Pemindahan penerbangan komersial dari bandara Hussein Sastranegara (BDO) ke bandara Kertajati (KJT) membuka wacana diterapakannya sistem multi bandara.
Wacana penerapan sistem multi bandara di Indonesia sendiri sebenarnya sudah mengemuka sejak beberapa tahun ini.
Sistem multi bandara pada dasarnya adalah adanya lebih dari satu atau dua bandara yang melayani area kota/metropolitan, ini berarti akan ada istilah primary airport (bandara utama) dan secondary airport (bandara non utama).
Status sebagai bandara utama disini bukan berarti bandara pusat namun sebagai bandara yang secara konstan memiliki jumlah trafik yang paling tinggi dari waktu ke waktu, oleh karena ini pula maka bandara utama umumnya juga bandara hub dari maskapai.
Status bandara utama dapat juga bertambah ketika bandara tersebut merupakan pintu gerbang utama ke sebuah negara yang secara otomatis juga sebagai bandara internasional.
Sedangkan secondary airport bisa merupakan bandara domestik, internasional ataupun keduanya akan tetapi  trafiknya biasanya lebih kecil dari bandara utama.
Baik bandara utama maupun non utama dapat menjadi bandara hub ataupun base operasi oleh maskapai, dan karena itu maka trafik pada bandara non utama akan sangat mungkin tumbuh dan bahkan mendekati jumlah trafik pada bandara utama.
Sistem multi bandara dipandang perlu untuk diterapkan ketika sudah terjadi kepadatan yang terus menerus meningkat di sebuah bandara, sehingga untuk mengurangi beban serta melancarkan pergerakan pesawat diperlukan bandara tambahan untuk memecah trafik.
Namun pertanyaan yang mungkin bisa mengemuka adalah apakah hanya karena atas dasar kepadatan kemudian diterapkan sistem multi bandara ini ?.
Mari kita melihat sistem multi bandara di kota London dengan enam bandaranya yaitu bandara Heathrow (LGH), Gatwick (LGW), London City (LCY), Luton (LTN), Stansted (STN) dan Southend (SEN)