Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah Kita Butuh Pesawat atau Mewujudkan Jembatan Udara?

28 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 28 Januari 2025   15:15 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pesawat Mengudara (sumber gambar: pixabay.com/Anestiev)

Beberapa waktu yang lalu, menteri BUMN kita menyebutkan bahwa penerbangan domestik kita membutuhkan sebanyak 750 pesawat sedangkan saat ini hanya terdapat 410 pesawat, ini berarti kita masih kekurangan 340 pesawat untuk melayani berbagai rute penerbangan domestik

Jumlah ini jika hanya dilihat sebagai angka tidak lah terlalu banyak namun jika dilihat dari jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk 340 unit pesawat tidaklah demikian.

Mari kita berhitung, jika kita asumsikan pesawat yang dibutuhkan adalah pesawat jet airliner lorong satu dengan kapasitas antara 150--200 pax seperti Boeing B 737 8 MAX dimana harga per unit nya sekitar USD 124 juta (harga tahun 2022) maka biaya yang harus dikeluarkan adalah USD 42,160,000,000, jika dengan pesawat Airbus A 320Neo yang per unit nya sekitar USD 101 juta (per tahun 2018) kita mendapatkan angka 34,304,000,000.

Biaya yang tidak kecil walau dibagi dengan beberapa maskapai sekalipun, namun karena penerbangan adalah kebutuhan yang harus dipenuhi maka perencanaan dan persiapan perlu dipikirkan.

Akan tetapi ada beberapa pertanyaan yang timbul dari pernyataan bapak menteri BUMN kita seperti misalnya apakah kekurangan pesawat tersebut untuk mengisi kekurangan kursi pada rute rute penerbangan yang sudah ada atau untuk membuka rute rute baru agar konektivitas udara nasional semakin luas ?.

Jika untuk mengisi kekurangan kursi pada rute rute yang sudah ada maka yang bertambah adalah frekuensi penerbangan namun jika untuk membuka rute baru berarti terbukanya akses ke beberapa daerah yang sebelumnya tidak terkoneksi melalui transportasi udara.

Kita mengenal penerbangan reguler oleh maskapai penerbangan yang umumnya menghubungkan dua kota (umumnya kota kota besar) serta ada juga penerbangan perintis yang dapat membuka akses ke daerah daerah Terpencil, Tertinggal, Terluar dan Perbatasan (3PT).

Baca juga: Ekosistem Aviasi

Pertanyaan selanjutnya adalah kekurangan 340 unit pesawat tersebut untuk memenuhi penerbangan yang mana ?

Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah pada penyedia transportasi udara yaitu maskapainya dimana saat ini hanya ada 3, grup maskapai terbesar yang (dapat dikatakan) menguasai rute rute penerbangan domestik ditambah maskapai maskapai yang baru dan akan beroperasi.

Dari tiga grup maskapai terbesar hanya ada satu grup yang menjadi milik Pemerintah sedangkan dua lainnya swasta, apakah kekurangan ini akan menjadi beban maskapai milik pemerintah saja sepenuhnya?

Untuk menjawab semua pertanyaan di atas mungkin agak sulit karena pernyataan dari bapak Menteri BUMN tidak memberikan gambaran yang rinci, akan tetapi mari kita mencoba untuk memahami ini dari sisi lain, atau tepatnya dari sisi jembatan udara.

Mungkin beberapa dari kita tidak asing dengan istilah 'jembatan udara' yang dahulu sempat menjadi salah satu slogan dari salah satu maskapai milik pemerintah.

Slogan tersebut seperti sudah menjadi identitas dari sebuah maskapai milik pemerintah tersebut karena kalau kita melihat rute rute penerbangan maskapai ini memang benar benar menggambarkan jembatan udara.

Apa sih jembatan udara itu? Jika kita melihat jembatan yang menghubungkan dua daratan yang terpisah dengan laut, sungai, danau dan perairannya lainnya maka kita bisa melihat fisik dari jembatan tersebut, tidak demikian di udara, jadi apa jembatan udara itu ?

Jembatan udara hanya akan tercipta bila ada lalu lintas pesawat yang menghubungkan antara dua titik atau daerah melalui rute penerbangan, jadi jembatan udara bukanlah berupa fisik melainkan berupa penerbangan atau angkutan udara untuk orang dan barang yang dilakukan oleh para operator (maskapai) pesawat berupa rute penerbangan.

Jika tidak ada lalu lintas maka jembatan udara tersebut akan menjadi sekadar jembatan bayangan yang tidak menciptakan konektivitas yang jika dalam konteks ekonomi dapat berarti terjadinya interaksi antara pembeli dan penjual ataupun antara sentra produksi dengan para konsumennya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa rute penerbangan dapat menjadikan jembatan udara sebuah kenyataan, sedangkan frekuensi penerbangan akan menambah interaksi antar dua atau lebih titik atau daerah, dalam konteks pendistribusian barang ini tidak hanya berarti terjadinya pendistribusian barang saja tapi juga ketersediaannya dapat diatur dengan adanya frekuensi penerbangan.

Secara singkat, jembatan udara adalah sesuatu yang menghubungkan dua daerah namun lalu lintas pesawat lah yang melahirkan interaksi antara dua daerah (konektivitas).

Namun sebagai tambahan, definisi dari jembatan udara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 2017 adalah pelaksanaan angkutan udara kargo dari Bandar Udara ke Bandar Udara lainnya dan/atau dari Bandar Udara ke Bandar Udara dengan menggunakan mekanisme kewajiban pelayanan publik angkutan barang dari dan ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan.

Mungkin ada yang kemudian bertanya, mengapa begitu penting jembatan udara? Jawabannya adalah rute penerbangan tidak hanya menciptakan konektivitas (ekonomi), tapi juga memberikan aksesibilitas dan mobilitas kepada para penduduk di daerah daerah yang terkoneksi.

Jika sebelumnya para penduduk harus melakukan perjalanan berhari hari serta dengan biaya yang tinggi, dengan adanya rute penerbangan waktu tempuh dapat dipersingkat, begitu pula biaya ekonomi yang dikeluarkan -- dan dengan adanya aksesibilitas maka pergerakan orang dan barang akan lebih mudah dan sering (mobilitas).

Pada sebelumnya sudah dikatakan bahwa pesawat tidak membutuhkan infrastruktur fisik seperti jalan, rel, serta jembatan seperti pada transportasi darat, dengan demikian aksesibilitas sebenarnya sudah tersedia -- pada ruang udara tidak perlu dibangun infrastruktur fisik di antara dua titik atau daerah yang ingin kita hubungkan, namun kita perlu membangun bandara pada dua titik tersebut serta memerlukan kendaraannya yaitu pesawat agar dapat melakukan penerbangan atau angkutan udara pada rute rute penerbangannya.

Luasnya ruang udara kita dari Sabang hingga Merauke menggambarkan betapa panjang dan banyaknya jembatan yang perlu dibangun untuk menghubungkan antar seluruh daerah kita di Indonesia, dan oleh karena banyaknya jembatan udara yang perlu dibangun tersebut berarti kita juga membutuhkan banyak pesawat.

Kita membutuhkan banyak pesawat untuk mewujudkan jembatan udara yang dapat memberikan manfaat jangka panjang yang besar -- baik kepada para penduduk maupun kepada pertumbuhan ekonomi negara.

Jembatan udara adalah alat, media serta bagian dari Connectivity, Accessibility dan Mobility (CAM) yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Pertanyaannya kini adalah apakah dengan hanya 750 unit pesawat kita dapat membangun semua jembatan udara tersebut? Juga bukankah kita sebenarnya lebih perlu memikirkan bagaimana cara kita mewujudkan jembatan udara nasional ?

Kita memang membutuhkan pesawat akan tetapi tidak hanya sekadar untuk mengisi kekurangan kapasitas kursi pada rute rute yang sudah ada ataupun menambah rute, kita memerlukan pesawat juga untuk mewujudkan jembatan udara kita agar Connectivity, Accessibility dan Mobility (CAM) kita terpenuhi dengan maksimal.

Pesawat memiliki lifespan yang bisa hingga 20 tahun atau lebih, oleh karenanya pesawat tidak hanya sekadar sebagai solusi dari permasalahan jangka pendek tapi juga untuk mendukung perencanaan jangka panjang akan tetapi jika perencanaan jangka panjang kurang mendapat tempat di zona prioritas pembangunan (baca : perencanaan strategis) maka pemanfaatan pesawat hanya akan menjadi solusi jangka pendek dan menengah.

Salam Aviasi.

***

Referensi :

  • money.kompas.com/read/2025/01/21/173724426/erick-thohir-tak-masalah-fly-jaya-muncul-dan-jadi-pesaing-bumn?source=bacajuga&engine=C
  • merriam-webster.com/dictionary/connectivity
  • en.wikipedia.org/wiki/Accessibility
  • en.wikipedia.org/wiki/Mobilities
  • transportgeography.org/contents/chapter2/transport-and-spatial-organization/relevance-connectivity
  • airbus.com/sites/g/files/jlcbta136/files/2021-07/new-airbus-list-prices-2018.pdf
  • statista.com/statistics/273941/prices-of-boeing-aircraft-by-type/
  • Peraturan Pemerintah no. 17 tahun 2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun