Pandemi menyebabkan banyak maskapai di dunia yang mengalami kesulitan finansial, beberapa diantaranya ada yang melakukan restrukturisasi untuk dapat tetap bertahan serta ada pula yang terpaksa gulung tikar.
Untuk maskapai yang melakukan restrukturisasi, beberapa jenis langkah yang diambil seperti perampingan perusahaan dan armada dan pengurangan rute di mana semua ini untuk mencapai efisiensi, namun ada pula yang berupa penyuntikan dana yang cukup banyak untuk sekian kalinya.
Perampingan perusahaan dan armada tidak hanya pengurangan jumlah pesawatnya saja tapi juga bisa berimbas pada anak perusahaanya yang bisa juga berupa maskapai subsidiary.
Dua contoh maskapai yang menutup maskapai subsidiary-nya adalah maskapai Cathay Pacific yang menggabungkan Cathay Dragon ke induknya yakni Cathay Pacific pada tahun 2020, maskapai terkini adalah Thai Airways yang juga menggabungkan anak perusahannya yaitu Thai Smile.
Dari dua contoh ini, mungkin bisa timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi maskapai subsidiary digabungkan ke maskapai induk, apakah maskapai subsidiary menjadi beban maskapai induk?
Jika kita melihatnya dari tujuan dari maskapai induk mendirikan maskapai subsidiary, bisa jadi jawabannya tidak karena maskapai subsidiary didirikan agar maskapai induk yang beroperasi sebagai maskapai layanan penuh (Full Service Carrier) dapat memperluas pangsa pasarnya pada penerbangan berbiaya rendah dengan mendirikan maskapai berbiaya rendah (LCC).
Munculnya banyak maskapai berbiaya rendah memiliki dampak pada maskapai layanan penuh, oleh karena itu tidak mengherankan jika maskapai layanan penuh perlu masuk ke persaingan bersama dengan maskapai berbiaya rendah yang sudah memulai lebih dulu.
Namun jika kita melihat dari model usaha yang dilakukan oleh maskapai induk dan maskapai subsidiary, maka jawabannya bisa saja iya karena walaupun keduanya maskapai akan tetapi keduanya beada di model usaha yang berbeda.
Maskapai induk berada di layanan penuh sedangkan maskapai subsidiary berada di layanan berbiaya rendah, di mana terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya mulai dari layanan di dalam penerbangan hingga rute rute penerbangannya. Masing masing dari keduanya juga memegang Air Operator Certificate (AOC)
Pihak IATA menyebutkan ciri ciri dari maskapai berbiaya rendah sebagai berikut:
- Primarily point-to-point operations. (Utamanya melakukan penerbangan poin ke poin (bandara ke bandara))
- Serving short-haul routes, often to/from regional or secondary airports. (Melayani rute jarak pendek, kebanyakan dari/ke bandara regional atau bandara non utama.)
- Typically one service class only, with no (or limited) customer loyalty programmes. (Biasanya hanya menyediakan satu kelas penerbangan saja, tanpa program loyalitas.)
- Limited passenger services, with additional charges for some services (e.g. on-board catering). (Layanan penumpang yang terbatas dengan biaya tambahan pada beberapa layanannya seperti makan (inflight meal).)
- High aircraft utilisation rates, with short turnaround times between operations. (Tingkat utilisasi pesawat yang tinggi dengan jeda waktu antar penerbangan sangat pendek.)
- A fleet consisting of just one or two types of aircraft. (Armadanya terdiri dari satu atau dua tipe pesawat.)
Dengan melihat perkembangannya, ada beberapa maskapai berbiaya rendah yang tidak lagi sesuai dengan ciri ciri yang disebutkan di atas seperti misalnya pada nomor 2, di mana kini terdapat maskapai berbiaya rendah yang melakukan penerbangan jarak jauh serta juga beroperasi di bandara utama -- tidak lagi hanya di bandara non utama. Contoh maskapai berbiaya rendah yang melayani penerbangan jarak jauh adalah Air Asia X.
Hal ini tentu akan berimbas pada biaya operasionalnya seperti bahan bakar dan juga biaya biaya yang ditetapkan oleh bandara seperti landing fee dan ground handling dimana bandara utama biasanya menetapkan lebih tinggi dari bandara non utama.
Maskapai berbiaya rendah yang beroperasi di bandara utama akan mengalami penurunan pada margin pendapatan operasionalnya karena mengeluarkan biaya yang lebih tinggi di bandara utama -- berbeda dengan maskapai layanan penuh dengan harga tiket yang lebih tinggi, kecuali bila maskapai berbiaya rendah pada akhirnya menyesuaikan harga tiketnya untuk menutupi perbedaan biaya antara di bandara utama dan non utama.
Dari sisi pelaku perjalanan, penyesuaian harga tiket tersebut membuat selisih harga tiket antara maskapai layanan penuh dengan maskapai berbiaya rendah semakin kecil namun dengan perbedaan layanan yang tidak berubah.
Perkembangan lainnya adalah pada kelas penerbangannya di mana kini ada beberapa maskapai berbiaya rendah yang juga melayani selain kelas ekonomi juga melayani kelas bisnis dengan standar layanan maskapai layanan penuh atau maskapai induknya.
Hal ini berarti pula maskapai berbiaya rendah perlu mengeluarkan biaya untuk instalasi inflight entertainment di kursi pesawat mereka serta biaya pada makanan dan minuman (inflight meal) apabila maskapai menyediakan layanan ini termasuk dalam tiket.
Perkembangan ini setidaknya membuat perbedaan secara definisi antara maskapai layanan penuh dengan maskapai berbiaya rendah semakin tipis dan jika dari sisi pelaku perjalanan yang sangat sensitif pada harga, perbedaan model bisnis maskapai ini hanyalah berupa perbedaan harga -- karena layanan akan menyesuaikan dengan harga.
Dari sisi maskapai, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan maskapai berbiaya rendah yang keluar dari definisinya karena keadaan dan kondisi pasar yang mendorong mereka ke sana.
Peningkatan jumlah pelaku perjalanan udara serta preferensi dari masing-masing pelaku perjalanan bisa jadi menjadi pendorongnya, karena dengan meningkatnya jumlah pelaku perjalanan tanpa ditambah dengan ketersediaan kursi berarti kesempatan bagi maskapai berbiaya rendah untuk menangkapnya bila maskapai layanan penuh tidak bisa menyediakannya.
Alasannya bisa karena maskapai layanan penuh tidak lagi memiliki ketersediaan pesawat dan juga memerlukan waktu untuk dapat menerima pesawat baru dari pabrikan pesawat.
Preferensi pelaku perjalanan yang lebih banyak menginginkan penerbangan non stop daripada transit bisa ditangkap oleh maskapai berbiaya rendah baik dari bandara non utama maupun bandara utama karena pesawat yang mereka bisa menyediakan itu tanpa harus transit di bandara pengumpul (hub).
Namun demikian, pengelolaan sebuah bisnis tidak selamanya mulus dan menguntungkan terutama dari sisi perusahaan induk terhadap anak perusahaannya, adakalanya mis management terjadi sehingga kondisi keuangan dan performance maskapai subsidiary yang tidak baik bisa membebani maskapai induk karena berada di satu entitas (perusahaan).
Di kala kondisi keuangan perusahaan sedang pada titik di mana perusahaan perlu melakukan restrukturisasi maka menggabungkan maskapai yang menjadi anak perusahaan dengan maskapai induk menjadi pilihan.
Bagi maskapai induk, mereka dapat melakukan efisiensi dan juga dapat lebih fleksibel dalam melakukan utilisasi pesawat dan juga jaringan (network)nya baik secara internasional, regional dan juga domestik.
Maskapai Thai Smile adalah contoh yang terkini sebagai hal yang perlu dilakukan oleh maskapai induknya, Thai Airways untuk menyehatkan kondisi dan performance perusahaan, dalam arti lebih baik digabungkan jika memang menjadi beban maskapai induk.Â
Namun memang tidak semua maskapai di dunia yang menggabungkannya walaupun mungkin perlu melakukannya, ada pula yang masih memiliki langkah lain untuk tetap efisien.
Restrukturisasi ataupun konsolidasi perusahaan besar dan maskapai dalam hal ini, pengurangan pesawat dan karyawan umumnya dilakukan pasca pandemi serta menggabungkan maskapai subsidiary-nya ke maskapai induk bila dipandang sebagai beban, hanya saja memandangnya perlu secara realistis.
Dari sisi pelaku perjalanan, apakah maskapai berbiaya rendah masih dapat dipandang sebagai budget airlines ataupun no-frills airlines?
Jawabannya diserahkan kepada para pelaku perjalanan melalui perjalanan dan pengalaman selama terbangnya, karena maskapai --apapun model usahanya -- akan mengambil langkah dengan latar belakang apa yang sedang berkembang di pasar (pelaku perjalanan), apakah masih mempertimbangkan pelayanan pada harga?
Apabila banyak permintaan di sebuah rute, penerbangan tanpa layanan tambahan pun bisa menjadi laris manis bak gorengan setelah hujan, ini karena hukum pasar yang berlaku.
Salam Aviasi.
Referensi:
- https://www.iata.org/en/iata-repository/publications/economic-reports/airline-cost-performance/
- https://airwaysmag.com/the-end-of-thai-smile-airways/
- https://thefinalapproach.net/low-cost-subsidiary-carriers-the-good-the-bad-and-the-ugly/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H