Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Dilema Industri Kedirgantaraan Nasional, Antara Drone dan Pesawat Airliner

15 Juli 2023   13:11 Diperbarui: 17 Juli 2023   02:16 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat CN235-220 pesanan Nepalese Army (angkatan darat Nepal)(KOMPAS.com/PUTRA PRIMA PERDANA)

Jika melihat beberapa negara didunia yang mengembangkan industri kedirgantaraan dan aviasinya, sekilas kita akan menilai negara negara tersebut merupakan negara yang maju.

Penilaian ini sangat wajar mengingat untuk menghasilkan  satu jenis pesawat saja membutuhkan biaya yang tidak kecil, selain juga sumber daya lainnya seperti sumber daya manusianya baik saat awal pendesainan hingga proses produksi.

Biaya untuk pendanaan tidak saja pada desain saja (airframe) tapi juga fitur lainnya yang umumnya mengindikasikan kecanggihan sebuah pesawat yaitu pada avionik dan mesin.

Fitur dan komponen pendukung pesawat ini dekat sekali kaitannya dengan teknologi yang pengembangannya juga tidak berbiaya rendah.

Karena keterkaitannya dengan teknologi tersebut, negara maju dalam konteks pengembangan industri kedirgantaraan dan aviasi tidak (lagi) merujuk pada negara yang kaya tapi juga negara yang juga mengembangkan kedua industri ini.

Indonesia sendiri sempat membuat kaget dunia dengan pesawat CN-235 yang memasang teknologi yang masih terbilang baru dalam penerbangan ketika itu yakni fly-by-wire menggantikan serangkaian kabel kuat penghubung dengan kontrol pesawat.

Pesawat CN-235 buatan IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) bekerja sama dengan Casa (sekarang Airbus) mengembangkan pesawat ini terbang perdana pada tahun 1983.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi global, penambahan jumlah negara produsen pesawat dalam berbagai jenis dan model pun terjadi dan meramaikan industri kedirgantaraan dan aviasi dunia.

Kita bisa melihat negara Brazil dengan pabrikan Embraernya yang memproduksi pesawat sipil dan militer,  juga Korea Selatan dengan Korean Aerospace Industries dengan KF-21 Buramenya serta negara lainnya termasuk Indonesia dengan Indonesian Aerospace (PT. Dirgantara Indonesia).

Namun karena kedekatannya dengan perkembangan teknologi berbiaya tinggi tersebut, laju pertumbuhan kedua industri ini berbeda beda pada masing masing negara produsennya, tidaknya pada fitur dan komponen pendukungnya tapi juga pada kemampuan untuk memproduksi pesawat dalam jumlah pada sebuah periode waktu.

Ini merujuk pada sebutan production rate atau kapasitas produksi yang bisa pada periode bulanan maupun tahunan, dimana banyak faktor yang dapat memengaruhinya.

Secara teori, semakin tinggi production rate semakin tinggi dan cepat pula penghasilan pabrikan namun semakin tinggi pula penggunaan segala sumber dayanya termasuk biaya.

Sumber gambar : Kompas.com
Sumber gambar : Kompas.com

Dari sisi pemesan, waktu penyerahan bisa sangat penting karena menyesuaikan dengan tingkat kebutuhannya, sehingga selain dari harga pesawat, periode waktu penyerahan pesawat bisa menjadi pertimbangan.

Bagi Indonesia melalui PT. Dirgantara Indonesia, laju perjalanan industri kedirgantaraan nasional tidak sama pesatnya dengan negara negara produsen yang bermunculan selain dari negara negara yang sudah mengawalinya sejak kelahiran pesawat itu sendiri seperti Amerika, Inggris, Soviet/Rusia, Jerman, dan Perancis serta lainnya.

Untuk sebabnya mungkin kita tidak bisa mengetahui pastinya namun secara garis besar adalah faktor kemampuan finansial sebagai faktor yang mendominasi.

Namun dengan melihat perkembangan terkini di mana Menteri Pertahanan kita juga ikut memberikan dorongan dengan mendatangkan pesanan dari beberapa negara khususnya di Afrika, sudah seyogyanya diikuti pula dengan peningkatan kapasitas produksi yang mengikuti perkembangan.

Memang sesuai perkembangan perusahaan, PT. Dirgantara Indonesia sudah dapat meningkatkan kapasitas produksinya menjadi 8 unit per tahun, namun apakah ini akan tetap dipertahankan seiring dengan penambahan jumlah pesanan dikemudian hari?

Situs berita Kompas.com (11/7/23) memberitakan bahwa jumlah pesanan pesawat CN-235 sudah berjumlah hingga 100 unit, ini berarti dibutuhkan waktu sekitar 12 tahun untuk menyelesaikan 100 unit pesanan dengan kapasitas produksi 8 unit per tahun.

Ini belum memasukkan penambahan pesanan dikemudian hari yang akan menambah jumlah backlog pabrikan pesawat dari tahun ke tahun.

Penambahan jumlah pesanan pesawat CN-235 merupakan indikasi positif bagi industri kedirgantaraan kita yang perlu diantisipasi penambahan kapasitas produksinya, dengan penambahan tidak lagi dalam periode per tahun namun secara bertahap menjadi per bulan.

Ekspansi fasilitas perakitan dan  produksi sebaiknya mulai segera dipikirkan tidak hanya berdasar pada peningkatan jumlah pesanan namun juga dengan mengingat PT. Dirgantara Indonesia juga merakit pesawat dengan ijin dari pihak Airbus baik pada pesawat bersayap tetap maupun bersayap putar dari Airbus Helicopters.

Perluasan fasilitas ini juga akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak serta mempercepat alih teknologi dengan meningkatkan kerja sama dengan pabrikan pesawat dan produk kedirgantaraan lainnya seperti drone dan rudal serta satelit.

Juga jangan dilupakan bahwa inovasi juga menjadi faktor penting dalam industri kedirgantaraan dan aviasi, oleh karenanya pusat riset dan pengembangan juga diperlukan bagi insinyur insinyur penerbangan kita untuk menunjukkan karyanya, ini akan menjadi solusi dari larinya orang orang pintar ke luar negeri.

Kita sudah memiliki produk jadi pesawat seperti CN-235 dan N-219 serta konsep pesawat yang sebenarnya bisa menjadi pemasukan negara yang menjanjikan serta mengurangi ketergantungan kita pada pesawat buatan non Indonesia khususnya untuk menghubungkan antar pulau.

Hanya saja kita memang menyadari semua itu membutuhkan modal yang tidak kecil, akan tetapi ketika terdapat dua pilihan antara mengembangkan pesawat penumpang atau drone, maka biaya investasi akan setingkat dengan manfaatnya bagi pembangunan bangsa jika pengembangan pesawat airliner yang diprioritaskan.

Baik pesawat penumpang dan kargo (airliner) maupun drone memang keduanya merupakan produk yang strategis, tapi dalam konteks jumlah penggunanya, pesawat airliner lebih memberikan prospek yang cerah.

Dengan melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang cinta perdamaian dan mengutuk segala penjajahan di muka bumi, maka kebutuhan alat transportasi udara dengan pesawat yang cocok digunakan di negara kepulauan sepertinya lebih strategis untuk pertumbuhan bangsa ini.

Mudah-mudahan ada kelanjutan dari perkambangan pada jumlah pesanan pesawat ini berupa peningkatan fasilitas produksi dan perakitan pesawat.

Salam Aviasi dan Kedirgantaraan.

Sumber dan Referensi :

  • kompas.com/tren/read/2020/06/03/105300565/saat-pemerintah-hapuskan-proyek-pesawat-r80-impian-terakhir-bj-habibie
  • nasional.kompas.com/read/2023/07/10/17041241/prabowo-sebut-pt-dirgantara-indonesia-bisa-produksi-8-pesawat-cn-235-setahun
  • nasional.kompas.com/read/2023/07/12/11581551/dirut-pt-dirgantara-indonesia-ungkap-alasan-permintaan-pesawat-cn-235-makin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun