Meski tidak semua, terkadang Intuisi atau yang lebih akrab didengar dengan firasat dirasakan oleh orang-orang tertentu ketika akan terjadi bencana besar bahkan kematian. Sebesar apapun firasat yang dimiliki manusia, firasat hanyalah sebatas intuisi bukan penyelamat, takdir Allah SWT lah yang akan membenarkan firasat manusia.
The Day After Tomorrow
Pagi masih sangat buta, gelap pelan berganti terang. Secara harfiah Minggu pagi alias weekend adalah hari paling membahagiakan bagi sebagian orang yang telah sibuk bekerja selama sepekan.
Kebahagian itulah yang dirasakan Nidar, saat melihat mekar senyum si bungsu, Muhammad Shafly Aqsha, yang masih berumur 16 bulan dalam pangkuannya, seolah lelah dalam sepekan sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, bukanlah persoalan yang berarti.
Namun, memang sudah terpatri kebahagiaan bukanlah sesuatu yang abadi. Masih dalam suasana pagi, hanya berselang beberapa jam, kebahagiaan yang baru saja diukir itu lenyap dalam hentakan gempa berskala 8,9 Ritchter, menghadirkan kesibukan yang luar biasa, kepanikan pun tidak dapat terkontrol.
Guncangan dahsyat itu disusul hembusan angin yang berhembus kencang. Nidar dan keluarganya sudah berada di halaman rumah. Untuk diketahui, rumah Nidar berada dalam satu pekarangan dengan rumah Ibu dan Ayahnya. Dari hari Jumat sebelum kejadian Ayahnya sudah di Masjid Al-Fitrah, Ketapang, Banda Aceh, untuk melakukan i'tikaf.
Sehingga dalam huru hara gempa saat itu dihalaman rumah hanya ada Nidar, Syamsul Bahri (suami Hafnidar), Meutia Purnama Rieffel (anak sulung), Muhammad Luthfi Furqani (anak kedua), Muhammad Hafidz Mubarak (anak ketiga) dan si bungsu Muhammad Shafly Aqsha, yang masih kuat berada dalam pangkuannya.
"Kami keluar rumah semua, kami tidak bisa berdiri saat itu, karena guncangan yang begitu hebat. Kami duduk ditanah, kami pegang pohon siri sambil mengucap," cerita Nidar yang mulai membendung tangisnya.
Dengan tarikan nafas dalam, ia kembali melanjutkan cerita. Kata dia, Gempa sempat berhenti sejenak, secepat kilat anak sulung, Meutia berlari menembus rasa takut masuk ke dalam rumah, lalu mengambil semua perlengkapan termasuk kunci mobil, hp. "Hanya Tia dan suami saya saat itu yang masih bisa mikir, kami sudah blank," tuturnya.
Keadaan sempat membaik. "Saat itu pula abang sulung kerumah untuk melihat kondisi mami dan bapak kami, sedangkan suami saya keluar dan duduk di warung kopi,".
Sepuluh menit setelah itu, suaminya pulang dari warkop dan menginstruksikan kepada keluarga bahwa dari arah Ulee Lheue terdengar teriakan orang-orang "air laut naik". Saat itu pula langkah seolah tiba-tiba terhenti, hati sudah tak karuan, pikiran sudah liar, tidak bisa diajak berteman. Jika seandainya setelah gempa pertama Nidar dan keluarga langsung pergi, ceritanya pasti akan berbeda.