Pemerintah mentargerkan jumlah pergerakan wisatawan nusantara pada tahun ini sebanyak 1,2-1,5 miliar wisatawan nusantara (Kompas.com 5/2/2024), jumlah yang cukup banyak tapi bukan berarti tidak bisa tercapai.
Salah satu faktor yang dapat membantu pemerintah untuk mencapai target tersebut adalah konektivitas karena wisatawan pastinya memerlukan moda transportasi untuk mencapai destinasi yang mereka inginkan dimana konektivitas udara menjadi pilihan utama mereka.
Konektivitas udara di sini tidak hanya mencakup ketersediaan kursi yang cukup yang berarti maskapai memiliki cukup pesawat untuk memenuhi kebutuhan kursi tersebut tapi juga harga tiket pesawat yang tidak mahal.
Namun sepertinya keadaan dan kondisi penerbangan niaga berjadwal kita tidak mencerminkan cakupan diatas tersebut, pandemi berimbas pada banyaknya pesawat maskapai kita yang dikembalikan ke pihak leasing membuat berkurangnya ketersediaan kursi pada rute dan frekuensi penerbangan di jalur domestik, akibatnya harga pun beranjak naik di tengah permintaan kursi yang tinggi.
Singkatnya, pemulihan industri perjalanan dan wisata tidak bisa diimbangi (didukung) oleh industri penerbangan yang biasanya menjadi industri yang saling mendukung. Nah, bagaimana pemerintah kemudian berusaha agar target tersebut dapat tercapai di tengah keadaan dan kondisi industri penerbangan kita?
Bila pemerintah tidak ingin masyarakat kita berpergian ataupun berlibur ke mancanegara namun bila harga tiket domestik lebih mahal dari tiket internasional, maka pilihan masyarakat untuk ke mancanegara tidak bisa dibendung.
Harga tiket pesawat merupakan pembicaraan yang sepertinya tak kunjung selesai, mulai harga avtur yang menjadi penyebabnya, harga tiket di timur Indonesia yang dikatakan lebih mahal hingga kini berkurangnya jumlah pesawat pada armada maskapai kita, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta.
Apa benar segala rintangan rintangan tersebut selama ini tidak (pernah) ada solusi hingga harga tiket pesawat terus berada di tingkat tinggi?
Pemerintah memang tidak bisa meminta maskapai untuk menurunkan harga secara langsung akan tetapi pemerintah dapat menggunakan mekanisme pasar untuk dapat menurunkan harga tiket, misalnya dengan meninjau secara berkala tarif batas atas dan bawah tiket kelas ekonomi baik untuk pesawat turboprop maupun jet.
Maskapai baru juga dapat mengimbangi ketersediaan dan permintaan kursi dengan bertambahnya jumlah pesawat yang melayani penerbangan domestik.
Namun seberapa efektif penetapan tarif batas atas dan bawah kelas ekonomi di jalur domestik tersebut, apakah regulator penerbangan melakukan monitoring dan melakukan penyesuaian secara berkala dan bilamana diperlukan, juga apakah bisa menurunkan harga tiket pesawat?
Mari kita melihat harga tiket dari Jakarta (CGK) ke Surabaya (SUB) untuk tanggal 20 Maret 2024 dimana harga tiket berkisar antara Rp. 670.001 hingga Rp. 1.301.220 oleh empat maskapai termasuk maskapai yang sepertinya bukan maskapai Indonesia walau bagian dari group maskapai kita (off-topic).
Kalau kita melihat acuan tarif batas atas dan bawah yang ditetapkan oleh pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri maka harga bawah untuk penerbangan dengan pesawat jet dari CGK ke SUB adalah Rp. 408.000 sedangkan batas atasnya Rp. 1,167.000, sedangkan dari HLP ke SUB sebesar Rp. 407.000 dan Rp. 1.162.000.
Dari empat alternatif harga diatas maka kita bisa melihat bahwa para maskapai menetapkan harga mulai dari tengah antara batas bawah dan atas dan bahkan ada yang menetapkan harga diatas batas tarif atas, tidak ada yang menetapkan harga dibawah Rp. 650.000 dan bahkan antara Rp. 500.000 hingga Rp. 600.000 pun tidak ada.
Latar belakang dari harga harga ini bisa karena adanya permintaan yang tinggi mengingat rute CGK-SUB adalah termasuk jalur penerbangan gemuk, namun demikian hal hal lainnya bisa menjadi latarbelakangnya.
Bagaimana bila ada penambahan penerbangan dari maskapai lain --misalnya maskapai baru yang masuk ke penerbangan berjadwal dimana maskapai ini menetapkan harga promo dengan harga Rp. 575.000 dan tanpa layanan makan di penerbangan, kemungkinan pergeseran pilihan dari para pelaku perjalanan ke maskapai tersebut bisa saja terjadi.
Jika memang tarif batas bawah dan atas ini tidak bisa menurunkan harga tiket maka solusi lain perlu dijadikan pertimbangan yang kemudian bisa menghasilkan output yang tidak tertunda tunda serta tanpa pergantian sebab kenaikkan harga tiket.
Salah satu solusinya yaitu munculnya maskapai baru yang benar benar menerapkan harga dengan strategi berbeda dari maskapai yang sudah beroperasi.
Namun apabila tetap menerapkan tarif batas bawah dan atas maka akan kembali lagi ke regulator penerbangan kita, apakah mereka dalam waktu ke waktu melihat harga harga yang ditawarkan oleh para maskapai baik di situs mereka maupun di platform lainnya oleh pihak ketiga?
Kembali ke target jumlah wisatawan nusantara. Jika kita menggunakan patokan target jumlah wisatawan nusantara terkecil yaitu 1,2 miliar wisatawan dalam setahun, maka berapa jumlah keberangkatan pesawat yang kita butuhkan dalam setahun? Mari kita gunakan pesawat berbadan sedang dengan kapasitas rata rata 150 pax.
Perhitungannya adalah 1.200.000.000/150 pax = 8.000.000 keberangkatan dalam setahun, dan bila dalam sehari maka perlu ada 8.000.000/365 hari = 21.917 penerbangan dalam sehari atau 3.287.671 orang yang melakukan perjalanan wisata per harinya (perlu diingat bahwa penerbangan antar kota pp dihitung dua kali penerbangan).
Mari kita menggunakan data dari Badan Pusat Statistik pada jumlah orang yang berangkat dari 5 bandara utama di Indonesia sepanjang tahun 2023 yang berjumlah 33.790.362 orang per tahun atau 92.576 orang per hari.
Jumlah ini sebenarnya menunjukan kenaikkan dari tahun 2022 yang berjumlah 24.846.398 orang per tahun atau sekitar 68.072 orang per harinya dari bandara utama kita yakni KNO, CGK, UPG, SUB dan DPS.
Kalau kita gunakan lagi pesawat berbadan sedang maka jumlah orang yang berangkat selama tahun 2023 tersebut diangkut dengan 33.790.362/150= 225.269 penerbangan setahun atau 617 penerbangan dalam sehari.
Jumlah 617 penerbangan ini jika dibagi 6 maskapai yang beroperasi hanya menghasilkan 102 penerbangan per hari per maskapainya--sebuah jumlah yang terlihat sangat sedikit bagi negara kepulauan kita yang luas ini dan sangat menggantungkan konektivitas udara.
Memang angka angka ini tidak bisa dijadikan acuan karena hanya memasukkan keberangkatan dari 5 bandara utama saja akan tetapi jika kita melihat juga bahwa di 5 bandara inilah para maskapai kita berfokus, atau dengan kata lain memiliki frekuensi penerbangan lebih tinggi dibandingkan di bandara lainnya. Maka kita bisa menilai juga bahwa kita masih memerlukan tambahan pesawat agar frekuensi dan rute ke bandara lainnya juga dapat terlayani dengan merata.
Sedangkan untuk mencapai target wisatawan nusantara pada tahun 2024 yang membutuhkan setidaknya 21.917 penerbangan dengan pesawat berbadan sedang dengan kapasitas rata rata 150 pax, maka dibutuhkan lebih dari sekadar penuruan harga, penambahan jumlah pesawat atau maskapai sepertinya perlu dipertimbangkan untuk menghasilkan solusi.
Namun demikian pada dasarnya kita memang perlu memulihkan industri aviasi agar dapat mengimbangi pemulihan industri pariwisata kita, untuk itu solusi perlu segera tersedia di ruang udara kita bagi dunia penerbangan niaga berjadwal kita.
Akar permasalahan sepertinya sudah teridentifikasi yaitu maskapai kita kekurangan pesawat atau dengan kata lain dunia penerbangan kita sedang mengalami krisis kapasitas baik pada jalur domestik, regional maupun internasional.
Satu hal yang perlu kita juga sadari bahwa mendatangkan pesawat baru tidaklah bisa secepat sebelum pandemi karena para pabrikan juga masih berusaha melancarkan supply chain mereka sehingga backlog mereka juga menumpuk -- dan akan semakin lama bagi kita untuk menerima pesanan kita.
Pembelian pesawat bekas mungkin bisa menjadi solusi cepat seperti yang dilakukan maskapai swasta kita serta maskapai subsidiary dari maskapai nasional kita.
Jika para maskapai tadi bisa membeli pesawat bekas, mengapa kita bisa menambah maskapai baru walau dengsn pesawat bekassekalipun, karena keduanya bisa mempercepat penambahan kapasitas kursi penerbangan kita ?
Apapun solusinya dari krisis kapasitas penerbangan kita ini baiknya jangan menunda waktu dalam hal menemukan dan mengeksekusi solusi nya agar dapat mengimbangi pemulihan semua industri yang bergantung pada dunia penerbangan seperti pariwisata dan perdagangan pasca pandemi.
Bersambung : wisatawan mancanegara
Salam Aviasi.
***
Referensi:
- https://travel.kompas.com/read/2024/02/05/070700627/turunkan-tiket-pesawat-jadi-upaya-capai-15-miliar-pergerakan-wisnus-2024
- https://travel.kompas.com/read/2024/01/04/181008327/tiket-pesawat-domestik-mahal-wisnus-pilih-transit-luar-negeri
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20231107173227-4-487128/menhub-singgung-tarif-batas-atas-tiket-pesawat-mau-dihapus
- https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NjYjMg==/jumlah-penumpang-pesawat-di-bandara-utama.html
- https://jdih.dephub.go.id/peraturan/detail?data=IZwGppavVod5m08YPzoBRz4OUvfidiug58lzFWpmFmnS8cJzqMy1Rkg8W8sLVDhmBa49ab6qSECsS8LUqBT2JXnj8LRD8B00nAI8W8rfXHA2eO9idMJn5tydhJNU4eK8xGzjJ6rRdrAeFgd24BsK1EZ6ak