Mohon tunggu...
Tryas Munarsyah
Tryas Munarsyah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Website Pribadi : www.aslianakmuna.com

BERBAGI MENGINSPIRASI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggeser/ Mengganti Posisi Bank Indonesia: Mungkinkah?

19 Januari 2024   07:22 Diperbarui: 19 Januari 2024   07:22 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revolusi Sistem Ekonomi Bagian ke Lima

Menggeser/ Mengganti Posisi Bank Indonesia : Mungkinkah ?

Pada pokoknya, ekonomi Pancasila adalah kedaulatan NKRI dalam bidang ekonomi c.q. mengelola moneter dan fiskal (uang rupiah/ keuangan negara). Pada kenyataannya, pengelolaan moneter Indonesia oleh Bank Indonesia (BI) dilaksanakan dengan sistem bunga.  Bank Indonesia adalah bank sentral negara milik Indonesia hasil nasionalisasi DJB (De Javasche Bank) peninggalan VOC.

Meskipun telah dinasionalisasi sejak 1 Juli 1953, pengelolaan moneter BI tidak tunduk pada kedaulatan NKRI. BI merupakan jejaring bank sentral di seluruh dunia yang eksistensinya tidak tunduk pada otoritas negara. Sistem bank dengan sistem bunga dikembangkan oleh Keluarga Rothschild lebih dari 230 tahun hingga berhasil menguasai bank sentral di seluruh dunia kecuali Iran, Kolombia dan Korea Utara. Oleh karena itu, sepanjang pengelolaan moneter NKRI masih dipegang oleh BI, keuangan negara tidak akan pernah berdaulat.

Upaya NKRI untuk memiliki pengelolaan uang rupiah berdaulat pernah digagas setahun setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya Bank Negara Indonesia (BNI). Bank sentral RI yang diresmikan tanggal 5 Juli 1946 oleh Presiden Soekarno ini, mencetak dan mengedarkan  ORI (Oeng Republik Indonesia) ke seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya, kiprah BNI berlangsung singkat karena tidak mendapat "restu" bank dunia saat itu. Pasca penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB), peran bank sentral dikembalikan kepada De Javasche Bank (DJB) sebelum akhirnya dinasionalisasi menjadi BI. 

Kegagalan BNI sebagai ikhtiar NKRI memiliki bank sentral yang berdaulat disebabkan oleh dua faktor. Pertama, BNI belum memiliki sistem pengeloaan moneter yang cukup kuat, sementara DJB saat itu tetap mencetak dan mengedarkan uang dengan sistem yang lebih kokoh dan berpengalaman. Alhasil, ORI mencatat inflasi terbesar sepanjang sejarah moneter Indonesia, yaitu mencapai 1000 persen. Sederhananya, ORI kalah bersaing dengan uang DJB.

Ketidakberdayaan negara terhadap independensi otoritas moneter BI juga sempat dipertanyakan oleh mantan Presiden RI, B.J. Habibie sebelum era reformasi bergulir, 1990-an. Bahkan, kegagalan inisiasi industri pesawat terbang nasional yang digagas oleh B.J. Habibie atas permintaan Presiden Soeharto saat itu,  tidak bisa dilepaskan oleh campur tangan moneter internasional yang mensyaratkan Indonesia menghentikan proyek pesawat N250. Habibie menyadari bahwa kekuasaan Soeharto tidak berdaya mengintervensi BI sehingga harus meminjam kepada IMF untuk menyelamatkan Indonesia. Untuk kesekian kalinya, Indonesia tidak dapat keluar dari belenggu pengelolaan moneter dengan sistem bunga.   

Meskipun sulit, pengelolaan moneter NKRI wajib berdaulat merupakan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Preambule  UUD 1945. Agar terwujud pemerintahan negara Indonesia yang menjamin tujuan bernegara, susunan negara wajib berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, upaya menghadirkan bank sentral NKRI yang berdaulat adalah kewajiban tiap-tiap warga negara sebagai tindakan bela negara.

Pengelolaan moneter oleh BI dengan sistem bunga mutlak tidak berkedaulatan rakyat dan tidak berdasarkan Pancasila. Pemerintah (eksekutif dan legislatif) sebagai kekuasaan yang lahir dari kedaulatan rakyat tidak dapat mencampuri kewenangan BI sebagaimana Pasal 9 TAP MPR RI No. XVI /MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi jo Pasal 4 UU/3/2004 Tentang Perubahan Atas UU/23/1999 Tentang Bank Indonesia. Kedaulatan rakyat saat Pemilu yang berbentuk "suara" juga memperkuat bukti bahwa pengelolaan moneter oleh BI dengan sistem bunga bukan mandat kedaulatan rakyat Indonesia karena "suara" saat Pemilu adalah cek kosong nir-mandat. Selain itu, Pancasila sebagai nilai-nilai hidup yang merupakan ekstraksi keyakinan dan agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, tidak ada satu pun yang membenarkan praktik bunga atas uang.

Secara de jure, pengelolaan moneter dan fiskal dengan sistem tanpa bunga merupakan amanat konstitusi sebagaimana penjelasan UUD 1945 (asli) BAB VIII Hal Keuangan  yang menerangkan bahwa uang adalah alat penukar dan pengukur harga untuk memudahkan pertukaran jual beli (produktivitas) masyarakat. Penjelasan ini sangat gamblang (tidak ada multitafsir) bahwa uang bukanlah komoditas/ jasa melainkan sekedar pengukur nilai. Selain itu, Pasal 33 ayat (2) mewajibkan uang dikuasai oleh negara karena merupakan instrumen yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi, secara de facto, pengelolaan moneter dan fiskal (uang rupiah/ keuangan negara) justru sebaliknya.

Upaya untuk membuat bank sentral NKRI yang berdaulat membutuhkan beberapa syarat dan ketentuan. Penggeseran/ penggantian posisi BI dengan lembaga moneter yang baru wajib dilakukan secara konstitusional. Posisi BI tidak dapat otomatis langsung digantikan begitu saja karena terikat dengan aturan moneter internasional. Ditambah lagi, sederet perjanjian pemerintah dengan pihak luar negeri melibatkan rupiah yang pengelolaannya berbasis bunga khususnya terkait utang luar negeri. Sehingga, penggeseran/ penggantian posisi BI tidak boleh melanggar hukum internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun