seperti kendaraan bermotor, gadget, arsitektur bangunan, dan tak terkecuali kendaraan pembunuh seperti pesawat tempur, pembom atau tank pun mengandung unsur keindahan dalam rancang bangunnya.

Menumbuhkan Nalar Puitis

            Mari kita bermain peran. Jika Anda adalah murid-murid kelas X IPS SMA Al Izhar Pondok Labu dan mengikuti pembelajaran geografi, apa yang Anda bayangkan? Apakah Anda memperkirakan, guru akan mengawali kegiatan dengan mengecek kehadiran, menanyakan kabar, dan selanjutnya menjelaskan apa itu geografi, sesuatu yang sangat membosankan dan mudah dilupakan, sebagaimana biasa ditemui pada beberapa mata pelajaran lainnya? Namun bagaimana jika guru memulai dengan mengajak murid-murid menyimak lagu "A Whole New World", dilanjutkan dengan diskusi dengan pertanyaan kunci, lirik mana yang paling menyentuh perasaan, apa hubungannya dengan geografi, adakah liriknya yang relevan untuk menggambarkan geografi? Apakah Anda (sebagai murid) mendapatkan sesuatu yang berbeda dibandingkan sebelumnya, menemukan horizon serta kesadaran baru?

            Dalam suatu diskusi ada seorang anak yang bertanya, "Pak, bagaimana jika saya menafsirkan geografi sebagai A Magic Carpet Ride, apakah boleh?" Saya jawab, "Sangat boleh. Tetapi kalimatnya harus dituntaskan. Perlu ada penjelasan tambahan." Kemudian anak tersebut melanjutkan, "Karena jika merujuk pada teks lagu tersebut, dengan 'karpet ajaib' kita akan mampu melihat bumi secara utuh, melalui sudut pandang yang menakjubkan yang bukan hanya mimpi. Tapi ini kenyataan." Bagi saya, anak tersebut sudah membuka pintu masuk sebelum merambah ke hal-hal lebih teknis. Pemahamannya dimulai dari narasi puitis pada lirik lagu tersebut yang akan lebih mudah dipahami dan tersimpan dalam memori jangka panjangnya.

            Pada kesempatan lain seorang anak menyampaikan pendapat kritisnya, "Bagi saya lirik the world shining, shimmering, splendid, tidak selalu tepat, karena terkadang dunia ini menakutkan, mengerikan, serta merenggut nyawa, misalnya saat terjadi bencana, peperangan dahsyat, atau wabah seperti yang pernah kita alami. Jadi dunia ini kontradiktif, mengagumkan sekaligus mengerikan." Terus terang saya tersentak mendengar pernyataan kritis tersebut. Terkejut sekaligus terpesona mendengar penjelasan yang lugas dan tajam dari murid yang baru pertama kali berjumpa pada pembelajaran perdana tersebut.  Bagi saya, tujuan membuka pembelajaran geografi dengan lagu romantik, sudah melampaui harapan yang saya dambakan. Ternyata tidak hanya membuat anak-anak rileks, senang, dan tumbuh kemampuan nalar puitisnya, tetapi juga berkembang nalar imajiner serta kritisnya. Sesuatu yang sebelumnya tidak saya bayangkan.

            Proses kreatif seperti inilah yang sangat dibutuhkan,  sehingga pembelajaran menjadi bagian dari solusi atas suasana jenuh yang seringkali dirasakan peserta didik. Dalam sebuah proses kreatif, tidak ada kata salah. Yang akan Anda dapatkan sebagai guru adalah proses pertumbuhan, perkembangan kesadaran, dan pengayaan pengalaman, karena pengalaman "gagal" pun, jika dibingkai dengan makna, jauh akan lebih berharga dibandingkan dengan kesuksesan yang tidak direfleksikan.

            Kondisi masyarakat yang cenderung monolitik dan reduksionis dalam melihat realitas, menjadi pemicu berkembangnya sikap arogan, merasa diri paling benar dan paling penting dibandingkan yang lainnya. Ilmuwan alam dan teknik memandang rendah ilmuwan sosial-humaniora, dokter menyepelekan tabib dan dukun, birokrat dan politisi nyinyir terhadap para pemimpin informal masyarakat, para konglomerat merasa lebih superior dibandingkan pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), pemeluk agama mayoritas memandang sesat para penganut kepercayaan lokal, bahkan sangat sering terjadi para tokoh agama saling mengkafirkan hanya karena mereka berbeda penafsiran dalam suatu isu tertentu. Diakui ataupun tidak, sebagian dari kita sering menganggap rendah imajinasi yang dipandang sebagai dunia antah berantah tak berguna. Semuanya harus nyata, merujuk pada pengalaman empiris yang objektif. Tidak ada ruang bagi mimpi dan imajinasi.

            Bagi saya, fenomena tersebut sangat membahayakan bagi kita sebagai sebuah bangsa dan umat manusia, karena telah terjadi pemiskinan dan pemicikan kesadaran. Jika saya menggunakan metafora spektrum elektromagnetik yang ada di alam semesta ini, cahaya yang mampu kita lihat hanya sekitar 1 per 10 triliun dari keseluruhan spektrum cahaya yang ada. Maka bisa jadi, kesadaran kita pun hanya sebagian kecil dari samudera kesadaran yang terhampar di jagat raya ini. Dibutuhkan kerendahan hati untuk menyadari kenyataan ini.

            Kita perlu menggunakan "kaca mata majemuk" dalam memandang kompleksitas kehidupan. Kita harus memperluas ruang-ruang perjumpaan untuk saling berbagi perspektif kesadaran. Kita harus merevitalisasi peran imajinasi dalam membangun peradaban umat manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Bahkan astronom Carl Sagan menegaskan, "Tanpa daya imajinasi kita tidak akan bisa pergi ke mana-mana". Manusia akan mengalami semacam stagnasi dalam kehidupannya. Bukankah republik ini berawal dari imajinasi para pendirinya, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo dan yang lainnya? Mereka bermimpi secara kolektif dan mimpi itu sekarang telah menjadi kenyataan.

            Dalam buku Sapiens yang sangat berpengaruh pada minelium ini, Yuval Noah Harari menuturkan bahwa prestasi tertinggi umat manusia dicapai melalui imajinasi, diraih dengan spektrum kesadaran yang disebut tatanan khayali (imagined order). Berbeda dengan binatang yang hanya hidup dalam realitas objektif, seperti lembah, gunung, hutan, danau, sungai, laut, hujan dan seterusnya, dengan kekuatan bahasanya sapiens mampu menciptakan "realitas imajiner" yang sebelumnya tidak ada. Sistem ekonomi, sistem politik, sistem hukum, hak azasi manusia, korporasi, lembaga kenegaraan, konsep negara-bangsa, karya seni, bahkan sistem keyakinan/agama adalah prestasi-prestasi tertinggi sapiens yang dicapai melalui imajinasi.

            Dengan demikian, maka sistem pendidikan kita harus mampu menumbuhkembangkan imajinasi anak-anak didik menjadi lebih kaya dan membingkainya dengan kerangka etika welas asih (compassionate ethic). Karena sebagaimana seluruh aspek kehidupan manusia, tatanan imajinasi juga punya sisi gelapnya. Peperangan dahsyat, pemusnahan etnis, penindasan, terorisme, dan sikap intoleran, berkembang dari imajinasi egosentris, yang jauh dari nilai-nilai kasih sayang sebagai sesama umat manusia. Nalar puitis adalah pendekatan alternatif yang berupaya mengembangkan jiwa estetika dan empati peserta didik, di tengah gerusan nalar logis yang cenderung linear dan hitam putih dalam memandang segala sesuatu. Bukankah hal tersebut selaras dengan tujuan pendidikan nasional kita, yang mendambakan generasi muda Indonesia menjadi "manusia seutuhnya", manusia yang multidimensi serta berguna bagi sesamanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun