Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Altitude Sickness di Darat dan Udara

5 Februari 2023   12:43 Diperbarui: 6 Februari 2023   18:31 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tekanan udara pada setiap ketinggian akan berbeda beda, semakin tinggi kita berada semakin berkurangnya tekanan udara yang berarti oksigen disekitar kita menipis, pada kondisi ini umumnya membuat tubuh kita perlu melakukan penyesuian yang bisa memakan waktu beberapa hari dan bisa hingga beberapa minggu.

Perbedaan tekanan udara ini dikenal dengan atau yang disebut dengan atmospheric (barometric) pressure atau tekanan atmosfir.

Apabila kita mengalami proses perubahan tekanan udara tersebut secara drastis maka akan ada kemungkinan berdampak pada tubuh kita berupa gangguan mulai dari gangguan ringan yang disebuqxvt dengan Acute Mountain Sickness hingga yang sedang dan berat.

Sedangkan gangguan yang sedang disebut High-altitude pulmonary edema (HAPE) dan gangguan terberat adalah High-altitude cerebral edema (HACE) dimana dampaknya adalah terjadinya penumpukan cairan di paru paru pada gangguan HAPE dan adanya cairan otak pada gangguan HACE.

Kedua gangguan ini memiliki gejala gejala seperti sesak napas, lemas, kehilangan napsu makan, sakit kepala, sulit tidur dan mual setelah 12-24 jam berada di ketinggian yang tidak biasanya kita berada, namun bila gejala gejala tersebut semakin parah dan berkepanjangan maka dianjurkan untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Gejala gejala yang semakin parah ini bisa berupa batuk, chest congestion (penumpukan lendir pada paru paru), sakit tenggorokan, dada sesak, menggigil, hingga kehilangan kesadaran  (pingsan). 

Setiap orang yang melakukan kegiatan di lingkungan dengan perubahan elevasi atau juga ketinggian dari rendah ke lebih tinggi seperti pendakian gunung, trekkiing memiliki resiko yang sama terhadap gangguan akibat ketinggian ini bahkan orang yang rajin berolah raga pun tidak luput dari resiko terkena altitude sickness ini.

Akan tetapi setiap orang memiliki ketahanan yang berbeda beda terhadap ketinggian, ada yang dapat kuat menghadapi ketinggian pada 8,000 feet atau sekitar 2,438 meter namun juga ada yang rentan di bawah itu.

Tempat asal kita bisa menjadi latarbelakang perbedaan tersebut, orang yang memang tinggal pada elevasi tinggi akan cenderung lebih mudah membiasakan diri dibanding orang yang tinggal di elevasi rendah seperti perkotaan di tepi pantai.

Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit Amerika atau Center for Disease Control and Prevention (CDC) mengelompokan resiko berdasarkan tingkatan gangguan ketinggian mulai dari gejala rendah hingga berat, mereka menyebutkan bahwa yang terpenting untuk dilakukan adalah bukan menghindari segala gejalanya namun pada pencegehan agar tidak menjadi parah yang dapat mengakibatkan kematian. Evakuasi segera atau turun dari ketinggian sedini mungkin, tidak berpindah tidur di elevasi yang perubahannya tidak lebih dari 1,600 feet atau 500 meter per hari nya

Namun tingkatan resikonya pada umumnya tergantung pada beberapa faktor diantaranya kecepatan dalam mencapai ketinggian, seberapa tinggi kita melakukan pendakian (umumnya 8,000 feet ke atas), ketinggian tempat untuk kita tidur dan faktor lainnya.

Untuk orang yang memang memiliki sejarah penyakit jantung atau stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kehamilan beresiko tinggi, Kista fibrosis, sel sabit (kerusakan pada sel darah merah) dikelompokan sebagai orang orang yang rentan terhadap perubahan ketinggian secara drastis.

Aklimatisasi

Beberapa tips aklimatisaai direkomendasikan oleh CDC diantarnya hindari minuman beralkohol 48 jam sebelum perjalanan ke elevasi yang lebih tinggi, bagi yang biasa dengan minuman  kafein dianjurkan tetap mengkonsumsinya.

Jika ingin melakukan perjalanan ke tempat dengan elevasi tinggi seperti pendakian dan trekking serta hiking, dianjurkan untuk bertahap dan tidak langsung berpindah tidur di tempat dengan elevasi 9,000 feet (sekitar 2,750 meter), lakukan penyesuain secara bertahap dengan berpindah tempat untuk tidur pada setiap 3,300 feet atai 1,000 meter.

Hindari kegiatan olah tubuh yang berat berat pada 48 jam pertama dan dianjurkan untuk membiasakan diri terlebih dahulu dengan elevasi lebih dari 9,000 feet atau sekitar 2,750 meter setidaknya selama 2 malam.

Altitude Sickness pada Penerbangan

Saat kita melakukan perjalanan udara dengan pesawat, proses perubahan tekanan atmosfir bisa berlangsung cepat (drastis), hal ini karena adanya kecepatan vertikal pesawat (Rate of Climb/Descent) yaitu kecepatan vertikal pesawat untuk mencapai ketinggian terbang.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) mengatakan bahwa perjalanan dengan pesawat adalah salah satu kegiatan dengan resiko tinggi bagi pelaku perjalanan.

Setiap pesawat memiliki kecepatan vertikal atau Rate of Climb/Descent  (RoC) berbeda beda yang diindikasikan dengan feet per minutes (fpm) atau ada juga yang menggunakan meters per second (m/s). Nilai RoC ketika pesawat naik ke ketinggian nilai RoC nya positif sedangkan negatif ketika pesawat turun dari ketinggian.

Sebagai ilustrasinya, bila RoC pesawat 500 fpm berarti pesawat akan membutuhkan waktu 20  menit dari ketinggian 0 hingga 10,000 feet, semakin besar RoC nya semakin cepat pesawat dapat mencapai ketinggian terbang yang diinginkan.

Dengan sedikitnya waktu yang tersedia untuk tubuh kita menyesuaikan perubahan ketinggian ini maka ada kemungkinan timbulnya gangguan tersebut yang umumnya terjadi ketika pada ketinggian terbang 6,000--8,000 feet atau sekitar 1,828--2,438 meter.

Pada penerbangan, tekanan udara didalam kabin akan sama dengan tekanan udara pada ketinggian 5,000-8,000 feet, hal ini menurut  Dr.J. Michael Muhm seorang pejabat senior kesehatan pada Boeing Commercial Airplanes.

Pada penerbangan jarak pendek dan sedang, tekanan udara dalam kabin sama dengan pada ketinggian 5,000-6,000 feet sedangkan pada penerbangan jarak jauh tekanan udara dalam kabin sama dengan pada ketinggian 8,000 feet.

Ini berarti ketika pesawat sedang dalam fase cruisng altitude (En Route / ENR) yang bisa hingga 35,000-41,000 feet pada pesawat jet penumpang, tekanan udara di dalam kabin akan tetap sama dengan pada ketinggian 8,000 feet pada penerbangan jarak jauh dan 5,000-6,000 feet pada penerbangan jarak pendek dan sedang.  

Selain dari cepatnya atau drastisnya perubahan tekanan udara, lamanya waktu kita berada di ketinggian dengan tekanan udara yang tidak biasanya kita berada juga bisa membawa dampak pada tubuh kita.

Menurut Dr. Claude Thibeault yang menjabat sebagai Penasehat Kesehatan pada International Air Transport Association (IATA) di Montreal, untuk penyakit Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada ketinggian 6,500 feet dan lebih sehingga adakalanya orang mengalami mual/mabuk udara (disertai dengan muntah), sakit kepala ketika berada di pesawat.

Mungkin ada yang bertanya mengapa 8,000 feet yang dijadikan patokan ?

Masih menurut Dr. Claude Thibeault, ketinggian ini adalah ketinggian maksimum yang dapat ditolerir oleh struktur badan pesawat, bila kurang dari itu maka dibutuhkan struktur badan pesawat yang lebih kuat yang cenderung lebih berat dimana pesawat akan membutuhkan daya dorong (thrust) lebih banyak yang berarti penggunaan bahan bakar yang lebih pula.

Sedangkan jika lebih dari ketinggian itu (misalnya 10,000 feet) maka akan lebih banyak oksigen dibutuhkan, karena kita akan mulai memerlukan oksigen pada ketinggian 10,00 feet dimana udara semakin menipis. Pada dasarnya semakin mendekati tekanan udara dengan di permukaan laut maka semakin baik.

Namun beberapa pesawat baru seperti Airbus A 380,, A 350 dan Boeing B 787 tekanan udara di dalam kabin sama dengan tekanan udara di ketinggian 6,000 feet yang bila melihat penyakit Acute Mountain Sickness mulai pada ketinggian 6,500 feet ke atas maka pada pesawat pesawat baru tersebut kemungkinan akan dapat meminimalkan resiko penyakit acute mountain sickness ini.

Referensi :

  • healthline.com/health/altitude-sickness-flights
  • webmd.com/a-to-z-guides/altitude-sickness
  • hcdc.gov/travel/yellowbook/2020/noninfectious-health-risks/high-altitude-travel-and-altitude-illness
  • abcnews.go.com/Health/Healthday/story?id=4507808
  • aerospace.honeywell.com/us/en/about-us/blogs/why-do-aircraft-use-cabin-pressurization
  • en.m.wikipedia.org/wiki/Rate_of_climb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun