Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kini Jawa Tengah Tidak Memiliki Bandara Internasional

27 April 2024   15:30 Diperbarui: 28 April 2024   12:09 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah menghilangkan status Internasional pada 17 bandara di Indonesia (Kompas.com 27 April 2024), jumlah ini mengurangi jumlah bandara internasional di Indonesia yang sebelumnya sebanyak 34 bandara.

Pencabutan status ini pastinya sudah melalui kajian yang mendalam, juga karena pada dasarnya bandara sebagai business entity juga perlu melakukan efisiensi agar dapat menghasilkan margin keuntungan yang maksimal.

Bandara-bandara yang dihilangkan status internasional adalah Bandara Maimun Saleh Sabang (SBG), Bandara Raja Sisingamangaraja XII, Silangit (DTB), Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang (TNJ), Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang (PLM)., Bandara H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan (TJQ).

Untuk daerah pulau Jawa ada Bandara Husein Sastranegara, Bandung (BDO), Bandara Adisutjipto, Yogyakarta (JOG), Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang (SRG), dan Bandara Adi Soemarmo, Solo (SOC) serta Bandara Banyuwangi (BWX).

Kemudian Bandara Supadio, Pontianak (PNK), Bandara Juwata, Tarakan (TRK), Bandara El Tari, Kupang (KOE), Bandara Pattimura, Ambon (AMQ), Bandara Frans Kaisiepo, Biak (BIK), Bandara Mopah, Merauke (MKQ), Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin (BDJ)

Apa dampak dari langkah pemerintah ini?

Dampak yang paling utama dari sisi bandara adalah efisiensi dalam hal biaya operasional bandara d imana biaya pengadaan fasilitas pendukung dan operasional untuk imigrasi dan bea cukai menjadi tidak lagi menjadi beban operasional bandara.

Dari sisi pelaku perjalanan, mereka kini perlu melalui bandara internasional terdekat bila akan melakukan perjalanan ke mancanegara, dampak ini pastinya akan berpengaruh pada permintaan kursi dari bandara keberangkatan mereka ke bandara internasional terdekat.

Misalnya pelaku perjalanan dari Palembang yang akan melakukan perjalanan ke Singapura, kini harus melalui bandara Kualanamu (KNO) atau Soekarno-Hatta (CGK) yang berarti pula akan meningkatkan permintaan kursi dari bandara Palembang (PLM) ke Bandara KNO ataupun Bandara CGK.

Peningkatan permintaan kursi ini perlu diantisipasi oleh para maskapai terlebih bila sebelumnya tidak ada penerbangan ke bandara internasional terdekat, peningkatan ini perlu diantisipasi oleh para maskapai dengan cara membuka jalur ataupun menambah frekuensi penerbangan.

Namun ada beberapa hal yang perlu dilihat dari pencabutan ini, misalnya pencabutan status di bandara Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang (SRG) yang berlokasi di ibu kota provinsi Jawa Tengah dan juga Bandara Adi Sumarmo (SOC) di Solo yang berarti semua pelaku perjalanan di Jawa Tengah harus melalui bandara YIA di Kulon Progo jika akan melakukan perjalanan ke mancanegara.

Juga artinya kini Provinsi Jawa Tengah tidak memiliki bandara internasional termasuk di Semarang yang merupakan ibu kota provinsi, berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Barat yang memiliki bandara internasional.

Walaupun status internasional Bandara BDO di Bandung dicabut namun sebagai peggantinya ada Bandara Kertajati (KTJ), sedangkan Jawa Timur walau berkurang satu yaitu Bandara Banyuwangi namun terdapat bandara internasional Dhoho di Kediri.

Di lain sisi, Bandara YIA akan terjadi peningkatan trafik baik pada pergerakan pesawat maupun orang dan barang, hal ini juga perlu diantisipasi oleh manajemen Bandara YIA.

Hal lainnya adalah konektivitas dari semua kota di Jawa Tengah ke Bandara YIA agar dapat memperlancar perjalanan mereka dari kota asal mereka ke Bandara YIA dan sebaliknya, apakah itu konektivitas udara maupun darat.

Ini sebenarnya menjadi pekerjaan rumah bagi para pemegang kebijakan di Provinsi Jawa Tengah untuk mengevaluasi dalam hal menciptakan trafik dari dan ke mancanegara untuk masuk ke Jawa Tengah karena kini para investor dan wisatawan yang hendak ke Jawa Tengah tidak memiliki akses udara secara langsung, hal ini pastinya memengaruhi laju investasi dan pendapatan daerah dari industri pariwisata bagi Jawa Tengah.

Juga bagi pemegang kebijakan di semua provinsi yang bandaranya tidak lagi menjadi bandara internasional karena tanpa adanya bandara internasional maka konektivitas udara langsung dari dan ke mancanegara hilang pula dan akan berdampak pada pemasukkan daerah.

Terlebih pesawat-pesawat airliner kini sudah memiliki jarak jelajah yang jauh sehingga memungkinkan penerbangan antar benua dilakukan secara point-to-point, tidak lagi melalui bandara hub.

Satu hal yang perlu disadari adalah keberadaan bandara internasional tidak cukup untuk menciptakan trafik orang dan barang dari dan ke mancanegara karena dibutuhkan kendaraan untuk mengangkut semua itu bernama pesawat.

Dan semua pesawat yang dioperasikan oleh maskapai perlu terisi kursi kursi nya agar Load Factor penumpang dan kargo selalu dapat memberikan margin keuntungan bagi maskapai agar tetap dapat melayani penerbangan.

Bandara internasional itu laksana pintu gerbangnya saja sedangkan para investor dan pelaku perjalanan hanya menggunakannya sebagai pintu masuk, sedangkan tujuan utama mereka adalah apa yang tersedia di dalam pintu gerbang tersebut.

Juga jangan sampai terjadinya overlapping antara dua bandara atau lebih seperti pada bandara Banyuwangi yang diapit oleh bandara SUB dan DPS, juga bandara BTJ Banda Aceh dan bandara SBG di Sabang.

Kecuali bila para pemegang kebijakan dapat membuktikan bahwa trafik orang dan barang ke daerah mereka cukup meyakinkan para maskapai untuk melayani penerbangan komersial.

Bandara Internasional tidak hanya sekadar status atau bahkan prestise bagi sebuah daerah, tetapi justru sebuah pembuka tantangan bagi sebuah daerah untuk mendongkrak perekonomian daerah, trafik orang dan barang bukan dilihat dari sisi megahnya bandara tetapi apa yang dimiliki dan bisa ditawarkan oleh daerah.

Untuk itu di masa mendatang, semua daerah perlu mempersiapkan semua yang mereka miliki dan bisa tawarkan terlebih dahulu bukan menganggarkan dana berlebihan untuk semua pintu gerbang yang megah.

Dengan meningkatnya trafik orang dan barang maka pendapatan daerah akan meningkat dan dapat disisihkan untuk meningkatkan fasilitas dan kapasitas bandara dikemudian hari, hal ini sebenarnya juga berlaku pada bandara domestik.

Secara singkat, maskapai mendatangkan trafik, bandara mengakomodasi trafik, akan tetapi daerah lah yang menciptakan trafik dengan menampilkan keunggulan daerah.

Salam Aviasi.

Referensi:

https://travel.kompas.com/read/2024/04/27/083700727/daftar-17-bandara-di-indonesia-yang-dicabut-status-internasionalnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun