Mohon tunggu...
Tryas Munarsyah
Tryas Munarsyah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Website Pribadi : www.aslianakmuna.com

BERBAGI MENGINSPIRASI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggeser/ Mengganti Posisi Bank Indonesia: Mungkinkah?

19 Januari 2024   07:22 Diperbarui: 19 Januari 2024   07:22 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggantian posisi BI oleh kekuasaan domestik juga mustahil dilakukan. Presiden RI, selaku eksekutif, tidak punya kewenangan mengurusi moneter sebagaimana Pasal 6 ayat (2) huruf d UU/17/2003, selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, kekuasaan Presiden "tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang". Sementara, kewenangan fiskal oleh Presiden bersifat dependen terhadap kewenangan moneter BI karena pengedaran uang (fiskal) tunduk pada kebijakan BI. Idealnya, kebijakan moneter yang mengikuti kebijakan fiskal. Situasi ini membuka satu lagi tabir ketiadaan kekuasaan kepala negara di Indonesia. Imbasnya, kebijakan BI tidak selamanya sejalan dengan tujuan bernegara karena punya garis pertanggungjawaban vertikal kepada moneter internasional bukan kepada kepentingan nasional.

Kekuasaan legislatif (DPR RI/MPR RI dan DPD RI) sebenarnya punya kans mengganti posisi BI dengan lembaga baru yang akan menjalankan pengelolaan uang rupiah berdasarkan Pancasila, yaitu pengelolaan uang rupiah dengan sistem tanpa bunga. Sebut saja, lembaga baru tersebut bernama Koperasi Indonesia. Legislatif memiliki kewenangan mengubah UU bahkan UUD 1945 sehingga dapat mengubah UU bahkan UUD 1945. Masalahnya, independensi kedudukan BI selain diatur oleh UU juga diatur oleh TAP MPR RI, yang saat itu diputuskan saat kedudukan MPR RI masih sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, perlu dicermati apakah pengubahan TAP MPR RI oleh MPR RI yang kedudukannya saat ini sebagai lembaga tinggi negara, melanggar hukum atau tidak. Prinsip hukumnya, tidak boleh mengubah hukum dengan cara melanggar hukum. 

Katakanlah, MPR RI sah mengubah TAP MPR RI yang menjadi dasar independensi BI dan menggantinya dengan Koperasi Indonesia (KI) berbasis sistem tanpa bunga, tetap saja menyisakan sejumlah catatan. Pertama, KI wajib mempunyai sistem operasional secanggih atau lebih canggih dibandingkan dengan BI. Alasannya, kedudukan BI dalam siklus aktivitas ekonomi laiknya kedudukan otak dalam tubuh manusia. BI selaku "otak" ekonomi yang memberi perintah kepada "jantung" perbankan untuk memompa "darah" uang rupiah ke seluruh "tubuh" rakyat Indonesia. Proses penggantian sistem pengelolaan uang rupiah juga tidak boleh ada jeda, harus otomatis. Bersamaan dengan lahirnya landasan hukum KI, siklus aktivitas ekonomi harus tetap berdenyut atau tidak terganggu. Terganggunya siklus ekonomi dapat mengancam stabilitas ekonomi nasional yang dapat membahayakan stabilitas negara. 

Kedua, KI wajib memiliki regulasi cut off terhadap utang luar negeri dan pembaruan kerjasama ekonomi (bilateral/multilateral maupun kerjasama G to B/investasi) yang dilakukan oleh pemerintah atas nama negara. Cut off utang luar negeri adalah garansi Indonesia dapat menyicil utang yang sudah terlanjur berjalan sekaligus menjalankan siklus ekonomi baru dalam negeri dan kerjasama ekonomi luar negeri dengan sistem moneter tanpa bunga. Cut off juga termasuk regulasi terkait penghentian uang BI yang sudah beredar dan menggantinya dengan uang rupiah berdaulat yang dikeluarkan oleh KI.    

Ketiga, KI wajib memiliki M0 (modal dasar sistem keuangan) yang telah bebas dari tanggungan moneter berbasis bunga. M0 yang menjadi kas awal KI haruslah bersumber dari produktivitas negara dan sudah tidak lagi memiliki utang budi terhadap moneter BI. M0 KI akan menjadi batu loncatan pemerintah dan rakyat untuk menghasilkan deret produktivitas baru (M1, M2, M3 dst) yang tidak bercampur dengan produktivitas sebelumnya. Hadirnya M0 KI juga memastikan redefinisi keungan negara (APBN) dengan segala bentuk turunannya.

Keempat, garis pertanggungjawaban KI. Jika BI tidak bertanggungjawab kepada kekuasaan domestik, KI bertanggungjawab kepada negara. Problemnya, kebijakan KI meliputi fiskal yang saat ini dikelola oleh eksekutif (Presiden) dan legislatif (regulasi). Dengan demikian, dibutuhkan kekuasaan atas nama negara selaku penanggungjawab aktivitas KI, lembaga moneter negara. Di titik ini, Indonesia sebagai negara republik berdasar atas Pancasila, membutuhkan fungsi kewenangan kepala negara. Anggapan Presiden sebagai kepala negara hanyalah berdasarkan kebiasaan dan kesepakatan "akademik" karena secara de jure, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mendefinisikan Presiden sebagai kepala negara. Lagipula, secara logis, kepala negara dan pemerintahan tidak mungkin dijadikan satu kekuasaan. Mustahil, kepala pemerintahan yang merupakan bagian dari negara mengepalai negara dimana pemerintahan merupakan bagian dari negara. Selain itu, kepala negara mustahil dipilih dengan model kompetisi. Bagaimana mungkin kepala negara bertanggungjawab pada rakyat yang tidak menginginkannya ? 

MPR RI bisa saja menggeser atau mengganti BI dengan KI, namun masih ada satu PR untuk melahirkan kekuasaan kepala negara secara simultan karena praktik KI membutuhkan kewenangan kepala negara selaku penanggungjawab. MPR RI dapat memakai kartu truf terakhir, yaitu menyelenggarakan SI MPR RI. Hanya saja, SI MPR RI dimungkinkan dihelat jika Presiden RI jika presiden dianggap melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Ditambah lagi, tidak ada opsi atau agenda untuk membahas usul penambahan kekuasaan baru.  

Berdasarkan uraian di atas, penggeseran atau penggantian BI sebagai bagian dari revolusi sistem sistem ekonomi simultan revolusi ketatanegaraan mustahil dilakukan dari dalam kekuasaan. Akan tetapi, revolusi yang sifatnya datang dari akar rumput (rakyat) dengan melahirkan chaos bukan solusi bijaksana yang layak ditempuh. Lazimnya, revolusi rakyat berlangsung inkonstitusional namun terjustifikasi karena keadaan mendesak (force majeur) dengan efek kerusakan berantai yang cukup besar. Belajar dari sejarah reformasi, tentu saja, kita tidak berharap revolusi model demikian itu kembali berulang. Lantas, adakah asa untuk suatu model revolusi ketatanegaraan (sistem ekonomi) yang sah dan damai ? Pasti. There is a (pure) will, there is (absolut) way.

 -------------------------------------------------- Bersambung ---------------------------------------------

-QFA-
#RepublikasiDamai
#RevolusiSahdanDamai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun