Bahasa yang sudah punah itu berasal dari Maluku dan Papua. Dari Maluku terdapat bahasa Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila. Sedangkan dari Papua terdapat dua bahasa yaitu Tandia dan Mawes. Sementara bahasa yang kritis adalah bahasa daerah Reta dari NTT, Saponi dari Papua dan Ibo serta Meher dari Maluku.
Cerita menarik dari pulau timur tentang bagaimana sebuah bahasa daerah yang sudah tidak diajarkan, sudah ditinggalkan dalam dunia pendidikan yang berpengaruh terhadap penanaman nilai-nilai karakter dan kearifan lokal penuturnya.Â
Seorang bernama Yopi bercerita, bahasa negerinya itu sudah tidak digunakan. Bahasa Tawiri sebagai bahasa daerah sudah tidak ditemukan lagi penuturnya, sebab semua warganya menggunakan bahasa Melayu Ambon. Kini, sebut dia, hanya ada satu orang yang bisa.Â
Namanya Yoseph Tuhuleruw, baparaja Tawiri sebelum dirinya. Menurut pria 56 tahun itu, bahasa di negerinya hilang karena memang tidak diajarkan. Di sekolah tidak ada pelajaran bahasa daerah.Â
Bahasanya juga tidak pernah digunakan sehari-hari. Apalagi, hampir 70 persen penduduknya adalah pendatang. Efek pengembangan desa. Tanpa diajarkan dan tak lagi digunakan, semakin hilanglah bahasa itu. Bahasa Tawiri tak hanya hilang secara lisan. Tulisan pun sama. Tidak ada satu barang atau apa pun yang terdapat tulisan dengan bahasa Tawiri.
Lain lagi dengan kasus di Laha. Di daerah ini masih ada ratusan penduduk yang bisa berbahasa Laha. Walaupun jumlahnya masih di bawah 500 orang. Laha, merupakan satu-satunya wilayah di Kota Ambon yang masih menggunakan bahasa daerah. Wilayah lainnya di Ambon sudah tidak menggunakan bahasa daerah. Ada dua tipe bahasanya.Â
Ada bahasa Laha yang digunakan untuk percakapan sehari-hari. Ada pula bahasa Tana Laha. Bahasa Tana Laha digunakan untuk acara-acara adat yang terbilang sakral. Misalnya digunakan saat acara doa bersama sebelum menaikkan kubah masjid. Atau saat ada acara pelantikan baparaja baru di rumah adat Laha, Baileo Kakihang Siwateru. Bahasa Tana Laha yang bisa hanya sedikit. Semua penutur bahasa ini berusia di atas 50 tahun dan tidak lagi ada yang mempelajarinya. Jika yang 50 tahun ini meninggal, bahasanya pun akan ikut mati.
Dari dua kisah tersebut, tampak betapa kayanya bahasa di Maluku. Antardesa saja bahasanya sudah berbeda. Berbatas hanya pintu gerbang, beragam bahasa bisa ditemui. Namun, sekali lagi sungguh malang, bahasa yang berlimpah ini, kondisinya telah punah.
Tentu Indonesia tidak ingin lagi banyak bahasa derah yang kritis atau menuju punah. Untuk itulah, Bali mulai membiasakan diri untuk kembali menghidupkan bahasa Ibu, bahasa Bali di setiap lini kehidupan, terutama dalam pendidikan.Â
Bulan bahasa Bali sebagai perayaan kebudayaan dan perayaan terhadap pentingnya bahasa Bali mendapat tempat yang begitu istimewa sekaligus menepis anggapan bahwa tak ada gunanya belajar bahasa Bali atau kebudayaan daerah. Pemerintah telah memberikan tempat. Saatnya insan pendidikan memanfaatkan tempat ini untuk saling menjaga, saling menguatkan pendidikan juga kearifan lokal yang dimiliki.
Penghapusan bahasa daerah dalam dunia pendidikan tidak akan menjadi isu lagi atau tidak akan pernah terdengar kembali. Bahasa daerah dapat dijadikan media penghubung antara generasi sebelumnya dengan generasi sekarang untuk menyiapkan generasi yang akan datang yang kokoh jati dirinya dan menghargai serta bangga akan warisan leluhurnya.Â