Mohon tunggu...
uci ayu
uci ayu Mohon Tunggu... Novelis - penulis

mimpi yang membuatku bertahan mimpi menjadi penulis.......

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dari Ritual ke Virtual, Dimensi Pendidikan Merdeka

16 April 2023   15:25 Diperbarui: 17 April 2023   09:55 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belajar daring (online). (sumber: Pexels via kompas.com)

Dari Ritual ke Virtual

Sejak lama Indonesia merdeka, tetapi pendidiknya, khususnya seorang dosen belum merasakan "merdeka" yang sesungguhnya. Kini, ada angin segar bagi praktik pembelajaran di perkuliahan sejak diberlakukannya kurikulum merdeka. 

Perguruan tinggi atau bangku kuliah bukan melulu soal menelan teori, melainkan ada ruang-ruang merdeka yang diciptakan oleh sosok dosen yang "merdeka". 

Tidak banyak orang yang beruntung mengenyam bangku kuliah. Jika di perkuliahan hanya mengulang momen saat menjadi siswa dahulu, maka perguruan tinggi di Indonesia telah gagal bertumbuh. Di perkuliahan, setiap mahasiswa harus dan wajib diarahkan untuk menemukan diri, menemukan bakat terbaik mereka, merayakan setiap bakat yang ada.

Praktik baik merdeka belajar dan merdeka budaya sejatinya sudah dilakukan sejak saya kali pertama menjadi dosen. Namun, di kurikulum ini, perayaannya menjadi lebih semarak dan hangat. 

Perkuliahan berbasis proyek, perkuliahan dengan merawat empati serta mampu meningkatkan literasi telah saya jalankan. 

Manusia-manusia yang terdidik di bangku kuliah bisa menjadi "manusia hidup" bukan menjadi parasit berilmu yang sudah banyak ditemukan di negeri ini.

Perkuliahan dengan memanfaatkan pertumbuhan teknologi digital bisa menjadi daya tawar agar pembelajaran tidak monoton. 

Sebagai contoh di kelas sastra, saya membebaskan mahasiswa untuk berkreasi memahami sebuah karya dengan memanfaatkan peranti reels Instagram, TikTok, siniar atau podcast sastra, dan lainnya. 

Muncullah sastrawan cyber yang kerap menjadi panutan kaum galau dan kaum krisis kepercayaan diri. Kehadiran teknologi bukan menjauhkan kehidupan manusia. 

Malah sebaliknya bisa membuat manusia menghargai apa yang dimiliki dan berdamai dengan nasib yang sudah dijalani. 

Wadah belajar bukan satu-satunya dari buku, pendidik, atau teman, melainkan sumber belajar di era ini penuh sesak dan mahasiswa harus pandai menemukan sumber belajar terbaik itu. 

Kebijaksanaan penggunaan teknologi dalam pembelajaran menjadi sebuah diskusi hangat yang harus diperhatikan pendidik. Literasi digital menjadi jembatan dalam implementasi merdeka budaya dalam merdeka belajar.

Bali yang identik dengan budaya, ritual, upakara, apakah tidak memerlukan hal-hal modern seperti internet atau media digital? 

Apakah dengan mempertahankan budaya dan tutur leluhur, itu artinya Bali tidak adaptif terhadap media virtual yang kini sudah hampir pasti menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan? 

Melulu digital adalah salah satu cara beradaptasi paling baik saat ini setelah pandemi yang menghantam dunia pendidikan. Apapun bisa bersinergi dengan dunia virtual, dunia digital, asal dijalankan dengan kebijaksanaan. 

Dapat dipahami bersama bahwa ingatan manusia tidak selamanya panjang, lisan manusia kadang juga penuh keliru, pesan tulisan yang dibuat oleh manusia juga kerap membawa misi si penulis pesan. 

Dengan begitu, hal-hal yang terkait budaya, ritual, upakara. dan Bali yang eksotis ini bisa jadi hanya mengendap di ingatan beberapa orang saja. 

Beradaptasi dengan ranah digital dan virtual bisa jadi sebuah jalan untuk dapat mengabadikan tutur leluhur, nasihat zaman, sehingga pada masa yang akan datang, Bali tak pernah kehilangan jati diri. 

Lewat mahasiswa yang berbudaya inilah diharapkan mampu menghasilkan inovasi sekaligus merawat tradisi.

Banyak yang menyatakan bahwa menjadi perempuan Bali sekaligus menjadi simbol untuk Bali itu sendiri. Simbol yang berat tentunya. Benarkah sepenuhnya demikian? 

Seandainya para Ibu bisa menjelaskan mengapa perempuan Bali harus belajar banyak hal, mungkin menjadi perempuan Bali tak akan seberat itu. 

Dahulu, orang tua meminta setiap anak perempuan di Bali untuk bisa memasak, bisa mejejaitan, membuat sesajen, bisa segalanya yang kadang tak sebanding dengan tuntutan kepada anak laki-laki. 

Namun, orang tua lupa menyatakan jika kemahiran dan keterampilan serba bisa yang selayaknya dipahami oleh perempuan Bali ini ada nilai berlipat ganda di baliknya. Nilai spiritual, nilai moral, bahkan nilai ekonomis yang bisa dipetik jika perempuan Bali karib dengan tradisi. 

Dahulu, bagi saya sendiri, kegiatan mejejaitan dan membuat sesajen adalah hal yang sangat rumit. Hingga timbul pikiran mengapa tak membeli saja sesajen dan jejaitan agar lebih praktis dan tidak membuang waktu, toh artinya sama saja. 

Belakangan, baru saya memahami bahwa mejejaitan dan rentetan ritual yang dilakukan oleh perempuan Bali bukan tanpa makna. 

Saya menyesal tidak menekuni mejajaitan itu secara sungguh-sungguh. Kini, saya hanya bisa menopang dagu ketika melihat sahabat saya yang sejak sekolah dasar sudah mahir dan terlatih dalam memainkan janur serta kawan-kawannya. 

Hingga kini, sahabat itu telah mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan berjualan banten, jejaitan, dan sebagainya. 

Saya semakin percaya, ia yang memelihara tradisi, menekuni budaya secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan akan memetik manfaat bahagia kelak. Ini juga yang saya lontarkan kepada mahasiswa untuk menyambut setiap tradisi dan membuatnya menjadi inovasi.  

Jika dahulu tempat belajar perempuan Bali hanyalah Ibu, sanak saudara atau bale banjar, perempuan Bali masa kini bisa belajar tradisi dan bebantenan melalui sebuah platform yang begitu dekat dengan dunia milenial saat ini. 

Salah satunya yaitu akun tiktok, Instagram, facebook, bahkan youtube. Perempuan Bali kini juga bisa membuat akun jejaitan atau bebantenan sendiri dan bisa meraup pundi-pundi rupiah dari tutorial yang dibagikan. 

Jangan berkecil hati, penonton saluran pembuatan banten atau sesajen di Bali sangatlah masif. Sebuah media digital yang edukatif sekaligus dapat memicu generasi muda untuk berkarya dan melestarikan budaya Bali patutlah didukung. 

Saluran-saluran digital semacam inilah yang menjadi alat ampuh untuk dapat mengetuk hari generasi milenial bahwa menjalani tradisi atau adat itu bukanlah sesuatu yang rumit, namun sebaliknya. Melestarikan tradisi membuat seseorang tetap berdaya dan bertumbuh di tengah modernitas.

Sebagai solusi sederhana coba ditawarkan oleh beberapa mahasiswa yang juga menjadi konten kreator dengan menciptakan wadah digital bagi generasi muda Bali dalam belajar tentang Budaya Bali. 

Sebut saja beberapa saluran digital di akun YouTube yang bertujuan memberikan akses informasi terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar budaya Bali dari tingkat yang paling sederhana. 

Chanel bernuansa Bali atau sastra Bali dan tradisi Bali lainnya ini berisikan berbagai tutorial yang berkaitan dengan mejejaitan bali dan berbagai keterampilan lain yang berkaitan dengan budaya Bali. Durasi videonya pun tidak terlalu panjang, ratarata memiliki durasi 3 menit. 

Sampai saat ini, sudah ada seratusan lebih video tutorial yang dipublikasikan dan bisa diakses di aplikasi Youtube. 

Berkat saluran digital ini, banyak remaja, ibu-ibu, serta perempuan Bali yang tinggal di luar Bali merasa terbantu untuk tetap akrab dengan budaya Bali yang pada akhirnya akan membawa siapa pun kemBali.

Saya sempat memiliki kekhawatiran terhadap penyanyi atau sang penembang kidung di Bali yang dilantunkan oleh perempuan yang sudah paruh baya. 

Melulu perempuan paruh baya itu-itu saja, suaranya itu-itu saja, seolah yang menekuni tradisi adalah hanya orang-orang terpilih saja. Saya melihat sekeliling anak mudanya enggan belajar makidung atau makekawin. 

Saya juga tersindir sendiri. Saya ingin sekali melantunkan kidung, namun saya kurang percaya diri, saya kurang yakin bahwa suara nyanyian saya akan mampu memperindah ritual yang sedang dijalankan. 

Nah jika anak mudanya malu-malu seperti saya, siapa yang akan mewarisi? Apakah mungkin jika ada persembahyangan atau odalan, banjar dan desa hanya memutar kaset, cd, nyanyian yang direkam saja? Apakah dewata tak bisa merasakan bahwa ada suara-suara dari perempuan -perempuan Bali yang dipendam begitu saja?

Kekhawatiran ini kini dijawab. Lagi-lagi soal teknologi dan tradisi yang beradu rayu. Lewat ranah virtual dan digital, setiap orang, meski orangnya malu-malu, kini memiliki tempat untuk belajar matembang, makidung, melantunkan sloka-sloka suci tanpa harus banyak penghakiman atau intervensi. 

Lewat youtube saja, anak-anak milenial yang memiliki ketertarikan terhadap mantra, sloka, maupun kidung mendpaat tempat untuk belajar sebaik-baiknya.

Kecanggihan teknologi tidak melulu mendatangkan candu yang bernapas negatif. Kita bisa memaknainya sebagai alih wahana yang dipandang sebagai sebuah bentuk dan upaya untuk mempertanahkan nilai-nilai budaya, tardisi, kearifan lokal di tengah arus teknologi informasi sebagai wadahnya. 

Pemanfaatna platform digital seperti yang tersaji lewat yotubube ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi, modernisasi, dan globalisasi yang sering dituduh tidak berpihak pada budaya lokal justru terbukti dapat memotivasi pendukung budaya lokal secara kreatif melestarikan budayanya. 

Saya pun kerap berguru di ranah virtual ini ketika misalnya didapuk untuk membacakan mantra, sloka, atau kidung. 

Unggahan berkonten budaya ini mendapat klik puluhan bahkan ratusan ribu. Ini bukti ruang virtual tidak main-main untuk dapat memperkenalkan dan mendekatkan budaya dan tradisi Bali kepada mereka yang menyebut diri milenial dan modern.

Inilah ruang belajar, ruang merdeka, juga ruang budaya yang diciptakan dan dirawat. Kesempatan ini harus hadir di kelas yang bukan mellulu soal teori. 

Sekali lagi para pelaku penjaga tradisi yang memanfaatkan ruang virtual harus senantiasa bertanggung jawab atas apa yang diunggah agar warganet tetap diedukasi berdasarkan nilai kebenaran sastra dan agama itu sendiri. 

Dengan hadirnya ruang virtual ini, seorang perempuan Bali yang menjadi simbol besar dan agung terhadap Bali itu sendiri kini tidak perlu khawatir. Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru. 

Perempuan Bali yang senantiasa setia pada dapur, anak, urusan rumah tangga, kini tetap bisa menjalankan tradisi, seni, ritual, dan budaya tanpa rasa bersalah. Mereka memaknai takdir sebagai kewajiban, kewajiban yang tidak meminta imbalan langsung. 

Di kurikulum merdeka, siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan pendidik, kesemuanya adalah pembelajar. Tidak ada yang merasa unggul, tetapi sempurna melalui bersinergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun