Sebagai seorang guru di lembaga pendidikan bernafaskan Islam, saya punya "tanggung jawab moral dan gairah", paling tidak secara pribadi, Â untuk mengitegrasikan antara sains yang saya ampu dengan ajaran agama (Islam). Pertanyaannya adalah mungkinkah hal itu dilakukan? Mengapa dianggap penting? Bagaimana caranya?Â
Mendobrak Kebekuan RutinitasÂ
Suatu hari, pada pembelajaran geografi di kelas X (sepuluh), saya menyiapkan lima Al-Quran dengan terjemahannya, dan meletakannya pada setiap baris tempat duduk.Â
Guru: "Bagi kalian yang bersedia, silakan ambil Quran yang ada di meja depan dan cari surat An-Naml ayat 88."
Lima anak mengambil Quran tersebut. Beberapa saat kemudian.Â
Guru: "Ada yang sudah menemukan?"Â
Murid: "Belum pak."Â
Murid: "Tunggu sebentar."Â
Murid: "Bagaimana cara mencarinya pak?"Â
Murid: "Saya sudah nemu pak."Â
Guru: "Silakan kamu baca tulisan Arab dan tersejamahannya."Â
Kemudian anak tersebut membacanya dengan lancar dan lantang.Â
Surat An-Naml Ayat 88, terjemahannya: "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Dari ke lima anak yang membaca ayat tersebut, saya menemukan tiga kategori kompetensi anak, yaitu lancar, kurang lancar, dan mengeja (sangat lambat). Dalam konteks ini saya tidak berkompeten menilai benar-tidaknya dari segi tata aturan pembacaannya.Â
Guru: "Apa yang kamu pahami dari uraian ayat tersebut bahwa gunung-gunung itu bergerak laksana awan berjalan? Jika saya mengamati gunung Salak yang bisa dilihat dari jendela ruang guru di lantai dua, sejak awal saya bekerja  di SMA Al-Izhar 25 tahun yang lalu, saya tidak menemukan perubahan posisi dari dulu hingga sekarang, sebagaimana yang disinyalir oleh ayat tersebut. Ada yang ingin berpendapat?"Â
Murid: "Mungkinkan ayatnya yang salah pak?"Â
Murid: "Atau mungkin terjemahannya yang kurang tepat?"Â
Murid: "Iya, saya juga bingung."Â
Murid: "Berdasarkan pemahaman yang saya dapat dari berbagai sumber, permukaan bumi ini terdiri dari beberapa lempeng tektonik yang terapung-apung di atas lautan magma. Mereka bergerak ke berbagai arah, ada yang berbenturan, menjauh, dan berpapasan. Â Karena gurung-gunung tersebut berada dia atas lempeng tektonik, maka ketika lempeng-lempeng tersebut bergerak, secara otomatis gunung-gunung juga bergerak, termasuk kita yang berada di atasnya. Jadi pergerakan gunungnya tidak kita lihat karana kita turut begerak bersamanya."Â
Guru: "Terimakasih, kamu sangat mencerahkan. Semoga menjadi ladang amal kebaikan bagi kamu dan menginspirasi yang lainnya."Â
Guru: "Apa yang kalian dapatkan dari diskusi kita tentang surat An Naml ini?"Â
Murid: "Untuk bisa memahami kandungan sebagian ayat Al-Quran, butuh penjelasan dari  sains."Â
Murid: "Tidak cukup hanya bisa berbahasa Arab untuk bisa mengerti ayat-ayat Al Quran."Â
Murid: "Kajian Al-Quran juga bisa dilakukan di universitas atau lembaga-lembaga ilmiah, bukan hanya di pesantren pak."Â
Membudayakan LiterasiÂ
"Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Sangat Pemurah. Yang telah mengajarkan penggunaan kalam. Yang telah mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahuinya." (Al-'Alaq: 1-5).Â
Kutipan ayat di atas merupakan fondasi teologis dalam konsep literasi, sehingga saya sebagai penganut Islam punya landasan yang kokoh mengapa  literasi harus menjadi program unggulan di Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu. Dalam memasuki revolusi informasi yang sedemikian dahsyat karena perkembangan teknologi informasi, maka program literasi yang dirancang harus mencakup tiga ranah tujuan, yaitu:Â
1) dimensi spiritualitas, memahami dari mana kita berasal, untuk apa kita tercipta, dan arah mana yang harus kita tujuÂ
2) dimensi karakter, menekankan pada dimensi kedalaman batin, peningkatan kesadaran ruang, waktu, dan peran (sebagai pelajar, sebagai anak, sebagai teman, sebagai kakak/adik, sebagai warga negara, sebagai umat Islam, dan sebagai umat manusia)Â
3) dimensi kompetensi/keahlian, meningkatkan kompetensi sains dan teknologi  sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Tentu saja dalam proses implementasinya, hal itu harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik di unit masing-masing berdasarkan kebutuhan tumbuh kembang mereka.Â
Contoh aktivitas yang saya lakukan tersebut merupakan upaya membudayakan literasi baik pada tingkat dasar, yaitu proses pembacaan teks (kitab suci), maupun literasi pada tingkat lanjut yaitu mengeksplorasi pemahaman dan berbagi sudut pandang antara peserta didik, yang diharapkan bisa memperkaya wawasan dan kesadaran tentang pentingnya mengkaji segala sesuatu dari berbagai perspektif.Â
Yang perlu terus diupayakan oleh para guru adalah bagaimana mendokumentasikan setiap upaya tersebut sehingga bisa berbagi dan saling menginspirasi. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana proses literasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak, mulai dari tinggkat PAUD, SD, SMP, dan SMA. Untuk itu mutlak dibutuhkan kreativitas para guru yang paham betul karakteristik murid-murid dan mata pelajarannya. Dalam proses kreativ, tidak ada istilah benar dan salah, yang ada adalah proses pertumbuhan berkelanjutan, jika kita mau saling berbagi pengalaman.
Â
Memotret Hubungan Sains dan AgamaÂ
Supaya kita memiliki pemahaman yang lebih utuh tentang dinamika hubungan sains dan agama, saya akan mengupas secara singkat bagaimana pola hubungan itu terjadi, merujuk pada buku Ian G. Barbour, "When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners". Pada buku ini,  Barbour  memetakan pola hubungan sains dan agama ke dalam empat pendekatan yaitu, konflik, independensi, dialog, dan integrasi.Â
Di mana posisi kita dan pola hubungan apa yang kita jadikan acuan, akan sangat menentukan perilaku kita dalam keseharian, dan bagi seorang guru tentu saja akan mempengaruhi rancang bangun proses pembelajaran yang akan dilakukan.Â
Pendekatan KonflikÂ
Pada pendekatan ini, kita akan meninjau dua kasus bersejarah sebagai contoh pandangan konflik. Kasus yang pertama adalah pengadilan terhadap Galileo tahun 1633. Gaileo mendukung teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari, dan menolak Ptolomaeus bahwa matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi. Penyebab digelarnya pengadilan atas Galileo adalah otoritas ilmiah Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolomaeus yang diterima secara luas di Eropa sejak abad ke-12.Â
Penyebab lain adalah otoritas kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Di atas semua itu, peyebab terpenting adalah tantangan Galileo terhadap otoritas gereja. Galileo membuka pintu konflik dengan mengatakan, "Kita harus menerima tafsiran harfiah atas Alkitab, kecuali jika ada teori sains yang terbukti secara tak terbantahkan."Â
Kasus kedua yang bisa dijadikan sebagai contoh dalam pendekatan konflik ini adalah perdebatan seputar teori evolusi Charles Darwin, yang mendapat dukungan dari beberapa ilmuwan lainnya, seperti Richard Dawkins, Daniel Dannett, dan sebagainya. Kini potret populer "perang sains melawan agama" dipertajam oleh media karena kontroversi antara materialism ilmiah  versus  literalisme biblikal. Kedua pandangan ini berasumsi bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan dalam domain yang sama (sejarah alam), sehingga orang harus memilih satu di antara dua.   Â
Pendekatan IndependensiÂ
Suatu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan "masalah" yang ditelaah, "domain" yang dirujuk, dan "metode" yang digunakan.Â
Ini merupakan jenis-jenis pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun independensi dan otonomi dalam kedua bidang ini. Jika ada dua wilayah hukum, sains dan agama pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tak mencampuri yang lain. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap area kehidupan.Â
Pendekatan DialogÂ
Pendekatan ini memotret hubungan yang lebih konstruktif antara sains dan agama dari pada pendekatan konflik dan independensi. Namun, dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana yang diajukan pendukung integrasi. Dialog mungkin muncul dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah, atau mengeksplorasi kesejajaran metode antara sains dan agama. Dalam membandingkan sains dan agama, dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan, metode, dan konsep. Sebaliknya, independensi menekankan perbedaan yang ada.Â
Pendekatan IntegrasiÂ
Beberapa ilmuwan menyerukan perumusan ulang gagasan-gagasan teologis tradisional yang lebih ekstensif dan sistematis. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi. Dalam Natural Theology, terdapat klaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dan didukung oleh bukti tentang desain alam, yang membuat kita semakin menyadarinya.Â
Dalam Theology of Nature, sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi teori-teori ilmiah bisa berdampak kuat atas perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia. Dalam Sintesis Sistematis, sains dan agama memberikan konstribusi bagi perkembangan peradaban umat manusia.Â
Itulah sekelumit uraian tentang pola hubungan antara sains dan agama, yang masing-masing akan memberikan implikasi bagi perkembangan kesadaran saintifik dan religiusitas kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas pendidik. Saya tidak akan memberikan kesimpulan pendekatan mana yang harus kita pilih. Silakan setiap kita merenungkan, merefleksikan, dan mengambil kesimpulan dengan fondasi nilai kebermanfaatan dan kemanusiaan.Â
Yang terakhir, saya akan menampilkan kutipan hasil wawancara antara Philip Clayton dengan seorang astronom dari Institut Astrofisika Paris, Bruno Guiderdoni, yang dimuat pada buku Faith in Science.Â
Philip Clayton: "Pengaruh religius apa saja yang Anda terima pada masa kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam?"Â
Bruno: "Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan dalam suatu tradisi agama tertentu. Saat saya mempelajari sains, saya dapati ada sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya mencari jenis pengetahuan lain, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika Serikat, tetapi di Perancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan. Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan dan harapkan. Bagi saya, Islam yang sekarang saya anut, merupakan agama pertengahan antara agama-agama Barat (Yahudi dan Kristen) dan agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun sebagaimana Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah, terutama oleh faham fundamentalis yang menggunakan cara kekerasan. Hal yang sangat penting adalah baik dalam pencarian sains maupun pencarian religius, saya temukan keduanya dalam Islam". Â Â Â
Bahan bacaan:Â
Barbour, Ian G. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners. HerperCollins Publiser, 2000.Â
Richardson, W. Mark and Gordy Slack. Faith in Science: Scientists Search for Truth. Rotledge, 2001.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H