Pada berita Kompas 28 April 2024 bertajuk "Kemenhub Pangkas Bandara Internasional dari 34 Jadi 17, Ini Daftarnya" disebutkan latar belakang penghapusan status 17 bandara internasional di Indonesia.
Latar belakang tersebut adalah karena selama ini trafik dari mancanegara banyak dinikmati oleh negara lain, mari kita sebut saja Singapura dan juga Kuala Lumpur karena kebanyakan bandara internasional selain CGK dan DPS terkoneksi dengan bandara SIN dan KUL (dan ditambah BKK) yang tidak hanya membawa trafik dari Singapura dan Malaysia saja tapi dari berbagai negara di dunia.
Namun jika kita melihat kerja sama yang dilakukan oleh maskapai flag carrier kita dengan maskapai Singapore Airlines, kita dapat mengatakan bahwa kita memang mengandalkan trafik mancanegara dari Singapura.
Pada kerja sama ini, kedua maskapai meningkatkan kapasitas kursi pada penerbangan beberapa kota di Indonesia (Surabaya, Jakarta dan Bali) ke Singapura dengan menambah frekuensi penerbangan.
Dengan melihat kenyataan ini maka ada satu pertanyaan yang akan timbul yaitu apakah bandara internasional kita sudah optimal dan efektif dalam membawa trafik dari berbagai negara di dunia tanpa melalui negara lain?
Selain itu ada pertanyaan yang belum terjawab yaitu mengapa selama ini (termasuk sebelum Pandemi) beberapa bandara internasional kita hanya terkoneksi dengan negara-negara tertentu yang notabene sebagai hub di kawasan di mana Indonesia berada yaitu Asia Pasifik dan dikala bandara SIN dan atau KUL justru semakin meluas koneksinya dengan berbagai negara di dunia?
Apa kabar juga dengan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam penerbangan antara beberapa kota di dua negara ini?
Dan bagaimana pula sebenarnya kita melihat status bandara internasional, apakah hanya sebatas koneksi dengan hub di kawasan yang terkoneksi dengan Eropa, Timur Tengah dan Asia? Jadi apa visi dan misi dari pembangunan bandara internasional?
Apakah bandara-bandara kita terutama yang menjadi hub maskapai kita sudah benar-benar optimal dalam hal meluaskan konektivitasnya terutama dengan negara-negara di dunia secara langsung?
***
Mari kita melihat bandara BTH di Batam yang secara geografis dekat dengan Singapura. Bandara BTH ini sebenarnya dapat menjadi hub nasional kita atau pintu gerbang bagi semua maskapai dunia khususnya dari Eropa yang mungkin tidak melayani penerbangan langsung ke berbagai destinasi wisata di Indonesia bagian Tengah dan Timur namun melalui bandara SIN.
Dengan beralihnya maskapai dunia ke bandara BTH dari Singapura maka trafik domestik akan meningkat khususnya dari bandara BTH ke berbagai kota di Indonesia.
Sebaliknya, trafik dari pelaku perjalanan kita ke Singapura dari berbagai kota di Indonesia difokuskan melalui Batam dengan misalnya memberikan insentif (atau gratis) pada biaya penyeberangan ke Singapura, memang akan ada sedikit penambahan waktu tempuh di sisi pelaku perjalanan yaitu untuk menyeberang ke Singapura dengan feri namun ini hanyalah opsi kepada para pelaku perjalanan selain dari penerbangan langsungnya ke Singapura.
Pada sisi pendapatan daerah Batam, trafik yang singgah dapat menjadi potensi pendapatan daerah, misalnya dengan memberikan keleluasaan dalam waktu menyeberang atau kembali ke kota asal sehingga pelaku perjalanan dapat singgah dan menginap di Batam tanpa harus khawatir akan ada penambahan biaya penyeberangan atau biaya ekstra pada tiket pesawat ke kota asal.
Para pelaku perjalanan dapat melakukan berbagai aktivitas di Batam misalnya belanja atau lainnya yang akan memberikan manfaat ekonomi bagi pendapatan daerah termasuk akomodasi selama di Batam.
Menghapuskan status internasional dari sisi bisnis mungkin dapat dipahami, akan tetapi jika kita ingin agar trafik dari berbagai negara di dunia tidak singgah dan dinikmati oleh negara lain maka solusi yang mungkin bisa muncul adalah dengan membuka rute penerbangan berjadwal langsung antara berbagai negara di dunia dengan berbagai kota kita yang memiliki bandara internasional.
Bukankah pada dasarnya penerbangan berjadwal itu selalu merupakan penerbangan antar dua kota (city pair) bukan antar kota (yang merupakan hub) dengan kota saja?
Ini artinya kita memang sebaiknya memfokuskan pada pembukaan penerbangan antara kota-kota kita dengan sebanyak mungkin kota di dunia dengan penerbangan langsung bila tidak ingin trafik dinikmati oleh negara lain.
Di sini peran maskapai kita terutama flag carrier kita patut dipertanyakan karena 9 Freedoms of The Air -- setidaknya kebebasan 1 hingga 5 merupakan ijin yang secara otomatis melekat dan dapat dilakukan oleh semua maskapai dari berbagai negara di dunia untuk melakukan penerbangan berjadwal/tidak berjadwal ke berbagai pelosok dunia pada penerbangan sipil.
Akan tetapi itu semua tergantung dari kesiapan maskapai masing-masing seperti misalnya jumlah armada serta penerapan standar pelayanan.
Namun demikian peran maskapai dalam mengangkut trafik akan memengaruhi laju pertumbuhan sebuah bandara -- baik domestik maupun internasional, semakin banyak maskapai yang melayani penerbangan ke sebuah bandara semakin banyak konektivitasnya -- baik di sisi maskapai maupun bandara.
Peran Kargo
Mudah-mudahan kita tidak melupakan bahwa bandara tidak hanya merupakan tempat pergerakan orang tapi juga barang (kargo), dari sisi bisnis ini merupakan potensi pemasukan yang menjanjikan bagi bandara.
Sebagai gambaran, bandara SIN melalui terminal kargonya pada tahun 2023 volume kargo yang ditangani adalah sebanyak 1,74 juta ton, jika kita patok biaya jasa per tonnya USD 1 maka terdapat pendapatan USD 1,74 juta kepada bandara.
Kita tidak perlu membangun terminal kargo di semua bandara internasional kita, akan tetapi bisa dijadikan rencana jangka panjang pengembangan bandara.
Kegiatan kargo di bandara tidak hanya merupakan kegiatan pendistribusian barang kebutuhan penduduk serta perdagangan dalam negeri saja tapi juga kegiatan perdagangan antar bangsa atau ekspor dan impor.
Pemegang kebijakan daerah ada baiknya melihat bandara tidak hanya sebagai tempat pergerakan orang saja tapi juga barang yang dapat meningkatkan kegiatan ekspor produk unggulan daerah dengan mengajak para usaha termasuk UMKM untuk melakukan ekspor.
Namun bila pemegang kebijakan hanya melihat bandara sebagai tempat pergerakan orang saja maka perlu dipikirkan bagaimana dapat menarik minat para pelaku perjalanan dari berbagai negara untuk mengunjungi daerahnya -- misalnya melalui kegiatan pariwisata.
Sedangkan dari sisi pelaku perjalanan kita sendiri, sebuah bandara internasional ada baiknya memperluas jaringannya dengan terkoneksi dengan berbagai kota di dunia agar dapat memenuhi kebutuhan pelaku perjalanan akan transportasi udara ke mancanegara.
Sebesar apa pun catchment area dari sebuah bandara namun rendah konektivitasnya dengan kota-kota di dunia akan tidak mudah bagi bandara untuk tumbuh kembang karena pada dasarnya bandara adalah juga mengenai konektivitas (udara) -- sama dengan maskapai.
Salam Aviasi.
Referensi :
www.kompas.com
www.stattimes.com
www.aviationweek.com
www.garuda-indonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H