Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Desa Wisata Memang Bukan Destinasi Wisata "Mainstream"

21 Juli 2024   08:18 Diperbarui: 21 Juli 2024   14:16 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : via Kompas.com

Sebuah desa sebagai destinasi wisata tidaklah sama dengan sebuah pantai, hal ini karena dapat dikatakan hampir semua orang suka berada di pantai mulai dari anak anak hingga orang dewasa -- tidak demikian pada desa wisata.

Dengan mengatakan ini maka jika kita membicarakan desa wisata berarti target pengunjung kita tidaklah mainstream atau dengan kata lain spesifik -- dan bahkan sangat spesifik.

Hal ini karena atraksi inti yang ditawarkan oleh desa wisata adalah kehidupan sehari hari di sebuah desa serta dengan pemandangan alam sekitar seperti persawahan ataupun pegunungan, dan walaupun ada desa wisata yang berlokasi di tepi pantai tetap akan sulit menyamakan dengan pantai pada umumnya.

Dengan mengatakan spesifik maka jumlah pengunjung yang kita akan jaring pun tidak sebanyak destinasi wisata mainstream dan oleh karena itu pula diperlukan upaya untuk mengoptimalkan pengalaman para wisatawan yang berkunjung seperti misalnya dengan penambahan atraksi atau daya tarik.

Bila kita melihat wisata spesifik lainnya misal diving maka kita bisa melihat bagaimana pelaku usaha wisata menyediakan pelayaran dengan konsep liveaboarding khusus untuk para wisatawan yang gemar akan diving.

Dengan konsep ini, wisatawan tidak saja dapat menyelam di beberapa diving sites yang telah diatur oleh penyedia tapi juga menikmati pelayaran itu sendiri dengan keindahan alam laut serta bonusnya melakukan island hopping.

Di sini terdapat nilai tambah bagi wisatawan dengan minat diving, sedangkan dari sisi penyedia layanan wisata memperoleh pendapatan tambahan selain dari layanan diving itu sendiri yaitu dari pelayaran, makan dan minum, dan akomodasi.

Jangan juga dilupakan bahwa dengan melakukan pelayaran, jangka waktu tinggal wisatawan dapat lebih lama jika dibandingkan ketika mereka hanya melakukan diving  secara ala carte, ini karena mereka secara langsung berada di dalam sebuah perjalanan.

Dengan kata lain, penyedia layanan dapat menambah atraksi utama selain dari diving -- dan langkah ini sungguhlah patut ditiru. Jika pelayaran dengan konsep liveaboarding ini diaplikasikan ke desa wisata, apa yang menjadi kapal dan pelayarannya serta island hopping nya ?

Para penduduk desa perlu secara bersama sama dan mandiri memikirkan bagaimana menambah atraksi utama kepada wisatawan selama berada di desa nya selain dari kehidupan sehari hari dan pemandangan alam -- serta bahkan bila sangat memungkinkan juga dapat menjaring wisatawan mainstream.

Karena apa? Sebuah destinasi wisata -- apapun itu bentuk dan rupanya -- perlu memiliki keunikan, unik di sini tidak hanya sekadar dimaknai dengan sebenarnya tapi juga dijadikan pembeda dengan lainnya.

Misalnya dengan mengadakan atraksi prosesi pernikahan adat dimana adat istiadat di Indonesia sangat beragam, pasangan pernikahan bisa dilakoni oleh penduduk dan bahkan oleh para wisatawan.

Prosesi pernikahan bisa saja berlangsung dalam beberapa hari, mulai dari proses lamaran hingga persiapan dari masing masing pihak pasangan, semua proses ini bisa menjadi daya tarik.

Bagi wisatawan keluarga yang membawa putera puteri mereka, permainan tradisional serta lainnya yang bisa 'blend' putera puteri mereka dengan anak anak lokal juga dapat dipikirkan seperti bermain layang layang di tengah sawah ataupun lapangan.

Atraksi memang sangat memainkan peran yang utama dalam menjaring wisatawan akan tetapi apabila atraksi utama dapat dikemas dengan menarik serta menambah apa yang terdapat dalam kemasan tersebut maka tidak hanya daya tariknya yang bertambah tapi juga nilai tambahnya.

Satu hal yang mungkin sering menjadi kendala dalam mengembangkan desa wisata adalah permasalahan pengelolaan atau lebih tepatnya siapa siapa saja yang akan dan 'pantas' mengelolanya dan karena ego setiap insan bisa berbeda maka perdebatan akan siapa yang mengelola kegiatan wisata di sebuah desa dapat menyebabkan stagnasi dan bahkan kemunduran.

