Berdasarkan data yang disarikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  dalam  periode 2004-2015 sebanyak  39  kasus anggota parlemen yang terlibat korupsi. Dimana jumlah tersebut meningkat dari dua periode parlemen terakhir yaitu 2009-2014 dan 2014-2019 (ICW: 2019).  Sedangkan dalam rumpun daerah, menurut Bambang Widjojanto sebagai aktivis antikorupsi menyatakan bahwa kurang lebih 36.000 anggota parlemen daerah telah terlibat dalam kasus korupsi pasca pemberlakuan otonomi daerah (Kompas: 25 September, 2014).
Salah  satu  faktor  yang  menjadi pemicu melambatanya  penguatan posisi demokrasi  di Indonesia  adalah  dominasi  kekuatan  politik oleh  kelompok  tertentu  yang  memiliki kepentingan dan agenda  yang tidak jarang berseberangan dengan kepentingan rakyat secara  luas. Kelompok ini yang biasa kita dengar dengan sebutan di Oligarki, yaitu kumpulan individu yang memiliki sumber daya ekonomi politik yang jauh lebih besar dibanding kelompok masyarakat yang lain (Amir dkk, 2020). Â
Menurut  Winters  (2011), oligarki adalah suatu politik pertahanan  kekayaan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki sumber  daya material yang luar biasa  besar  dalam menghadapi  berbagai tantangan  yang dapat  mengancam  properti dan  pendapatan mereka.  Siapa para aktor "super kaya" tersebut? Mereka yang masuk kategori ini, misalnya, para pengusaha yang  masuk  ke  jajaran "50  Orang  Terkaya  Indonesia" versi majalah Forbes, atau "150 Orang Terkaya Indonesia" versi majalah Globe Asia. Berbeda  dengan  Winters, Hadiz dan Robison (2014) memaknai oligarki sebagai sebuah Â
sistem  hubungan  kekuasaan  yang memungkinkan terciptanya  konsentrasi kekayaan  dan  otoritas/kekuasaan  dan  pertahanan  kolektif  (atas  kekayaan  dan otoritas  tersebut).Â
Baik Winters maupun Hadiz dan Robison menekankan bahwa Oligarki adalah  orang-orang  yang  bisa  dikategorikan  sebagai  "aktor yang  memiliki  sumber  daya material luar biasa besar yang digunakan untuk memengaruhi kebijakan publik atau dinamika politik guna mempertahankan  kekayaan  dan  sumber  pendapatan tersebut.Â
Singkatnya, oligarki muncul ketika para aktor super kaya ini mulai terlibat dalam politik pertahanan kekayaan. Dampak dari praktik oligarki ini tidak hanya merusak sendi-sendi demokrasi dan  seluruh  infrastruktur politik  partisipatif yang  dibangun,  tetapi  juga menghasilkan kerusakan nyata dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, media, hingga lingkungan dan perkotaan. Salah satu dampak nyata dari kondisi struktural dalam sistem politik Indonesia adalah merebaknya suatu kecenderungan yang sering disebut sebagai "dinasti politik" yaitu fenomena di mana jabatan eksekutif dan legislatif, khususnya di daerah, dikuasai oleh kelompok tertentu yang memiliki ikatan kekerabatan.  Walaupun pendapat  pro dan kontra bermunculan  mengenai  implikasi dari dinasti politik terdapat korelasi yang cukup kuat antara dinasti politik dan praktek oligarki yang daya rusaknya cukup dahsyat di masyarakat (Amir dkk, 2020).Â
Lahirnya Kekuasan Oligarki dengan segudang sumber kekayaan yang dimiliki dan segala dampak yang di timbulkan dalah akibat dari Sistem Perpolitikan Demokrasi melalui proses Pemilu Tertutup dan Kosong yang hanya terwakili oleh wadah bernama "Partai Politik" serta memakan biaya yang besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei terkait kisaran dana yang harus dimiliki dalam mengikuti konstentasi politik ini. Dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Untuk gubernur, harus memiliki dana Rp 100 miliar. Terlebih lagi untuk pemilihan Presiden dapat ditaksir mencapai triliunan rupiah (Republika.com, 2022). Â
Modal yang besar ini tentunya tidak hanya dipakai untuk membiayai  pelaksanaan kampanye saja namun yang tidak kalah pentingnya membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk didalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye. Modal ini memiliki makna penting menjadi "penggerak" dan "pelumas" mesin politik yang dipakai. Dana yang besar ini dengan segala peruntukannya tentu sulit bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri atau melalui partai politik semata. Maka, kandidat atau partai kemudian berjejaring dengan para pengusaha atau pemilik modal dengan kontrak politik yang telah ditentukan. Sederhananya para kandidat atau partai politik berada di bawah kendali pemilik modal. Terlebih lagi sistem politik melalui pemilihan kosong tanpa mandat menyebabkan kedaulatan rakyat terampas oleh "Cek Kosong Suara".  Â
Faktanya rakyat kemudian hanya datang melakukan pencoblosan dan setelah itu kembali beraktivitas. Harapan perubahan yang dinginkan rakyat hanya menjadi bola panas yang dimanfaatkan oleh kandidat juga partai politik. Pasca proses ini selesai keingian yang menjadi hak masing-masing rakyat tidak dapat terealisasi. Diperparah lagi dengan kondisi sistem politik yang hanya melalui dua pintu yakni partai politik dan Dewan Perkalian Daerah. Pada kondisi tersebut tentunya ragam hak rakyat tidak dapat terfasiltasi secara menyeluruh. Katakanlah jika ada rakyat yang tidak sesuai dengan visi misi partai juga Dewan Perwakilan Daerah, lantas kemanakah mandat haknya akan terfaslitasi?Â
Akibat kondisi sistem politik tanpa mandat termasuk dua pintu proses politik dengan biaya yang besar ini, maka tentunya dapat ditebak dengan mudah bahwa kebijakan pemerintah atau pemegang kuasa nantinya semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif mereka. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian di negara-negara yang demokrasinya setengah matang, kesejahteraan rakyatnya tersendat. Tertelan oleh kartel politik.
Di satu sisi Oligarki dengan modalnya untuk membeli dan mengendalikan kebijakan pemerintahan timbul karena Sistem Ekonomi/Keuangan kita yang dikelola oleh perbankan cq Bank Indonesia hari ini yang tidak adil/merata. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena Sistem Ekonomi Indonesia yang dikelola oleh perbankan ini menempatkan uang sebagai "jasa" yang akhirnya menjadi penyebab utama ketimpangan dalam ekonomi. Bisa dikatakan, sistem uang adalah "otak" dari ekonomi liberal hari ini.Â