Murid: Saya tidak menerima penugasan tersebut, bukan berarti saya tidak mencintai bangsa saya. Saya mencintai bangsa sendiri sekaligus mencintai umat manusia walaupun tidak sebangsa. Seandainya saya menerima tugas tersebut, menjatuhkan bom nuklir di wilayah musuh, pasti yang akan jadi korban tidak hanya anggota militer yang ada di wilayah tersebut, namun juga rakyat jelata yang tidak berdosa, mulai dari anak balita hingga manula. Saya tidak rela jika kecintaan saya pada bangsa dan negara harus mengorbankan manusia lain yang tidak berdaya dan bersalah.
Itu adalah sekelumit dialog pembuka sebelum saya masuk ke materi geografi pada semester 2 kelas XI Jurusan Ilmu Sosial untuk pokok bahasan Sumber Daya Alam (SDA), terutama tentang keterbatasan energi, sehingga energi  nuklir menjadi energi alternatif yang sangat efisien. Sebagian dari pernyataan murid tersebut saya rekam dengan video dan saya posting di media sosial (Instagram) dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Perspektif Filsafat Moral
Perbedaan pandangan tersebut menimbulkan pertanyaan filosofis, apakah pilihan moral memiliki nilai absolut atau relatif? Apakah nilai-nilai moral berlaku "universal" untuk semua tempat, masyarakat dan kondisi, atau "kontekstual", tergantung pada masyarakat dan keadaan yang sedang berlangsung? Perdebatan ini sebenarnya sudah berlangsung lama sejak abad ke 5 - 4 sebelum Masehi antara Protagoras yang mengusung Relatifisme Moral dengan Socrates yang mengumandangkan Universalitas Moral, dan hingga saat ini oleh para pemikir Etika.
Jika kita kaitkan dengan kasus pemboman nuklir yang membumihanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki, apakah para awak pembom B-29 menerima penugasan tersebut karena dorongan kecintaan pada bangsa dan negara, dengan menampikan pertimbangan kemanusiaan, ataukah ada penjelasan lain yang lebih utuh? Dalam konteks kasus ini, apakah kecintaan seseorang pada bangsa dan negaranya bisa bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, atau sebaliknya, pemihakan pada kemanusiaan berarti mengabaikan kecintaan pada bangsa dan negaranya?
Untuk bisa memberikan landasan filosofis dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menguraikan fakta historis berikut ini.
Pada tanggal 2 Agustus 1939, Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, yang memberikan rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom. Dalam surat itu, Einstein antara lain mengatakan, " saya percaya bahwa merupakan kewajiban saya untuk memberitahu Anda fakta-fakta dan rekomendasi sebagai berikut...."
Apakah yang mendorong Einstein merasa berkewajiban untuk memberikan saran kepada Presiden Roosevelt membuat bom atom? Apakah dia anti Rezim Hitler? Atau pkarena keterpanggilan sebagai warga Negara Amerika Serikat?
Alasan Eisntein untuk menulis surat tersebut secara eksplisit termuat dalam suratnya, yang merasa khawatir mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh Jerman. Jika Jerman berhasil terlebih dahulu membuat bom atom maka Jerman akan memenangkan peperangan, dan tentu saja sekutu akan kalah. Permasalahannya adalah apakah dengan keputusannya itu Einstein berpihak pada Amerika Serikat sebagai warga negara yang baik didasarkan pada nasionalisme dan patriotism? Jawabannya adalah tidak. Keputusan Einstein bukanlah didasarkan kepada nasionalisme semata. Lalu, pihak mana yang ia bela? Amerika Serikat dan sekutunya? Jawabannya adalah bukan.
Einstein, berpihak kepada kemanusiaan yang bersifat universal, yang tidak dibatasi oleh sistem politik, geografis, atau sistem sosial lainnya. Ia memihak pada Amerika Serikat dan sekutunya, karena menurut pandangan subjektif dia, Amerika mewakili kepentingan kemanusiaan, dibandingkan dengan Jerman yang jelas sangat agresif menjajah bangsa-bangsa lain, tidak berperikemanusiaan, dan secara sistematis melakukan pembersihan etnis, dalam hal ini etnis Yahudi. Pilihan moral ini terkadang sangat getir, sebab tidak bersifat hitam atas putih. Kengerian akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kita hingga detik ini. Pada kasus ini menunjukan bahwa nasionalisme, kecintaan pada bangsa dan negara sejalan dengan kecintaan pada kemanusiaan.
Menumbuhkan Spirit Kemanusiaan