Di sinilah diperlukan kesadaran para penduduk desa selain dari kesadaran wisata yaitu kesadaran untuk memajukan dan mensejahterakan seluruh penduduk desa secara bersama sama -- dimana kata bersama sama ini bukan berarti semua penduduk perlu ikut serta terlibat langsung didalamnya.

Misalnya untuk garda terdepan dalam pelayanan langsung kepada wisatawan (tour guiding) bisa dilakukan oleh para pemuda pemudi desa sedangkan administrasi dilakukan oleh penduduk lain seperti para orang yang lebih tua usianya.

Konsep desa wisata hanya dapat berjalan bila dilakukan dengan berbasis masyarakat atau community-based, namun ketika terjadi perdebatan diantara masyarakat maka konsep desa wisata tidak akan berlangsung secara berkelanjutan.

Ego masing masing perlu dikumpulkan dalam satu wadah bernama kompromi dan dari sini akan tercipta sebuah kesepakatan untuk melangkah kedepan dengan berlandaskan kepercayaan diantara mereka.

Tidak ada lagi rasa iri bila ada satu orang mendapatkan tip yang lebih dari wisatawan dibanding yang lain karena tipping adalah bentuk reward kepada siapapun yang dapat menimbulkan kesan yang mendalam di sisi wisatawan.

Rasa iri yang kemungkinan dapat tumbuh bisa diubah menjadi sebuah pemicu bagi yang lain untuk dapat memberikan yang terbaik dan bahkan jika perlu meniru apa yang dilakukan oleh penduduk lain yang mendapat tip yang lebih tadi -- karena meniru yang baik akan memberikan hasil yang sama juga yaitu kesan dan kepuasan di sisi wisatawan.

Dengan pengelolaan yang dilakukan oleh antar generasi ini maka proses berkelanjutan pun dapat berlangsung seiring dengan waktu -- generasi lanjut akan pensiun, generasi muda akan menjadi generasi lanjut, dan generasi baru menjadi pemuda pemudi di garda terdepan.

**

Dari semua ini ada satu hal lainnya yang perlu disadari oleh kita semua terutama oleh para penduduk desa yaitu jangan sampai kegiatan kepariwisataan mengubah wajah dari kehidupan desa itu sendiri, kita sudah banyak melihat bagaimana sebuah sawah berubah menjadi bangunan villa, restoran, cafe, akomodasi dan lainnya, kondisi ini sebaiknya tidak terjadi ketika desa wisata dijadikan destinasi wisata.

Keaslian dan keasrian desa dengan kehidupan, kelokalan dan keindahan alam sekitar perlu dijaga dan dipertahankan karena inilah produk utama dari kegiatan pariwisata dari desa wisata, jangan sampai perubahan (peningkatan) kesejahteraan penduduk desa sebagai dampak dari kegiatan pariwisata merubah produk dari desa wisata.

Desa memang bisa dijadikan sebagai destinasi wisata akan tetapi layaknya sebuah destinasi wisata perlu memiliki produk yang unik serta pembeda.

Keunikan dan pembeda tersebut pada akhirnya akan menjadi ciri khas dan bahkan brand dari desa tersebut.

Kehidupan sehari hari dari manusia terkadang bisa membosankan, oleh karenanya kita juga perlu warna lain dalam kehidupan sehari hari kita, begitu pula kehidupan sehari hari di desa wisata yang para wisatawan akan jalani selama kunjungan mereka tanpa harus menghilangkan keaslian, keasrian, kelokalan dan keindahan alam sekitar.

Bila kemasannya dapat menambah daya tarik dan nilai tambahnya, waktu kunjungan yang semula hanya tur satu hari dapat menjadi tur berhari hari dengan menginap di desa tersebut menjalani kehidupan sehari hari.

Para pengelola desa wisata mungkin dapat melihat dan bahkan meniru bagaimana para pengelola kapal wisata menambah daya tarik dan nilai tambah kepada wisatawan diving dengan menggambarkan desa mereka sebagai kapalnya serta alam sekitar sebagai lautannya.

Jika kapal pinisi yang terbuat dari kayu dapat memberikan pengalaman berbeda, sudah seharusnya sebuah desa juga dapat memberikan yang sama, hanya dengan kemasan yang berbeda.

Jumlah wisatawan pada wisata spesifik atau minat khusus umumnya memang tidak sebanyak wisata mainstream namun bukan berarti tidak ada, jaring yang digunakan untuk menjaring wisata juga perlu beda.

Salam Pariwisata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun