Uang yang bersifat pinjaman berbunga dengan agunan aset, lebih besar peluangnya diakses oleh mereka yang menguasai aset atau sumberdaya. Sebaliknya, rumah tangga ekonomi yang memiliki sedikit aset cenderung tidak berani "berjudi" untuk mengakses (meminjam) uang di bank atau lembaga jasa keuangan lainnya karena faktor ketidakpastian ekonomi akibat faktor persaingan. Untung belum tentu diraih, aset bisa jadi melayang (terlelang). Dilansir dari katadata(dot)com, berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar (231 ribu rekening dengan nilai simpanan 2605 T). Di sisi lain, hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta (183 juta rekening dengan nilai simpanan 673 T). Luar biasa bukan? Hal inilah yang memicu lahirnya "Oligarki" dalam defenisi di atas.
Situasi ini menjadi semakin timpang akibat kuasa pemerintah yang tak mampu menjangkau moneter. Sementara, sumbangan langsung uang dari pemerintah (fiskal) terhadap ekonomi rakyat kalah jauh dibanding andil sektor moneter via perbankan tahun 2019 mencapai Rp 2.561,03 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit investasi mencapai Rp 1.404 triliun. Untuk penyaluran kredit konsumsi, menurut data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), mencapai Rp 1.502,61 triliun. Di sisi lain, data Kemenkeu merilis realisasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hingga akhir tahun mencapai Rp 2.310 triliun atau setara 93,9% dari pagu APBN 2019 yakni sebesar Rp 2.461,11 triliun. Â
Total keluaran uang via perbankan (jasa keuangan) sebesar 5467, 64 T. Angka ini 2,3 kali lipat lebih banyak dibanding sumbangsih uang yang dikeluarkan via APBN. Persentasenya bisa lebih tinggi jika belanja gaji dan fasilitas penyelenggara dikeluarkan dari struktur belanja pemerintah. Terlebih lagi kisaran 82,5 % pendapatan yang dipakai belanja oleh pemerintah bersumber dari pajak (mayoritas) rakyat. Apalagi terungkap fakta bahwa Sumber Utang Indonesia didominasi oleh instrument Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 88,20 persen dari seluruh komposisi utang akhir Mei 2022. Utang pemerintah berupa SBN mencapai Rp 6.175,83 triliun, sedangkan dari pinjaman sebesar Rp 825,40 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri senilai Rp 14,74 triliun dan pinjaman luar negeri sebanyak negeri sebanyak Rp 811,67 triliun (Money Kompas, 2022). Â
Jadi Surat Berharga Negara dalam ragam modelnya adalah alat percetakan keuangan dengan model sistem anggunan berbunga adalah Sumber Utama Utang Indonesia yang kalau ini tidak diselesaikan maka Utang Indonesia tidak pernah akan lunas. Bahkan dominasi "Oligarki" akan selalu bertambah, karena angunan berbunga adalah asset utama Sistem Ekonomi Perbankan.
Olehnya itu untuk meminimalisir perilaku tidakan Oligarki dalam sistem perpolitikan tersebut serta alat yang disetir melalui Sistem Ekonomi oleh Perbankan tak terkecuali dominasi pengendaliannya yang belum berdaulat akibat dari Sistem Perbankan cq Bank Indonesia, maka perlu adanya Revolusi Sistem Politik- Ekonomi. Dalam rangka revolusi sistem politik tersebut ini maka solusi yang perlu dilakukan adalah dengan menyintesis (fusyen) sistem politik kerajaan dan demokrasi. Di mana Raja adalah represntasi dari Sistem Bangsa yang telah beranak pinak di Indonesia.
Sedangkan demokrasi menggambarkan kedaulatan tiap-tiap rakyat yang memilki kesamaan hak dan kedudukannya di dalam hukum. Rakyat menjadi penentu arah kebijakan pemerintah, bukan sebaliknya seperti yang terjadi pada realita hari ini.
Pertama, jabatan Presiden RI bisa dijabat oleh siapa saja sepanjang memenuhi kriteria persyaratan. Utamanya, siap melayani seluruh rakyat tanpa kecuali khususnya menjamin terwujudnya supremasi keadilan. Memastikan terlaksananya mandat setiap rakyat (keadilan ekonomi) sekaligus memastikan tidak terjadi benturan sesama mandat rakyat (keadilan hukum).
Kedua, Presiden RI dipilih secara musyawarah mufakat melalui MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, forum tertinggi kedaulatan rakyat. Anggota MPR RI merupakan para ahli yang mewakili seluruh bidang kehidupan, mewakili seluruh bentuk atau ragam berserikat berkumpul (organisasi).
Ketiga, anggota MPR RI tidak boleh disimplifikasi, diambil dari perwakilan partai politik dan golongan (yang ditentukan oleh penguasa) sebagaimana yang terjadi di era Orba atau sebatas perwakilan partai politik dan perwakilan daerah sebagaimana praktik di era reformasi. Pada intinya, MPR RI merupakan cerminan seluruh ragam golongan (small area) dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote.
Keempat, pengambilan keputusan penentuan Presiden RI oleh MPR RI melalui mekanisme musyawarah mufakat berbasis hikmah kebijaksanaan. Tidak ada opsi voting. Dalam voting, ada kebenaran yang dikalahkan. Dalam musyawarah, semua kebenaran diakui.
Kewenangan kepala negara bertindak atas nama negara menjadi benar secara logika karena dipilih oleh MPR RI, disebut mandataris MPR RI. Sedangkan MPR RI merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (mandataris rakyat). Dengan demikian, Presiden RI merupakan kepala seluruh rakyat Indonesia.