Tetapi memang begitulah Yerusalem, kota milik bersama, setiap orang bebas berfantasi dan fantasi merekalah yang paling benar. Termasuk mereka yang hadir pada momentum 17-12-17, masing-masing yang hadir, datang untuk berimajinasi dengan bekal keyakinan religiusnya, dan mereka pulang dengan imajinasi yang berbeda-beda. Jadi, Â ada koneksitas antara imajinasi Yerusalem ribuan tahun yang lalu dengan imajinasi di silang Monas hari ini. Imajinasi yang terkadang diliputi dendam dan amarah tentang ketidakadilan sebuah rezim dan keyakinan.
Sebuah sejarah Yerusalem merupakan kajian tentang alam kesucian, yang lagi-lagi hanya ada dalam ranah imajinasi. Frasa "Kota Suci" secara konstan digunakan untuk menggambarkan pemujaan atas kesucian. Namun yang benar-benar berarti adalah bahwa Yerusalem telah menjadi tempat penting di Timur Tengah untuk komunikasi antara  Tuhan dengan manusia. Ini yang bisa menjawab, mengapa setiap kali terjadi sesuatu dengan Yerusalem, sebagian masyarakat dunia berdesir dan tersentuh secara emosional.
Pertarungan tiada henti demi Yerusalem, rangkaian pembantaian, kezaliman, perang, terorisme, pengepungan, dan malapetaka, telah menjadikan tempat ini penuh paradox, antara kesucian dan kekotoran, antara kemuliaan dan kebiadaban. Bahkan Aldous Huxley menyebut Yerusalem sebagai "rumah jagal agama-agama". Tokoh lain menyebutnya  dengan beragam istilah: "rumah kuburan", atau "kota tengkorak" yang dikepung oleh angkatan perang mati. Sedangkan  Edward Said mengenang bahwa ayahnya membenci Yerusalem karena kota itu menerornya dengan ingatan akan kematian.
Kesucian kota itu tumbuh dari eksepsionalisme Yahudi sebagai "umat terpilih". Maka Yerusalem tumbuh sebagai "kota terpilih". Palestina mejadi "tanah terpilih", dan ekspansionalisme ini diwariskan dan dipeluk oleh umat Kristen dan Muslim. Kesucian tertinggi Yerusalem dan tanah Israel tercermin dalam peningkatan obsesi keagamaan akan pemulangan kaum Yahudi ke Israel, dan antusiasme Barat pada gerakan zionisme, yang menjadi pemicu pertumpahan darah di wilayah Palestina sejak pendirian negara Israel tahun 1948, atas restu Barat.
Di Yerusalem, kebenaran sering jauh kalah penting dibandingkan mitos yang penuh emosi. "Di Yerusalem jangan tanya tentang sejarah fakta-fakta. Ambilah fiksinya maka tidak ada apa pun lagi yang tersisa", begitu menurut sejarawan terkemuka Palestina, Dr. Nazmi al-Jubeh.Â
Lalu bagaimana kita memaknai, tinjauan singkat sejarah Yerusalem dengan Aksi Bela Palestina 17-12-17 yang baru berakhir siang ini? Saya kira ini adalah momentum refleksi bagi kita bersama, terutama umat Islam di Indonesia, untuk lebih rasional dalam bersikap dan melangkah, tidak melulu menonjolkan ikatan emosional-primordial, sehingga setiap gerakan yang membawa visi kemanusiaan bisa tercapai lebih efektif dan optimal. Bagi umat Islam di seluruh dunia, semoga bisa menjadi momentum untuk merapatkan barisan, menggemakan suara yang sama melawan penindasan dan pejajahan yang dialami saudara seiman. Jika di antara negara-negara Arab sendiri selalu terjadi koflik dan perpecahan, bagaimana mungkin akan berhasil memperjuangkan kemerdekaan  Palestina, saudara sebangsa yang berada di jantung peradaban Timur Tengah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H