Pengoperasian pesawat untuk segala jenis penerbangan termasuk penerbangan komersial berjadwal akan selalu menempatkan keselamatan penerbangan sebagai prioritas.
Hal ini utamanya adalah untuk melindungi orang yang berada di dalam pesawat -- baik itu kru maupun penumpang -- dan bila kita berbicara dalam konteks jenis penerbangan maka pada penerbangan militer agar misi dan operasi dapat terlaksana sukses sedangkan pada penerbangan sipil agar pesawat dapat terbang dari poin A ke B dengan selamat.
Dari sisi operator pesawat penumpang dan kargo, faktor yang dapat memengaruhi keselamatan penerbangan tidak hanya dari internal saja seperti pemeliharaan pesawat dan lainnya akan tetapi juga ada faktor eksternal dimana salah satunya yaitu ruang udara yang menjadi lintasan pesawat mereka.
Akan tetapi dalam konteks kedaulatan negara, ruang udara pada dasarnya adalah sama dengan lautan dan daratan yang merupakan bagian dari kedaulatan sebuah negara di mana setiap negara yang berdaulat dapat menerapkan hukum dan aturan pada teritorinya.
Namun cara dan langkah setiap negara dapat berbeda beda dalam hal menindak segala jenis pelanggaraan teritori nya terutama dalam hal Rules of Engagement (ROE) dan ketika sebuah negara berkonflik dengan satu negara lain atau lebih maka ruang udaranya pun dapat menjadi faktor yang memengaruhi keselamatan penerbangan.
Pada tanggal 24 Februari 1996 sebuah pesawat Cessna 337 yang diregistrasi di Amerika ditembak jatuh oleh Angkatan Udara Kuba yang mengklaim bahwa pesawat tersebut telah melakukan pelanggaran pada ruang udaranya.
Kita juga masih ingat pesawat dari maskapai penerbangan Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-17 yang ditembak oleh rudal dari darat di timur Ukraina pada tanggal 17 Juli 2014 dan menewaskan semua 283 penumpang dan 15 krunya.
Kejadian lainnya adalah pesawat Boeing B 747 milik maskapai PanAm yang meledak di udara akibat ledakan bom di ruang kargo pesawat pada tahun 1983, walau kejadiannya tidak serupa namun semuanya menggambarkan bahwa faktor eksternal menjadi satu faktor penting dalam keselamatan penerbangan.
Pada kejadian 9/11 kita bisa melihat bagaimana Amerika menutup ruang udaranya untuk semua jenis penerbangan setelah beberapa saat terjadinya serangan terhadap twin towers dengan menggunakan pesawat penumpang.
Penutupan ini bisa saja dilihat sebagai cara untuk mengidentifikasi pesawat yang mungkin masih menjadi ancaman, namun pada akhirnya bertujuan untuk menghindari lebih banyaknya korban.
Perbedaan cara dan langkah dari masing masing negara tersebut juga dapat menciptakan ancaman dan resiko yang berbeda beda serta bertambah jenisnya , juga dengan seiring perkembangan teknologi terutama pada konteks peperangan (warfare).
Teknologi jamming dan spoofing misalnya yang menjadi bagian dari Electromagnetic Warfare (EW), walau bertujuan untuk menggangu komunikasi antara pesawat dan pusat komando lawan baik yang berlokasi di darat maupun udara (Airbone Command and Control), akan tetapi teknologi ini pada dasarnya juga dapat menganggu sistem komunikasi dan navigasi udara bagi semua jenis pesawat baik yang melakukan penerbangan sipil maupun militer.
Jamming dan spoofing dapat mengganggu sistem GPS pada penerbangan dimana jamming dapat mengganggu signal antara satelit dan pesawat sedangkan spoofing dapat mengirimkan signal keliru pada sistem navigasi pesawat.
Dengan gangguan ini maka sistem pada pesawat dapat memberikan respons yang tidak semestinya, misalnya memperingatkan kepada pilot bahwa pesawat mendekati daratan atau permukaan ataupun melakukan manuver lainnya yang dapat membahayakan penerbangan.
Dari sini kita dapat melihat bahwa jika sebelumnya risiko dan ancaman di ruang udara adalah rudal, serangan udara, dan persenjataan anti udara maka kini bertambah dengan hal lainnya yang sama sama dapat membahayakan setiap jenis penerbangan yang dilakukan oleh pesawat yaitu dengan mengganggu komunikasi dan navigasi udara di mana keduanya sangat vital dalam pengoperasian pesawat.
Ruang udara bagi penerbangan tidak saja berkaitan dengan keselamatan penerbangan tapi juga keamanan penerbangan di mana situasi dan kondisi politik kawasan di dunia (geopolitics) dapat memengaruhi penerbangan melalui cara dan langkah dari negara-negara yang berkonflik.
Mereka akan saling mempertahankan dan menjaga teritorinya termasuk ruang udaranya agar segala jenis kegiatan maupun operasi udara negara lain yang berkonflik dengannya tidak dapat berhasil.
Ruang udara memang menjadi bagian dari kedaulatan (airspace sovereignity) setiap negara, oleh karenanya sangat penting untuk dijaga dan dipertahankan karena di bawahnya terdapat asset --baik sipil maupun militer-- dari negara bersangkutan.
Penerapan hukum dan aturannya sendiri (eksklusif) adalah cerminan dari itu dan dihormati oleh semua bangsa di dunia termasuk badan penerbangan dunia (ICAO) pada pasal 1 Konvensi Chicago 1948 yaitu "Every state has complete and exclusive sovereignty over airspace above its territory.'.
Namun pada sisi lain, ruang udara adalah juga sebagai lintasan semua jenis pesawat yang melakukan berbagai jenis penerbangan termasuk penerbangan penumpang yang semuanya merupakan warga dunia dari berbagai bangsa sedangkan penerbangan kargo sebagai bagian dari kegiatan perdagangan antar bangsa.
Satu hal yang kini pasti adalah geopolitcs telah menjadi faktor eksternal yang kian memengaruhi bagi maskapai penerbangan dunia walau dengan telah adanya standar dan aturan dari penerbangan dunia atau ICAO sekalipun.
Pada salah satu pasal Konvensi Chicago 1948 yaitu pasal 3bis menyebut bahwa every State must refrain from the use of weapons against civil aircraft in flight, setiap negara anggota harus menghindari penggunaan senjata terhadap pesawat sipil yang sedang melakukan penerbangan.
Namun kita juga tidak dapat melupakan segala kemungkinan yang dapat terjadi termasuk rudal nyasar dan lainnya, untuk itu akan lebih baik menghindari kawasan yang sedang ataupun berpotensi konflik (Conflict Avoidance).
Para maskapai mengalihkan lintasan pesawatnya untuk menghindari terjadinya hal hal yang tidak diinginkan, akan tetapi ini berarti juga ada penambahan biaya operasional mereka yaitu pada bahan bakar, sedangkan dari sisi pelaku perjalanan dan wisata berarti ada penambahan waktu tempuh.
Para stakeholder penerbangan dunia pun sudah melakukan antisipasi dengan memberikan perkembangan terkini kepada para maskapai dan pilot agar menghindari kawasan kawasan yang berbahaya, baik itu melalui NOTAM ataupun melalui Conflict Zone Information Bulletin yang diterbitkan oleh badan penerbangan Eropa (EASA).
Ada berapa kawasan di dunia yang dapat memengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan saat ini?
Menurut situs flightradar24, saat ini terdapat beberapa kawasan di dunia yang tidak aman bagi penerbangan sipil yaitu kawasan Ukraina, Sudan, Afghanistan, Libya, Syria, dan Somalia, namun jumlah ini bisa saja bertambah.
Pada berita Kompas.com (19/10/24) disebutkan bahwa Korea Utara telah menemukan drone militer milik Korea Selatan, kejadian ini sudah tentu akan berpotensi menimbulkan konflik di antara dua negara tersebut di kemudian hari.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap situasi di kawasan Laut China Selatan terutama potensi konflik antara Taiwan dan Tiongkok.
Mudah mudahan saja tidak demikian.
Salam Aviasi.
Referensi :
https://www.canada.ca/en/global-affairs/news/2024/01/backgrounder---convention-on-international-civil-aviation-and-its-annexes.html
https://press.un.org/en/1996/19960727.sc6247.html
https://www.flightradar24.com/blog/aviation-conflict-zones/
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Rules_of_engagement
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Electronic_warfare
https://www.kompas.com/global/read/2024/10/19/162000270/korea-utara-klaim-temukan-drone-militer-korea-selatan-siapkan-deklarasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H