Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Fenomena Merger Maskapai Penerbangan

28 Februari 2024   00:56 Diperbarui: 2 Maret 2024   09:56 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berakhirnya pandemi, industri aviasi mulai bergerak kembali walau masih menghadapi beberapa tantangan seperti rantai pasokan yang tidak hanya berdampak pada laju produksi pesawat saja tapi juga ketersediaan suku cadang bagi pesawat pesawat yang dioperasikan oleh maskapai.

Namun demikian peningkatan jumlah pelaku perjalanan sepertinya memang tidak bisa dibendung --terlebih dengan adanya revenge travel---sehingga proses pemulihan pada industri aviasi khususnya aviasi sipil komersial tidaklah akan memakan waktu lama.

Pandemi juga menciptakan berbagai perkembangan baru seperti munculnya maskapai baru ditengah proses pemulihan dengan memanfaatkan harga pesawat yang di "obral" oleh berbagai perusahaan leasing karena banyak maskapai yang mengembalikan pesawatnya, perkembangan yang juga tidak kalah menarik adalah merger oleh beberapa maskapai.

Merger oleh maskapai ada yang merupakan penggabungan dua maskapai dalam satu pemilik menjadi grup maskapai, ada pula yang merupakan gabungan antar dua maskapai yang berbeda pemilik.

Beberapa contoh merger yang telah dan akan dilakukan oleh beberapa maskapai didunia adalah maskapai Thai Airways yang menggabungkan maskapai miliknya yaitu Thai Smile, kemudian Air Asia yang rencananya akan menggabungkan antara Air Asia dengan Air Asia X menjadi Air Asia Group serta di Indonesia antara Citilink dengan Pelita Air.

Namun di balik fenomena ini, ada pula dampaknya yaitu pada pelaku perjalanan udara terutama pada harga tiket pesawat nantinya, mengapa demikian ?

Untuk menjawabnya, mari kita mulai dengan apa yang menjadi latarbelakang dari merger maskapai ini selain dari alasan efisiensi.

Merger bagi maskapai tidak hanya penggabungan perusahaan saja tapi juga penggabungan armada dan jaringan (network) yang juga akan berdampak pada market share nya, penambahan armada dalam konteks pasca pandemi sangat bisa diterima karena akan lebih murah biayanya dengan menggabungkan pesawat dalam satu armada daripada membeli pesawat -- baik baru maupun bekas serta tidak perlu menunggu waktu yang bisa lama.

Merger bagi maskapai juga berarti penambahan jadwal penerbangan terutama pada jam-jam sibuk dan padat yang berarti maskapai perlu berlomba mendapatkan slot di sebuah bandara pada jam-jam tersebut.

Pada bandara yang cukup padat, maskapai perlu bersiap dengan biaya slot bandara yang cukup tinggi -- terlebih pada jam jam sibuk, sebagai contohnya adalah maskapai Oman Air yang membeli slot bandara dengan kedatangan pagi hari di bandara Heathrow seharga USD 75 juta dari Air France-KLM pada tahun 2016.

Dari sisi maskapai memang sangat menguntungkan, namun demikian dampak negatifnya adalah pada harga tiket yang bisa melambung, karena ada maskapai yang menghilang dari pasar yang berarti jumlah maskapai yang menyediakan layanan penerbangan semakin sedikit dan membuat kompetisi antar maskapai juga menjadi berkurang.

Contoh yang paling mudah untuk menggambarkan ini adalah di Amerika ketika enam maskapai menjadi tiga yaitu Delta dengan Northwest, United dengan Continental dan American dengan US Airways, di mana kini ketiga maskapai -- Delta, United, dan American Airlines ditambah dengan Soutwest kini menguasai sekitar 80% pasar penerbangan domestik di Amerika.

Hal ini juga yang menyebabkan proses merger antar maskapai sepertinya kini lebih diperketat oleh regulator dan pengambil kebijakan sebuah negara karena dikhawatikan akan berdampak pada pelaku perjalanan yang harus menanggung harga tiket pesawat yang tinggi.

Pihak Departemen Kehakiman dan Departemen Transportasi Amerika baru baru ini bahkan menentang merger antara maskapai JetBlue dengan Spirit Airlines di mana maskapai JetBlue merupakan maskapai berbiaya rendah (LCC) sedangkan Spirit Airlines merupakan maskapai ULCC (Ultra Low Cost Carrier).

Studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengungkap bahwa maskapai JetBlue sendiri menetapkan harga 8% di bawah harga sedangkan maskapai Spirit dengan 21% namun dengan adanya merger harga tiket dari maskapai Spirit Airlines diperkirakan akan sama dengan JetBlue dan bahkan dapat meningkat antara 24% hingga 40%.

