Mohon tunggu...
Tryas Munarsyah
Tryas Munarsyah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Website Pribadi : www.aslianakmuna.com

BERBAGI MENGINSPIRASI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revolusi Sistem Politik-Ekonomi adalah Solusi Mereduksi Oligarki

14 Januari 2024   22:49 Diperbarui: 14 Januari 2024   22:50 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data yang disarikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),   dalam   periode 2004-2015 sebanyak   39   kasus anggota parlemen yang terlibat korupsi. Dimana jumlah tersebut meningkat dari dua periode parlemen terakhir yaitu 2009-2014 dan 2014-2019 (ICW: 2019).  Sedangkan dalam rumpun daerah, menurut Bambang Widjojanto sebagai aktivis antikorupsi menyatakan bahwa kurang lebih 36.000 anggota parlemen daerah telah terlibat dalam kasus korupsi pasca pemberlakuan otonomi daerah (Kompas:  25 September, 2014).

Salah  satu  faktor  yang  menjadi pemicu melambatanya  penguatan posisi demokrasi  di Indonesia   adalah   dominasi  kekuatan   politik oleh  kelompok  tertentu  yang  memiliki kepentingan dan agenda  yang tidak jarang berseberangan dengan  kepentingan rakyat secara   luas.  Kelompok ini yang biasa kita dengar dengan sebutan di Oligarki, yaitu kumpulan individu yang memiliki sumber daya ekonomi politik yang jauh lebih besar dibanding kelompok masyarakat yang lain (Amir dkk, 2020).  

Menurut  Winters  (2011), oligarki adalah suatu politik pertahanan  kekayaan  yang dilakukan oleh mereka yang memiliki sumber  daya  material yang luar biasa  besar  dalam menghadapi  berbagai tantangan  yang  dapat  mengancam  properti dan  pendapatan mereka.  Siapa para aktor "super kaya" tersebut? Mereka yang masuk kategori ini, misalnya, para pengusaha yang  masuk  ke  jajaran  "50  Orang  Terkaya  Indonesia"  versi  majalah Forbes, atau "150 Orang Terkaya Indonesia" versi majalah Globe Asia. Berbeda  dengan  Winters, Hadiz dan  Robison (2014) memaknai oligarki sebagai sebuah  

sistem  hubungan  kekuasaan  yang  memungkinkan terciptanya  konsentrasi kekayaan  dan  otoritas/kekuasaan  dan  pertahanan   kolektif  (atas   kekayaan   dan otoritas  tersebut). 

Baik  Winters  maupun  Hadiz  dan Robison menekankan bahwa Oligarki adalah  orang-orang   yang  bisa  dikategorikan  sebagai   "aktor  yang  memiliki  sumber  daya material luar biasa besar yang digunakan untuk memengaruhi kebijakan publik atau dinamika politik guna mempertahankan  kekayaan  dan  sumber  pendapatan  tersebut. 

Singkatnya, oligarki muncul ketika para aktor super kaya ini mulai terlibat dalam politik pertahanan kekayaan. Dampak dari  praktik  oligarki  ini tidak  hanya  merusak  sendi-sendi  demokrasi dan   seluruh   infrastruktur  politik   partisipatif  yang   dibangun,   tetapi   juga  menghasilkan kerusakan nyata dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, media, hingga lingkungan dan perkotaan. Salah  satu  dampak  nyata dari kondisi struktural dalam sistem  politik Indonesia  adalah merebaknya  suatu  kecenderungan yang  sering disebut sebagai  "dinasti politik" yaitu fenomena  di mana  jabatan  eksekutif dan legislatif, khususnya  di daerah,  dikuasai oleh kelompok  tertentu  yang  memiliki  ikatan  kekerabatan.   Walaupun  pendapat   pro  dan kontra  bermunculan   mengenai   implikasi  dari  dinasti  politik terdapat  korelasi  yang  cukup  kuat  antara  dinasti politik dan  praktek  oligarki yang daya rusaknya cukup dahsyat di masyarakat (Amir dkk, 2020). 

Lahirnya Kekuasan Oligarki dengan segudang sumber kekayaan yang dimiliki dan segala dampak yang di timbulkan dalah akibat dari Sistem Perpolitikan Demokrasi melalui proses Pemilu Tertutup dan Kosong yang hanya terwakili oleh wadah bernama "Partai Politik" serta memakan biaya yang besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei terkait kisaran dana yang harus dimiliki dalam mengikuti konstentasi politik ini. Dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Untuk gubernur, harus memiliki dana Rp 100 miliar. Terlebih lagi untuk pemilihan Presiden dapat ditaksir mencapai triliunan rupiah (Republika.com, 2022).  

Modal yang besar ini tentunya tidak hanya dipakai untuk membiayai   pelaksanaan kampanye saja namun yang tidak kalah pentingnya membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk didalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye. Modal ini memiliki makna penting menjadi "penggerak" dan "pelumas" mesin politik yang dipakai. Dana yang besar ini dengan segala peruntukannya tentu sulit bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri atau melalui partai politik semata.  Maka, kandidat atau partai kemudian berjejaring dengan para pengusaha atau pemilik modal dengan kontrak politik yang telah ditentukan. Sederhananya para kandidat atau partai politik berada di bawah kendali pemilik modal. Terlebih lagi sistem politik melalui pemilihan kosong tanpa mandat menyebabkan kedaulatan rakyat terampas oleh "Cek Kosong Suara".    

Faktanya rakyat kemudian hanya datang melakukan pencoblosan dan setelah itu kembali beraktivitas. Harapan perubahan yang dinginkan rakyat hanya menjadi bola panas yang dimanfaatkan oleh kandidat juga partai politik. Pasca proses ini selesai keingian yang menjadi hak masing-masing rakyat tidak dapat terealisasi. Diperparah lagi dengan kondisi sistem politik yang hanya melalui dua pintu yakni partai politik dan Dewan Perkalian Daerah. Pada kondisi tersebut tentunya ragam hak rakyat tidak dapat terfasiltasi secara menyeluruh. Katakanlah jika ada rakyat yang tidak sesuai dengan visi misi partai juga Dewan Perwakilan Daerah, lantas kemanakah mandat haknya akan terfaslitasi? 

Akibat kondisi sistem politik tanpa mandat termasuk dua pintu proses politik dengan biaya yang besar ini, maka tentunya dapat ditebak dengan mudah bahwa kebijakan pemerintah atau pemegang kuasa nantinya semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif mereka. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian di negara-negara yang demokrasinya setengah matang, kesejahteraan rakyatnya tersendat. Tertelan oleh kartel politik.

Di satu sisi Oligarki dengan modalnya untuk membeli dan mengendalikan kebijakan pemerintahan timbul karena Sistem Ekonomi/Keuangan kita yang dikelola oleh perbankan cq Bank Indonesia hari ini yang tidak adil/merata. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena Sistem Ekonomi Indonesia yang dikelola oleh perbankan ini menempatkan uang sebagai "jasa" yang akhirnya menjadi penyebab utama ketimpangan dalam ekonomi. Bisa dikatakan, sistem uang adalah "otak" dari ekonomi liberal hari ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun