Kompasianer pak Irwan Rinaldi Sikumbang pada hari ini mengulas artikel dengan tajuk "Tandang ke Padang Lewat Malaysia, Persiraja Hemat Rp 25 Juta', ini bisa dikatakan berkaitan dengan dua hal yaitu konektivitas dan harga tiket pesawat.
Penulis sendiri beberapa hari yang lalu mengulas mengenai konektivitas udara di halaman komunitas Kompasianer Air dengan tajuk "Menggali Makna Konektivitas (Udara)"sebagai ulasan dari sebuah artikel di Kompas.id
Namun mari kita lihat pertanyaan yang paling umum dari permasalahan konektivitas udara kita yaitu mengapa konektivitas udara kita belum maksimum, dalam arti dapat menghubungkan kota kota di seluruh Indonesia.
Karena pada kenyataan memang belum semua konektivitas antar kota tersedia, contohnya seperti yang diulas oleh pak Irwan yaitu dari Banda Aceh ke Padang yang harus melalui Medan.
Hal ini memang terdengar wajar karena bandara KNO menjadi hub dari dua maskapai yang mungkin salah satunya akan ditumpangi oleh Persiraja yang memang harus melewati KNO sebagai hub si maskapai tapi kemudian bagaimana dengan maskapai yang akhirnya dipilih yang juga melalui hub maskapai satunya namun bukan KNO?
Untuk hal ini pastinya berkaitan dengan harga dimana maskapai yang dipilih lebih rendah dari maskapai yang hub nya di KNO., namun untuk dampaknya bisa dicek di akhir artikel ini.
Dalam penerbangan berjadwal, rute yang tidak tersedia ini disebut dengan Unserved route atau rute yang tak terlayani meskipun terdapat permintaan kursi penerbangan, mengapa tidak terlayani atau tidak ada maskapai yang melayani rute tersebut ?
Jawaban sebenarnya ada di pihak maskapai karena sebagai penyedia layanan penerbangan, maskapai juga perusahaan yang perlu memaksimalkan keuntungan.
Bila sebuah rute penerbangan tidak dapat menutupi biaya operasional pada pengoperasian pesawatnya di rute tersebut, sudah pasti maskapai tidak akan membuka layanan penerbangannya.
Hal yang kedua adalah masalah utilisasi dan ketersediaan pesawat pada armada maskapai, utilisasi disini berarti pemanfaatan pesawat dalam sebuah periode waktu agar dapat menghasilkan pendapatan sedangkan ketersediaan pesawat menggambarkan kesiapan maskapai dalam memberikan layanan penerbangan kepada pelaku perjalanan.
Mari kita ilustrasikan kedua hal ini.
Maskapai A melayani penerbangan dari CGK ke KNO satu kali dalam sehari, ini berarti pesawat melakukan penerbangan dalam satu hari adalah waktu tempuh CGK ke KNO pp ditambah dengan turnaround time nya atau jeda waktu antara kedatangan dan keberangkatannya kembali.
Jadi misalnya waktu tempuh dari CGK ke KNO sekali jalannya 3,5 jam maka pulang pergi adalah 7 jam ditambah waktu jeda misalnya 30-40 menit untuk pesawat berbadan sedang seperti B-737/A-320 berarti total utilisasi pesawat sama dengan 7 jam 40 menit dikurangi 40 menit = 7 jam.
Apabila total utilisasi pesawat dimulai dari jam 5 pagi hingga jam 22.00 maka sebenarnya masih ada sisa jam yang bisa diterbangkan oleh pesawat yaitu 17 jam - 7 jam= 10 jam dikurangi 40 menit X 2 (jeda waktu di KNO dan di CGK sebelum penerbangan selanjutnya) = 8 jam 40 memit.
Sisa waktu ini bisa dimanfaatkan oleh maskapai dengan menambah frekuensi penerbangan ke Medan yaitu 7 jam 40 menit atau ke kota lain yang ada dalam jaringannya
Waktu 17 jam tersebut meliputi waktu tempuh penerbangan dan jeda waktu antara penerbangan, waktu tempuh penerbangan disebut block hours yaitu waktu sejak pintu pesawat ditutup di bandara keberangkatan hingga pintu pesawat dibuka di bandara tujuan, sedangkan jeda waktu disebut turnaroud time adalah waktu untuk disembarkasi dan embarkasi penumpang dan bongkar muat kargo/bagasi.
Apabila semua pesawat dalam armada nya sudah diutilisasi secara maksimum maka tidak ada ketersediaan pesawat dari maskapai A untuk membuka rute baru meskipun hanya sekali dalam seminggu misalnya.
ilustrasinya bila maskapai A memiliki 70 pesawat  dimana 60 unit nya adalah pesawat berbadan sedang yang untuk penerbangan jarak pendek dan sedang dan semuanya sudah tidak ada sisa jam pada utilisasinya maka tidak memungkinkan maskapai A melayani rute baru.
Apakah hal ini berarti maskapai kekurangan pesawat ? jawabnya bisa iya dan bisa tidak -- jawaban tidak karena dalam konteks memaksimalkan pesawat, maskapai A sudah memenuhinya yang berarti pula pendapatan bisa maksimum.
Sedangkan dalam konteks konektivitas udara nasional, jawabannya iya tapi bukan pada maskapai A saja tapi seluruh maskapai yang beroperasi di Indonesia.
Bagaimana dengan kemunculan maskapai baru dimana juga akan bertambah lagi dua maskapai yaitu BBN Airlines dan Surya Airlines, akankah menambah pesawat atau kapasitas kursi ? kembali lagi, jawabannya bisa iya dan bisa tidak.
Jawaban iya karena memang ketersediaan kursi bertambah tapi pertanyaannya kemanakah kedua maskapai baru ini akan memaksimalkan utilisasi pesawat nya, singkatnya pada rute rute mana kedua maskapai ini akan melayani penerbangan kepada publik.
Apabila kedua maskapai ini mengekor para maskapai yang sudah beroperasi atau juga melayani rute rute yang sama maka penambahan kursi hanya untuk memenuhi permintaan yang mungkin terjadi di rute rute tersebut.
Mungkin kita sudah bisa menjawab rute rute mana yang dimaksud karena disanalah para maskapai kita selama ini berfokus.
Jadi apakah harus menambah kursi atau pesawat lagi ? dalam konteks memaksimalkan konektivitas jawabannya iya namun pertanyaannya siapa yang akan menambahnya ? apakah pemerintah atau pihak pelaku usaha atau investor?
Pemerintah sebenarnya sudah melakukan usaha dalam hal memaksimalkan konektivitas khususnya ke daerah daerah terpencil, tertinggal dan terluar melalui penerbangan perintis dengan menjalin kerjasama dengan maskapai, namun bagaimana dengan kota kota yang belum terkoneksi seperti contoh BTJ ke PDG?
Koneksi antar kota terutama antar dua kota disini maksudnya tidak hanya antar kota lain pulau saja tapi juga antar kota dalam satu pulau dimana memang belum semua konektivitasnya terjadi.
Jadi apa solusinya? Ini pertanyaan klasik sebenarnya karena masalah konektivitas ini bisa dikatakan sudah lama berlangsung hanya saja pertambahan kapasitas kursi tidak atau belum bisa menjawabnya.
Satu hal menurut penulis adalah pangkalnya yang belum tuntas dimana belum meratanya pembangunan yang berimbas pada tidak meratanya kesejahteraan dan juga tidak meratanya penduduk kita di daerah daerah, dalam arti maskapai akan selamanya berfokus kepada daerah atau kawasan dimana terdapat pasar dengan permintaan kursi dan ruang kargo yang tinggi.
Bila pada akhirnya kesebelasan Persiraja memilih maskapai yang hub nya bukan di KNO (dan juga bukan di NKRI) berarti uang Rupiah yang dibayarkan untuk tiket bisa jadi tidak lari ke maskapai Indonesia tapi negara lain.
Ini artinya apa ya kalau Rupiah yang kita belanjakan tidak berakhir di negara sendiri?
Salam Aviasi.
Referensi:Â wiki/Kualanamu_International_Airport
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H