Merger antara maskapai juga memerlukan persetujuan dari negara-negara yang dilayani oleh para maskapai yang melakukan merger, persetujuan ini untuk memastikan agar merger tidak berujung ke praktik monopoli.

Komisi Eropa sempat melakukan investigasi pada proses merger antara maskapai Korean Air dengan Asiana Airlines sebabnya adalah kekhawatiran tidak adanya kompetisi pada penerbangan penumpang dan kargo antara kota-kota di Korea Selatan dan Area Ekonomi Eropa (EEA).

Maskapai Korean Air pada tahun 2020 yang lalu mengumumkan akan merger dengan maskapai Asiana Airlines, proses merger ini tidaklah berlangsung singkat karena perlu melalui proses untuk persetujuan dari beberapa negara yang dilayani penerbangan oleh dua maskapai ini terutama mengenai antitrust atau anti pakat yang akan melihat apakah merger ini akan berujung pada monopoli.

Beberapa negara tersebut adalah Korea Selatan sebagai negara asal kedua maskapai, Tiongkok, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.

Maskapai Asiana Airlines melepas unit kargonya serta juga melepas rute penerbangan penumpangnya keempat kota di Eropa yaitu Paris, Frankfurt, Barcelona dan Roma, pihak Komisi Eropa khawatir tidak adanya kompetisi pada rute ke empat kota ini dari Seoul karena akan dikuasai oleh Korean Air.

Pada tanggal 13 Februari 2024 yang lalu setelah proses cukup panjang, akhirnya pihak Komisi Eropa menyetujui merger antara Korean Air dan Asiana Airlines namun dengan kondisi yang harus disetujui oleh Korean Air yaitu adanya maskapai lain asal Korea Selatan yang melayani rute penerbangan penumpang dan kargo keempat kota tersebut -- dalam hal ini adalah maskapai T'Way Airlines asal Korea Selatan yang notabene adalah rival dari Korean Air.

Kondisi dari persetujuan ini serupa dengan persetujuan dari pihak Otoritas Pasar dan Kompetisi Inggris atau Competition and Market Authority (CMA) dimana maskapai Virgin Atlantic bisa membuka rute penerbangan antara dua negara yaitu Inggris dan Korea Selatan.

Proses merger ini kini tinggal menunggu persetujuan dari negara Amerika setelah negara negara di Uni Eropa, Inggris, Tiongkok dan Jepang telah menyetujui merger ini.

Dari semua ini mungkin ada yang bertanya, segitu panjang dan pentingkah proses merger antara dua maskapai?

Jawabannya sebenarnya tidak hanya pada kekawatiran terhadap praktik monopoli saja namun juga ada kaitannya dengan para pelaku perjalanan karena merger antara dua maskapai yang berbeda layanan serta model bisnisnya -- maskapai layanan penuh dan berbiaya rendah -- ada kecenderungan akan meningkatkan harga tiket pesawat serta menurunnya kualitas pelayanan.

Karena pada dasarnya merger antara dua maskapai adalah penyatuan armada dan pangsa pasar di mana jika semakin sedikit maskapai di pasar penerbangan maka harga dan layanan akan dapat ditentukan oleh maskapai yang ada dipasar tanpa ada pembanding, alhasil para pelaku perjalanan udara tidak memiliki banyak pilihan.

Mudah-mudahan proses merger maskapai di Indonesia akan sama proses dengan di negara negara lain didunia dengan tetap melihat kepentingan para pelaku perjalanan udara di semua kalangan baik menengah ke bawah maupun menengah ke atas dengan melihat adanya kemungkinan terjadinya monopoli dalam hal rute dan frekuensi penerbangan yang akan berimbas pada harga tiket pesawat.

Harapan ini sangat berdasar karena jangan sampai penggabungan dua maskapai dilakukan hanya untuk memperkuat pangsa pasar dari salah satu maskapai tanpa melihat kompetisi pasar penerbangan yang masih perlu berlaku.

Karena pada dasarnya, pasar bukan hanya sekadar tersedianya barang dan jasa saja akan tetapi terjadinya kompetisi antar penyedia barang dan jasa untuk menjaring sebanyak mungkin pelanggannya dengan memberikan barang dan jasa yang berkualitas serta dengan harga yang kompetitif.

Oleh karena itu pula, ada baiknya merger maskapai tidak hanya melibatkan regulator penerbangan saja tetapi juga badan anti trust atau pengawas persaingan usaha, dan bahkan jika perlu ditambah dengan perlindungan konsumen.

Salam Aviasi.

Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun