Suatu pagi di ruang kelas, berlangsung dialog yang sangat dinamis.
Guru: Jika saya menyebutkan kata "nuklir", sebutkan satu kata apa yang terlintas dalam pikiran kalian.
Murid: Bom; pemusnah; Einstein; penghancur; senjata; perang; radiasi; mengerikan; fisika; uranium; ledakan; teror; rudal; iblis; kiamat; dan seterusnya.
Guru: Mengapa kalian semua menyebutkan kata-kata yang cenderung bermakna negatif tentang nuklir?
Murid: Karena digunakan pertama kali saat perang;Â
Karena dibuat untuk keperluan perang;Â
Karena memang sudah punya kesan negatif sejak awal.
Guru: Memang pada awalnya energi nuklir dibuat untuk keperluan memenangkan perang pada saat Perang Dunia ke-2 berlangsung. Mari kita saksikan video berikut ini.
Kemudian guru memutarkan video singkat berdurasi sekitar 4,5 menit tentang detik-detik pemboman Hirosima tahun 1945.
Menyesal. Itulah ungkapan perasaan Robert Lewis. Dia adalah pilot pesawat Enola Gay yang menjatuhkan bom atom ke Kota Hiroshima, Jepang, pada Agustus 1945. Lewis, yang menjadi satu dari 12 orang di dalam pesawat pengebom itu, merasa sangat menyesal. Meski bom itu mampu mengakhiri Perang Dunia II, namun di benaknya selalu terbayang korban yang bergelimpangan akibat bom itu.Â
"Berapa banyak rakyat Jepang yang telah kami bunuh," tulis Lewis dalam surat yang ditujukan kepada Ayah dan Ibunya, seperti dikutip Dream dari News.com.au, Sabtu 2 Mei 2015. Bom atom yang dijatuhkan oleh tentara AS ke Hiroshima memang berdampak luar biasa. Kota itu luluh lantak. Diperkirakan sekitar 140.000 manusia tewas. "Tuhanku, apa yang telah kami lakukan," tambah Lewis.
Peristiwa Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki adalah sejarah kelam peperangan yang terjadi di dunia ini. Serangan bom atom meluluh lantakkan negeri Jepang dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban dikedua kota tersebut. Tidak hanya itu efek yang ditimbulkan setelah serangan itu adalah penderitaan berkepanjangan dari generasi ke generasi akibat radiasi kimia yang diturunkan lewat genetika. Bom atom yang dijatuhkan di Kota Hiroshima terjadi pada 6 Agustus 1945, yang terjadi saat Perang Dunia II yang dilakukan oleh pihak sekutu (Amerika, dan beberapa negara lainnya) dengan alasan untuk membungkam angkatan perang kekaisaran Jepang yang terkenal sangat heroik, pantang menyerah dan loyal kepada kaisar. Bom atom ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir Agustus tahun 1945.
Guru: Mari kita bermain peran. Seandainya dalam kondisi perang, kalian ditugaskan sebagai awak pesawat pembom untuk mengancurkan wilayah musuh dengan senjata nuklir yang mematikan, apakah kalian akan menerima penugasan tersebut? Siapa yang menerima, angkat tangan kalian.
Dari 25 murid, 24 mengangkat tangannya, dan satu orang yang tidak.
Guru: Di antara kalian yang setuju, ada yang akan memberikan penjelasan?
Murid: Karena itu adalah kewajiban untuk mengabdi pada bangsa dan negara, apalagi jika peran saya sebagai anggota militer;
Karena tidak ada  pilihan lain dalam kondisi perang, yaitu menghacurkan atau dihancurkan musuh;
Agar perang  cepat berakhir sebelum kondisi lebih buruk dan korban berjatuhan lebih banyak;
Supaya kami tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan pembela bangsa dan negara.
Guru: Bagi yang tidak setuju, bagaimana argumentasi kamu?
Murid: Saya tidak menerima penugasan tersebut, bukan berarti saya tidak mencintai bangsa saya. Saya mencintai bangsa sendiri sekaligus mencintai umat manusia walaupun tidak sebangsa. Seandainya saya menerima tugas tersebut, menjatuhkan bom nuklir di wilayah musuh, pasti yang akan jadi korban tidak hanya anggota militer yang ada di wilayah tersebut, namun juga rakyat jelata yang tidak berdosa, mulai dari anak balita hingga manula. Saya tidak rela jika kecintaan saya pada bangsa dan negara harus mengorbankan manusia lain yang tidak berdaya dan bersalah.
Itu adalah sekelumit dialog pembuka sebelum saya masuk ke materi geografi pada semester 2 kelas XI Jurusan Ilmu Sosial untuk pokok bahasan Sumber Daya Alam (SDA), terutama tentang keterbatasan energi, sehingga energi  nuklir menjadi energi alternatif yang sangat efisien. Sebagian dari pernyataan murid tersebut saya rekam dengan video dan saya posting di media sosial (Instagram) dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Perspektif Filsafat Moral
Perbedaan pandangan tersebut menimbulkan pertanyaan filosofis, apakah pilihan moral memiliki nilai absolut atau relatif? Apakah nilai-nilai moral berlaku "universal" untuk semua tempat, masyarakat dan kondisi, atau "kontekstual", tergantung pada masyarakat dan keadaan yang sedang berlangsung? Perdebatan ini sebenarnya sudah berlangsung lama sejak abad ke 5 - 4 sebelum Masehi antara Protagoras yang mengusung Relatifisme Moral dengan Socrates yang mengumandangkan Universalitas Moral, dan hingga saat ini oleh para pemikir Etika.
Jika kita kaitkan dengan kasus pemboman nuklir yang membumihanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki, apakah para awak pembom B-29 menerima penugasan tersebut karena dorongan kecintaan pada bangsa dan negara, dengan menampikan pertimbangan kemanusiaan, ataukah ada penjelasan lain yang lebih utuh? Dalam konteks kasus ini, apakah kecintaan seseorang pada bangsa dan negaranya bisa bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, atau sebaliknya, pemihakan pada kemanusiaan berarti mengabaikan kecintaan pada bangsa dan negaranya?
Untuk bisa memberikan landasan filosofis dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menguraikan fakta historis berikut ini.
Pada tanggal 2 Agustus 1939, Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, yang memberikan rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom. Dalam surat itu, Einstein antara lain mengatakan, " saya percaya bahwa merupakan kewajiban saya untuk memberitahu Anda fakta-fakta dan rekomendasi sebagai berikut...."
Apakah yang mendorong Einstein merasa berkewajiban untuk memberikan saran kepada Presiden Roosevelt membuat bom atom? Apakah dia anti Rezim Hitler? Atau pkarena keterpanggilan sebagai warga Negara Amerika Serikat?
Alasan Eisntein untuk menulis surat tersebut secara eksplisit termuat dalam suratnya, yang merasa khawatir mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh Jerman. Jika Jerman berhasil terlebih dahulu membuat bom atom maka Jerman akan memenangkan peperangan, dan tentu saja sekutu akan kalah. Permasalahannya adalah apakah dengan keputusannya itu Einstein berpihak pada Amerika Serikat sebagai warga negara yang baik didasarkan pada nasionalisme dan patriotism? Jawabannya adalah tidak. Keputusan Einstein bukanlah didasarkan kepada nasionalisme semata. Lalu, pihak mana yang ia bela? Amerika Serikat dan sekutunya? Jawabannya adalah bukan.
Einstein, berpihak kepada kemanusiaan yang bersifat universal, yang tidak dibatasi oleh sistem politik, geografis, atau sistem sosial lainnya. Ia memihak pada Amerika Serikat dan sekutunya, karena menurut pandangan subjektif dia, Amerika mewakili kepentingan kemanusiaan, dibandingkan dengan Jerman yang jelas sangat agresif menjajah bangsa-bangsa lain, tidak berperikemanusiaan, dan secara sistematis melakukan pembersihan etnis, dalam hal ini etnis Yahudi. Pilihan moral ini terkadang sangat getir, sebab tidak bersifat hitam atas putih. Kengerian akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kita hingga detik ini. Pada kasus ini menunjukan bahwa nasionalisme, kecintaan pada bangsa dan negara sejalan dengan kecintaan pada kemanusiaan.
Menumbuhkan Spirit Kemanusiaan
Sejak terlibat dalam Sekolah Guru Kebinekaan yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG) di Jakarta dan di berbagai wilayah Indonesia, dengan moto "Keragaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan", sebagai guru saya semakin intensif untuk mengimplementasikan moto tersebut dalam setiap pembelajaran di kelas. Karena keyakinan saya, muara dari proses pendidikan harus mampu mengubah kesadaran dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik. Keragaman adalah sebuah keniscayaan, realitas terberi, anugerah Tuhan yang luar biasa kaya dan indahnya. Kebangsaan adalah rumah besar kita sebagai warga Negara Republik Indonesia, tempat kita terlahir, berkarya, hingga menutup mata, kembali ke pangkuan Illahi.
Sedangkan kemanusiaan adalah nafas hidup kita, sistem nilai yang kita jalani dalam keseharian, yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Selain itu, kemanusiaan adalah nilai-nilai universal yang tidak bisa dibatasi oleh perbedaan apapun, agama/keyakinan, etnis, kewarganegaraan, status sosial, pandangan politik dan sebagainya. Â Jadi Keragaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, harus diwujudkan dalam kesatuan gerak langkah, tidak bisa parsial. Ibarat atmosfer, Keragaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan adalah entitas yang menopang hidup kita sebagai personal, sebagai sebuah bangsa dan sekaligus umat manusia, karena itu harus menjadi dasar dan tujuan para pendidik, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Daftar Pustaka:
Eddington, Sir Arthur. The Philosophy of Physical Science. University of Michigan Press, 1958.
Einstein, Albert. Hakikat Nilai dan Ilmu: Pesan Kepada Mahasiswa California of Tecnology, dikutip pada Ilmu dalam Perpektif, Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1978.
Shomali, Mohammad A. Relativisme Etika. Jakarta: Penerbit Serambi, 2005.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H