Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Zumi Zola, Murid Kebanggaanku Hari Ini Diperiksa KPK

5 Januari 2018   08:19 Diperbarui: 3 Juli 2022   10:05 6075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari kita berandai-andai. Jika Anda seorang guru, dan suatu ketika murid Anda menjadi orang sukses, terpandang serta dikagumi beragam kalangan, bagaimana perasaan Anda? Mungkin akan campur baur, antara rasa bangga, senang, syukur, haru, kagum, dan perasaan lainnya. Namun jika kita mau jujur, apakah Anda berhak mengklaim bahwa kesuksesan sang murid tersebut merupakan dampak dari proses pendidikan yang diberikan oleh sekolah Anda? Jika jawabannya ya, seberapa besar kontribusinya? Besar, sedang, atau kecil?

Pengandaian selanjutnya, jika murid Anda ternyata menjadi orang yang tidak diharapkan, katakanlah menjadi gembong narkoba, pelaku teror, kriminal kelas kakap, atau terlibat (diduga terlibat) kasus korupsi setelah menjadi pejabat publik, bagaimana perasaan Anda? Malu, sedih, kecewa, atau bahkan mengingkari bahwa ia murid Anda? Apakah Anda berani mengatakan bahwa ada kontribusi dari sistem pendidikan yang sekolah Anda berikan pada sang murid? Beranikah Anda mengakui dan memberikan pernyataan kepada publik bahwa orang tersebut adalah murid Anda?

Kedua pengandaian tersebut adalah realita yang sedang saya alami saat ini, sebagai guru dari sang gubernur termuda di Indonesia [sang idola dan salah satu putra terbaik bangsa yaitu Zumi Zola Zulkifli], 22 tahun yang lalu saat ia menempuh pendidikan di SMA Al-Izhar Pondok Labu Jakarta. Saya yang sempat mengajar 2 tahun ketika ia kelas 1 dan 2 SMA tahun 1995-1997, tentu saja sangat bangga, terharu dan bahagia, ketika satu di antara sekian murid saya ada yang berkiprah di dunia politik, yang cenderung dihindari oleh sebagian kalangan. Namun bukan berarti bahwa saya tidak bangga pada murid-murid yang berkiprah pada bidang lainnya. Saya bangga pada mereka semua, apapun jalan hidup yang mereka tempuh untuk kemaslahatan orang banyak.

Sukses sebagai bupati, Zola kemudian melangkah lebih jauh terpilih sebagai gubernur Jambi dengan beberapa gebrakan, yang mendapat apresiasi dari dalam dan luar negeri, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua bulan yang lalu, beliau kami undang untuk mengisi acara "Dialog Inspirasi Alumni", bersama beberapa alumnus lainnya,  pada rangkaian acara "Hari Karir" yang rutin setiap bulan November  kami lakukan, agar bisa menginspirasi adik-adik kelasnya. 

Beliau datang beberapa hari setelah pulang dari New York,  memenuhi undangan PBB, untuk mempresentasikan terobosan program pembangunan di daerahnya yang pendanaannya berbasis zakat, yang belum pernah dilakukan di daerah manapun di Indonesia. Penampilannya sangat bersahaja, dengan mengenakan kaos hitam lengan pendek pemberian ikatan alumni Al-Izhar. Beliau datang bersama istri dan anaknya yang masih balita dan lucu, yang tentu saja semakin meningkatkan pesona sang tokoh idola tersebut. 

Pemaparan kisah perjalanan karirnya sangat menginspirasi. Zola menceritakan saat-saat beliau menjalani pendidikan di sekolah ini, melanjutkan pendidikan ke IPB, menjadi artis sinetron dan bintang iklan, melanjutkan studi ke Inggris, hingga pada akhirnya memutuskan untuk berkiprah di dunia politik. Pokoknya murid gue banget lah!

Di antara gelombang pasang perasaan bangga dan bahagia tersebut,  kemudian muncul pertanyaan kritis dalam benak saya, apakah saya berhak mengklaim bahwa kesuksesan Zumi Zola adalah dampak dari proses pengajaran yang saya berikan dan "produk" sistem pendidikan sekolah kami? Jika ya, seberapa besar kontribusinya? Rentetan pertanyaan tersebut membuat saya terhenyak, merefleksikan ulang, dan menahan diri untuk tidak menepuk dada, karena ada kemungkinan tanpa sekolah di SMA Al-Izhar pun Zola akan tetap menjadi tokoh sesukses sekarang.

Hentakan psikologis kedua yang saya alami adalah ketika menyimak berita di media televisi yang menyiarkan keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Tim Komisi Pemberantasan Korupsi di Jambi dan Jakarta pada 28 November 2017. Pada OTT tersebut, menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus suap, yang diduga melibatkan Zumi Zola, sang gubernur, sebagai aktor utamanya.  Suap diduga diberikan sebagai "uang ketok" atau uang pelicin agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memuluskan proses pengesahan APBD senilai Rp 4,5 triliun, yang resmi disahkan pada Senin, 27 November 2017. Tiga dari empat tersangka merupakan anak buah Zumi di Pemprov Jambi, yaitu Erwan Malik, pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Daerah; Arfan, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum; dan Saipudin, Asisten Daerah Bidang III. Ketiganya menjadi tersangka pemberi suap. Sedangkan satu tersangka lain sebagai penerima suap adalah Supriono, Ketua Fraksi PAN di DPRD Provinsi Jambi.  Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan 16 orang dan total uang sekitar Rp 4,7 miliar. Untuk memperlancar proses penyidikan lebih lanjut, KPK menggeledah kantor sang gubernur dan berencana mengajukan surat ke Ditjen Imigrasi agar Zumi Zola dicekal untuk tidak bepergian ke luar negeri, karena patut diduga keterlibanya pada kasus suap tersebut dalam memuluskan pembahasan RAPBD bersama DPRD (sumber Jawapos.com, 29 November 2017).

Ketika mengetahui kasus ini, lagi-lagi muncul pertanyaan kritis dalam pikiran saya. Apakah saya berani mengatakan bahwa ada kontribusi dari sistem pendidikan yang sekolah berikan pada sang gubernur? Beranikah saya mengakui dan memberikan pernyataan kepada publik bahwa [walaupun belum dijadikan sebagai tersangka korupsi] Zola adalah murid saya?

Perlu saya tegaskan, apapun yang terjadi dan bagaimanapun kondisinya, Zumi Zola adalah murid saya saat beliau menjalani pendidikan di SMA Al-Izhar. Namun ketika ditanya, apakah sekolah dan saya sebagai guru berkontribusi pada perkembangan para murid dalam menapaki perjalanan hidup mereka, baik ataupun buruk?  Untuk menjawabnya, tentu saja perlu ulasan yang bijak dengan menggunakan beragam pendekatan dan perspektif.

Secara sederhana dapat saya uraikan bahwa perkembangan seorang individu merupakan kombinasi dari beberapa hal, yaitu: 

1) Faktor eksternal, meliputi pendidikan di keluarga, pendidikan di sekolah (mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi), pengaruh lingkungan (teman bergaul, rekan kerja, kondisi organisasi tempat berkiprah, dan dinamika masyarakat luas), serta keyakinan atau agama yang dianut.

2) Faktor internal, yaitu proses pendidikan dalam dirinya sendiri, bagaimana ia merefleksikan, memaknai dan memutuskan arah serta langkah yang akan ia jalani hari demi hari. Jadi pertumbuhan seorang individu bukan merupakan dampak dari suatu penyebab tunggal, namun merupakan interaksi kompleks dari banyak hal selama proses hidupnya.

Karena itu, jika Anda seorang guru, jangan terburu-buru membusungkan dan menepuk dada, saat ada murid atau alumninya yang berprestasi gemilang di kelak kemudian hari. Begitu pula sebaliknya, tidak perlu merasa malu, menghindar atau menampikan ketika sang murid melakukan hal-hal di luar harapan atau bahkan menjijikan.

Sebagai guru, saya hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Zumi Zola diberi kekuatan dan kebijaksanaan dalam menjalani proses hukum dan bisa memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya yang dibutuhkan KPK. Kedatangan beliau hari ini untuk dimintai keterangan terkait kasus suap tersebut, sudah menunjukan kualitas dan integritas Zola sebagai pemimpin yang bertanggungjawab dan taat hukum, dibandingkan dengan kasus beberapa pejabat yang mencoba menghindar datang ke KPK dengan berbagai dalih, bahkan ketika dirinya sudah dijadikan sebagai tersangka sekalipun. 

Saya bangga padamu Zola, dan bangga kepada kalian semua, yang pernah menjadi murid saya di SMA Al-Izhar. Merasa sangat terhormat diberi kesempatan untuk menorehkan peran dalam lembaran hidup kalian, walaupun mungkin hanya seujung jarum. Saya tidak akan pernah mengenal istilah "bekas murid", bagaimanapun dan apapun yang terjadi dengan diri kalian. 

Yang terakhir, izikan saya mengutip kalimat yang sangat indah berikut ini, yang menguatkan dan membuat saya selalu bangga berprofesi sebagai guru:

"One hundred years from now, it will not matter what kind of car I drove, what kind of house I lived in, how much money I had in my bank account, nor what my clothes looked like. But the world may be a little better because I was important in the life of a child." - Anonymous

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun