Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Visi: Bagaimana Mengorek Akar Permasalahan Hakiki?

7 Desember 2017   06:45 Diperbarui: 7 Desember 2017   07:59 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemahaman diri pada akhirnya akan bermuara pada penguasaan diri yang menjadi landasan paling kokoh untuk membentuk individu dengan tingkat disiplin yang tinggi. Inilah yang disebut dengan motivasi internal dalam membentuk kedisiplinan. Bandingkan dengan jika kedisiplinan diri kita ditentukan dan dibentuk oleh faktor-faktor eksternal seperti guru di sekolah, atasan di tempat kerja, polisi dan aparat penegak hukum di lingkungan yang lebih luas, dan seterusnya. Berapa lama hal itu akan mampu bertahan dan seberapa mendalam hal itu akan tertanam pada kepribadian seseorang?

Karena sebagian besar kedisiplinan diri yang dicapai oleh masyarakat kita dibentuk oleh motivasi eksternal, maka ketika faktor eksternal tersebut lengah atau bahkan tidak ada lagi, maka lenyap pulalah kedisiplinan yang ada pada dirinya. Sehingga tidak mengherankan jika kecurangan ujian terjadi di banyak lembaga pendidikan, pelanggaran lalu lintas menjadi pemandangan yang biasa, korupsi sudah menjadi tumor ganas yang sulit disembuhkan karena sudah menjalar ke aparat penegak hukum, dan seterusnya. 

Dengan demikian dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa berbagai penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat kita disebabkan karena ketiadaan pemahaman diri, yang berakibat pada lemahnya pengendalian dan disiplin diri, padahal pemahaman, pengendalian, serta disiplin diri merupakan tiga rangkaian mutiara untuk mencapai pertumbuhan dan kebahagiaan hakiki.

Dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai individu, Albert Einstein mengemukakan pandangannya yang sangat cemerlang: "Masalah penting yang kita hadapi kini tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berfikir yang sama seperti ketika kita menciptakan masalah tersebut." Artinya kita memerlukan tingkat berfikir yang lebih dalam, sebuah cara pandang yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang secara akurat menjabarkan wilayah kemanusiaan. Tingkat berfikir ini merupakan pendekatan yang berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan universal, melalui strategi "dari dalam ke luar". 

Dari dalam ke luar berarti memulai dari diri sendiri, bahkan lebih tajam lagi, memulai dari bagian paling dalam dari diri kita melalui cara pandang kita, karakter kita, dan motif kita. Pendekatan dari dalam ke luar menegaskan bahwa pembuatan dan pemenuhan janji kepada diri sendiri mendahului pembuatan dan pemenuhan janji kepada orang lain sebagai individu, maupun dalam kelompok atau organisasi.  

Dari dalam ke luar adalah suatu proses yang berkesinambungan dari pembaruan yang didasari oleh hukum universal yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan manusia. Hal ini menjadi spiral pertumbuhan yang menyebabkan bentuk yang semakin tinggi secara progresif pada kedisiplinan serta kemandirian yang bertanggung jawab. Sebaliknya, apa yang dapat kita lihat apabila cara pandang "dari luar ke dalam" adalah orang-orang yang tidak bahagia yang merasa menjadi korban dan lumpuh, yang berfokus pada kelemahan orang lain dan keadaan yang mereka rasa  bertanggungjawab atas situasi yang mandek. Mereka memandang bahwa masalahnya ada "di luar sana", maka yang dituntut harus berubah dan memperbaiki diri adalah orang lain, bukan diri mereka sendiri.

Visi dan Kedisiplinan

Jauh di dalam diri setiap kita ada kerinduan yang mendalam untuk menjalani kehidupan yang hebat, yang agung, dan memberikan sumbangan nyata untuk sungguh-sungguh merasa penting, untuk membuat perbedaan yang benar-benar nyata. Mungkin saja kita meragukan diri kita sendiri dan kemampuan untuk melakukan hal itu, tetapi saya yakin bahwa kita semua dapat menjalani kehidupan seperti itu. Kita memiliki potensi di dalam diri yang menunggu untuk diaktualisasikan. Ini adalah hak yang kita miliki sejak lahir, anugerah yang diberikan kepada manusia. Yang kita butuhkan adalah visi, komitmen, dan kedisiplinan untuk mewujudkannya secara bertahap dan berkesinambungan.

Sebagai contoh aktual terkini bagaimana sebuah visi, komitmen, dan disiplin diri itu diimplementasikan, izinkan saya menyampaikan ilustrasinya dengan memaparkan kisah Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank. Ia menuturkan pengalamannya dengan penuh penghayatan berikut ini:

"Semua ini bermula dua puluh lima tahun yang lalu, saat saya mengajar ekonomi di salah satu universitas di Bangladesh, negeri yang tengah dilanda kelaparan. Saya merasa ngeri sekali. Di situlah saya saya mengajarkan teori ekonomi yang muluk-muluk di ruang kelas dengan antusiasme seorang doktor yang baru lulus dari Amerika Serikat. Tetapi, begitu selesai mengajar, saya keluar kelas dan langsung saja melihat kerangka hidup berkeliaran di sekeliling saya, yaitu orang-orang yang sekarat, tinggal menunggu ajalnya. Saya merasa bahwa apapun yang saya pelajari, apapun yang saya ajarkan, hanya merupakan khayalan, yang tak punya arti bagi orang-orang itu. Karena itu saya mulai mencoba mengetahui bagaimana orang-orang yang tinggal di kampung sebelah kampus universitas kami menjalani kehidupan mereka. Saya ingin tahu apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan sebagai sesama manusia, untuk menunda atau menghentikan kematian, walau hanya menyangkut satu orang saja. Saya meninggalkan cara pandang seekor burung, yang memungkinkan kita untuk melihat segala-galanya jauh dari atas, dari langit. Saya mulai menggunakan cara pandang seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan....."

Singkat cerita, langkah nyata yang ia lakukan dengan penuh kesungguhan dan disiplin tinggi untuk mengaktualisaikan visinya adalah membantu para pengrajin bambu dengan pinjaman tanpa bunga dari uang pribadinya. Ketika langkah itu sukses membantu kaum miskin yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya,  ia berupaya untuk mendapat pinjaman dari bank pemerintah yang berkali-kali mendapat penolakan, karena mereka memiliki keyakinan buta bahwa orang miskin tidak layak diberi pinjaman karena pasti mereka tidak akan mampu mengembalikannya.  Namun Muhammad Yunus kukuh pada pendiriannya bahwa  kalau mereka diberi kepercayaan dan dibimbing, pasti mereka mampu mengembalikan pinjaman dan bisa berkembang untuk menolong diri dan keluarganya.  Dengan visi mendalam, komitmen dan kedisiplinan tinggi dalam menapaki langkah-langkah untuk mewujudkan impiannya itu, pada akhirnya ia mendirikan Grameen Bank pada 2 Oktober 1983, yang sekarang beroperasi di 46.000 desa di Bangladesh melalui 1.267 cabangnya, dengan lebih dari 12.000 staf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun