Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paradoks Yerusalem dan Gerakan Bela Palestina 17-12-17

17 Desember 2017   13:28 Diperbarui: 19 Desember 2017   04:32 3989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari Kita Berpikir Lebih Jernih

Selama dua pekan terakhir ini, dunia mengalami "kegaduhan" dalam percaturan politik global, ketika presiden Amerika Serikat, Donald Trump memutuskan untuk memindahkan kedutaaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Reaksi masyarakat dunia pada umumnya negatif dan cenderung emosional, terutama negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pemerintah Indonesia juga mengecam keputusan Trump tersebut, yang didukung oleh segenap elemen politik dan organisasi kemasyarakatan berbasis Islam. 

Bahkan pada hari Ahad ini, tanggal 17-12-17 (mungkinkah akan menjadi ikon baru menandingi 212?), diadakan "Aksi Bela Palestina" yang diinisiasi oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI), di lapangan Monas Jakarta. Berhasilkah aksi tersebut mencapai tujuan utamanya? Itu masih menjadi tanda tanya besar, yang akan terjawab kemudian oleh dinamika geopolitik dan geostrategis di wilayah Timur Tengah, yang selalu membara diliputi konflik berkepanjangan.

Yang menjadi pertanyaan adalah salahkah keputusan Presiden Trump tersebut? 

Jika Anda menjadi kandidat presiden suatu negara, kemudian terpilih secara demokratis dan sah menurut aturan yang berlaku, langkah-langkah apa yang akan Anda lakukan? Saya yakin siapa pun Anda, Anda akan secara bertahap menunaikan janji-janji selama berkampanye dan tentu saja Anda harus patuh menjalankan Undang-Undang (UU) yang telah ditetapkan di negara Anda. Jadi dalam konteks ini, keputusan Trump sudah tepat, ia menepati salah satu janji kampanyenya dan menjalankan UU. Bahwa hal tersebut memiliki dampak kehebohan hubungan internasional, terutama relasi Arab-Israel, itu merupakan hal lain.

Tahun 1995, Amerika Serikat memberlakukan UU tentang status Yerusalem dan keberadaan KedutaanBesarnya yang disebut Jerusalem Embassy Act. UU itu menyebutkan bahwa AS harus mengakui Yerusalaem sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Besar AS harus dipindahkan ke kota itu.

Dalam praktiknya, pemerintahan AS sebelum ini, tidak pernah menjalankan UU itu. Sebagai gantinya, setiap presiden AS menandatangani sebuah keputusan presiden, yang menyatakan bahwa Kedutaan Besar AS akan tetap berada di Tel Aviv. Kepres itu berlaku selama enam bulan, dan setiap kali harus diperbarui. Bulan Juni lalu, Presiden Donald Trump juga menandatangani keputusan semacam itu. Masa berlaku keputusan itu berakhir bulan Desember ini.

Selama kampanye pemilu presiden, Donald Trump memang berulangkali menegaskan, dia akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Karena menurut dia Yerusalem adalah ibukota Israel yang sebenarnya. Jadi, sekali lagi saya kemukakan, dengan langkah ini Trump memenuhi janji kampanyenya.

Lalu, bagaimana dampaknya kemudian? Sebenarnya, tidak banyak yang akan berubah. Saat ini pun, kantor dan kediaman resmi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ada di Yerusalem. Parlemen Israel berkedudukan di Yerusalem, begitu juga Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri. Para pemimpin dunia yang berkunjung ke Israel selalu melakukan lawatan ke Yerusalem untuk bertemu dengan para pejabat tinggi Israel.

Bagi penduduknya, Yerusalem adalah kota terbuka, di mana warga Yahudi dan Palestina dapat bergerak dengan bebas. Walaupun kenyataannya interaksi antara kedua pihak sangat minim dan ada perbedaan besar antara lingkungan Yahudi yang kaya dan warga Palestina yang miskin.

Namun demikian, deklarasi pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem akan punya makna simbolis yang mendalam dan makin menyulitkan proses perdamaian Israel-Palestina. Jadi perspektifnya lebih pada aspek "emosional-primordial", dibandingkan dengan aspek "rasional-aktual".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun