Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tantangan Industri Pariwisata pada Transportasi di Negara Kepulauan

12 September 2022   18:05 Diperbarui: 14 September 2022   08:18 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wisata dan Transportasi (foto: Gerhard/pixabay.com)

Hubungan antara industri pariwisata dan aviasi yang saling menggantungkan dan mendukung satu sama lain dapat mudah dipahami karena maskapai mengantarkan wisatawan kepada destinasi wisata dan begitu sebaliknya dimana destinasi wisata mengisi kursi kursi penerbangan maskapai dengan wisatawannya.

Jika kita menggunakan pemahaman diatas maka secara mudah pula kita dapat memahami bahwa ketika ada gangguan pada salah satu industri maka efeknya akan juga dirasakan oleh industri satunya.

Pada keadaan dimana terjadi fluktuasi harga bahan bakar dimana maskapai menerapkan surcharge fee, industri pariwisata juga terkena imbasnya dengan penurunan minat pelaku perjalanan untuk berlibur.

Pada keadaan ini berat bebannya sebenarnya lebih dirasakan oleh maskapai yang harus menetapkan surcharge fee sedangkan para pelaku wisata tidak, hal ini karena penambahan beban biaya operasional  di industri pariwisata tidak seberat yang maskapai pikul.

Bahan bakar adalah komponen biaya operasional terbesar dimaskapai yang prosentasenya bisa mencapai 30-40% dari total biaya operasional maskapai sehingga sekecil apapun kenaikan harga bahan bakar akan memiliki dampak yang cukup untuk mempengaruhi kinerja operasional dan keuangan maskapai.

Pada industri pariwisata dampak kenaikkan harga bahan bakar memang dapat mengurangi  jumlah kunjungan wisatawan dengan adanya penurunan minat dari beberapa wisatawan yang diakibatkan penerapan surcharge fee pada industri aviasi, akan tetapi wisatawan masih memiliki pilihan moda transportasi lainnya yang dinilai lebih rendah beban biayanya seperti moda transportasi darat dan laut.

Pengadaan kereta api cepat dan bis atau shuttle  yang nyaman mungkin bisa diterapkan seperti di Eropa ataupun di Amerika yang merupakan daratan luas namun Indonesia bukanlah negara dengan satu daratan luas saja melainkan saling terpisah satu sama lain dengan laut di antaranya.

Sehingga penerapan kereta api cepat hanya bisa dilakukan di masing masing pulau utama yang tidak saling terhubung secara langsung antar pulau, hal ini membuat moda transportasi udara menjadi primadona bagi wisatawan untuk mempersingkat waktu tempuh yang akan berimbas pada bertambahnya waktu tinggal di destinasi wisata.

Bila ada gangguan atau turbelensi seperti kenaikkan harga yang bisa terjadi dan terulang kapan saja, maka permasalahan transportasi udara yang berdampak pada industri pariwisata untuk dapat tumbuh konstan dan stabil serta untuk dapat meningkat akan selalu ada hadir.

Dan bila kita melihat dari sisi faktor produksi (land, labor, capital dan entrepreneurship) dimana pesawat merupakan salah satu capital goods dari industri pariwisata maka dapat kita katakan pula bahwa proses produksi dan output industri pariwisata akan selalu bergantung pada industri aviasi dalam hal ini maskapai.

Mengapa pesawat merupakan capital good pada proses produksi pariwisata ?

Karena pesawat digunakan sebagai alat oleh maskapai untuk menghasilkan output berupa pelaku perjalanan dimana pelaku perjalanan juga sebagian besarnya output dari pariwisata.

Pesawat seperti truk atau bis yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan output berupa penghasilan jasa angkutan.

Dengan begitu output yang dihasilkan oleh industri pariwisata selalu terganggu dan tidak bisa konstan karena terganggunya proses produksi di industri pariwisata.

Walau output industri pariwisata yang dalam hal ini adalah wisatawan juga merupakan output industri aviasi, namun karena output industri aviasi lebih banyak jumlahnya berkontribusi pada industri pariwisata daripada moda lainnya maka dampak pengurangannya pun akan sangat terasa.

Disisi transportasi, konektivitas antar pulau sebenarnya masih menyediakan pilihan lainnya kepada wisatawan berupa moda transportasi laut namun tidak dapat menimbulkan pergeseran penggunaan dari moda transportasi udara ke pilihan yang tersedia (moda transportasi laut) secara signifikan.

Jadi bagaimana solusinya agar industri pariwisata dapat mengurangi ketergantungannya pada industri aviasi pada proses produksi nya ?

Inilah sebenarnya pertanyaan yang harus ditemukan solusinya sebelum kita mengembangkan destinasi wisata di beberapa daerah yang dipisahkan oleh laut.

Karena industri aviasi dalam hal ini maskapai adalah industri yang kerentanannya terhadap segala situasi yang terjadi di dunia ini lebih melekat pada operasionalnya daripada industri pariwisata seperti pada situasi dimana fluktuasi harga bahan bakar minyak dapat terjadi dan terulang lagi dari waktu ke waktu.

Walau tidak menutup kemungkinan dimana para pihak yang pada sisi kebijakan sudah mengidentifikasi permasalahan ini namun mungkin pula permasalahan ini justru diberkaskan atas dasar pertimbangan lainnya.

Industri pariwisata dan aviasi memang saling menggantungkan satu sama lain namun pada transportasi sebenarnya masih menyediakan moda darat dan laut yang bisa dijadikan alernatif namun permasalahan lainnya adalah kendaraan yang tersedia pada kedua moda ini belum bisa berhasil menggeser pilihan dari pengguna di moda transportasi udara.

Sampai kapan ini tetap berlangsung akan tergantung dari ketersediaan kendaraan pada moda transportasi darat dan laut yang dapat menjaring pengguna pada moda udara atau bisa juga bergantung pada perubahaan pada jenis kendaraan di moda udara yang bisa berupa pengalihan pada penggunaan pesawat dari mesin jet ke turboprop ataupun lainnya.

Kemauan atau keinginan para pemegang kebijakan juga menjadi penentu untuk mencari solusinya yang dampaknya tidak hanya pada jangka pendek saja tetapi juga jangka panjang.

Namun sebagai masukan dari penulis adalah salah satunya berupa penyediaan kapal wisata ataupun kapal pesiar yanv dapar memberikan kenyamanan kepada wisatawan dengan menetapkan eute rute yang singgah di destinasi utama, dengan mengingat pula bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Mudah mudah an akan ada solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Industri pariwisata ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun