"Abang sulung yang saat gempa pulang ke rumah mau tengok mami, istri dan anaknya meninggal saat Tsunami," sebut Nidar, menunduk.
Setelah gelombang ketiga, mereka belum berani untuk turun karena masih mendengar suara orang berteriak air akan naik lagi. Sekira pukul 12.10, terik matahari mulai menyengat membuat mereka kepanasan, kekeringan dan kehausan. Tiba-tiba jatuh pokok kelapa ke atap rumah, kemudian suami Nidar memetik satu persatu, bermodal kekuatan gigi, kelapa itu berhasil di kupas
Luthfi terlepas di jembatan Punge
Pukul 13.00 sembari mewanti-wanti ombak, pelan keadaan mulai tenang, orang-orang mulai menuju ke arah kota. Begitu juga dengan keluarga Nidar, mereka turun untuk menuju tempat yang lebih tinggi. Saat turun air sudah sepinggang, pecahan kaca dan puing-puing membuat laju jalan sedikit lambat.
Saat turun, Nidar melihat rumahnya yang berada satu pekarangan sudah hancur diterjang kerasnya ombak. Berpasang-pasangan mereka menyusuri jalan dalam genangan air itu, Nidar bersama si bungsu, Bapak bersama Luthfi, Hafidz sama Tia, Mami sama Bunda. "Akhirnya kami memutuskan mau menuju ke Dayah Tarbiyatul Ula Salafiyah, di Desa Punie, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar," ucap Nidar, Dayah itu merupakan dayah dimana keluarga sering mengikuti pengajian.
Setiba di Jalan Sultan Iskandar Muda, Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, tepatnya di Jembatan Punge, air masih membawa puing-puing, disana sempat berhenti. Sempat kocar-kacir karena teriakan air naik masih terus menggema.
Setelah menunggu air sedikit tenang, perjalanan pun kembali dimulai, Luthfi tiba-tiba saja terlepas dari pegangan bapak, setelah lewat jembatan sempat Nidar bertanya tentang keberadaan Luthfi. "Luthfi mana, semua jawab tidak tau, saya minta semua cari Luthfi sampai dapat. Mereka bilang ada, Luthfi udah lewat jembatan," ujar Nidar yang kembali menunduk.
Meski demikian, perjalanan tetap diteruskan  sampai tiba di Simpang Jam atau Taman Putroe Phang, Banda Aceh. Disana Nidar dan keluarga bertemu kakek (Ayah Hafnidar), kemudian berpelukan, kakek memerintahkan mereka menggunakan mobil menuju ke Dayah Tarbiyatul Ula Salafiyah. Diperjalanan menuju dayah, mayat terlihat bergelimpangan dijalanan. "Ada yang kami injak, ada yang di atas pohon, di sepanjang Rumah Sakit Harapan Bunda itu mayat semua," ungkap Nidar.
Sempat berhenti di Masjid Baitul Musyahadah atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Teuku Umar, Setui, Banda Aceh, untuk secara bergantian menunaikan ibadah Shalat Dzuhur diteras Masjid. "Kami tidak berani didalam, karena keadaan masih gempa," tambahnya.
Dari Masjid Teuku Umar tidak ada lagi mayat bergelimpangan dijalanan. Tidam lama tiba di Dayah Tarbiyatul Ula, kata Nidar, saat itu mereka merupakan pengungsi pertama di Dayah Tarbiyatul Ula itu sebelum kemudian secara berangsuran orang mulai berdatangan.