Hari ini tanggal 8 September 2022 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden RI no. 109 Tahun 2022 sebagai pengesahan kesepakatan RI dan Singapura dalam pengelolaan FIR.
Pada kesepakatan dilaksanakan bulan Januari 2022 yang lalu disepakati bahwa untuk ketinggian 0-37.000 feet akan tetap dikelola Singapore sedangkan untuk 37.000 keatas akan dikelola Indonesia.
Sedangkan untuk memastikan tidak adanya pelanggaran wilayah udara oleh pihak militer dikedua negara maka disepakati penempatan personil militer kita di Bandara Changi.
Salah satu menteri kita mengomentari masalah pengelolaan ruang udara antara dua negara yang terkesan defensif ketika diminta pendapatnya mengenai pengelolaan yang masih didelegasikan kepada Singapura, seperti yang diberitakan Kompas.com (8/9/22) dimana menurut penulis perbedaan ini tidak seharusnya dilihat dari siapa menguasai apa.
Perbedaan pada pengelolaan ruang udara antara pada 0-37.000 feet dengan 37.000 feet keatas sebaiknya dilihat sebagai kemampuan dan kapabilitas yang diperlukan (required) untuk mengelola ruang udara yang padat dimana diperlukan peralatan dan sumber daya manusia yang tinggi karena pada ketinggian inilah (0-37.000 feet) trafik take off dan landing mendominasi ruang udaranya serta mengingat bahwa fase take off dan landing adalah dua fase dalam penerbangan dengan tingkat resiko tinggi.
Apakah kita (sudah) memiliki kemampuan yang diperlukan tersebut ?
Sebagai perbandingan saja, menurut website AirNav Indonesia, ruang udara kita adalah seluas 7,539,693 Km2 dengan terbagi atas dua FIR yaitu FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang dengan jumlah trafik per harinya sebanyak 6.125 pergerakan dari semua bandara di daerah Indonesia bagian barat hingga Indonesia Timur, sedangkan FIR Singapore dengan luas 840,000 km trafik sekitar 1.877 per hari (dengan dasar data CAAS dengan trafik 676,000 per tahun /360 hari).
Perbandingan ini sedikitnya bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Namun demikian, kesepakatan ini sedikitnya meredam perdebatan pada definisi FiR dan Kedaulatan Negara dimana Singapore melihat dari sisi FIR yang dari awal penetapannya adalah untuk menjamin keselamatan penerbangan dan kelancaran layanan penerbangan sedangkan Indonesia dari sisi kedaulatan udara dengan seringnya pelanggaran wilayah udara oleh militer negara lain terutama Singapore.
Akan tetapi penulis tidak ingin terlibat pada perdebatan tersebut melainkan untuk melihat bagaimana perjalanan Singapore untuk menjadi seperti sekarang ini, bukan pada jalan yang dilaluinya melainkan pada dasar pemikiran Singapore untuk mengembangkan industri aviasi khususnya aviasi sipil komersial.
Keberhasilan Singapura melalui Changi sebagai bandara hub international bagi penerbangan komersial serta sebagai penggerak perekonomiannya patut diperhitungkan dan ditiru, tidak meniru caranya melainkan sudut pandangnya terhadap pentingnya angkutan udara bagi sebuah negara baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Singapura melalui CAAS nya (Civil Aviation Authority of Singapore) juga berhasil sebagai penyedia navigasi udara yang mengontrol ruang udara seluas 840,000 km2 pada Flight Information Region mereka (FIR Singapore), padahal luas daratan singapura hanya 720 km2.
Kedua pencapaian ini bukanlah tanpa usaha dan perjalanan panjang serta pastinya bukan dengan tujuan untuk memperluas kedaulatan (udara) negara tersebut melainkan untuk  menjamin keselanatan penerbangan dan keefektifan arus lalu lintas pesawat dengan mengingat pentingnya angkutan udara pada perekonomiannya.
Bagaimana perjalanan Singapura dalam mencapai keduanya ?
Bandara Changi
Bandara Changi Singapura merupakan salah satu penggerak perekonomian negara Singapura melalui trafik pesawat niaga berjadwal baik penumpang dan kargo serta status nya sebagai bandara hub yang menghubungkannya dengan berbagai destinasi di seluruh benua Asia dan Pasfik (APAC).
Changi mulai beroperasi sejak pendaratan pesawat niaga berjadwal dari maskapai Singapore Airlines dengan nomor penerbangan SQ 101 dari Kuala Lumpur dengan membawa 140 penumpang serta keberangkatan pesawat Singapore Airlines SQ 192 Â ke Penang pada tanggal 1 Juli 1981.
Bandara ini dibangun di area bekas pangkalan Angkatan Udara Inggris yang dibangun untuk menggantikan peran bandara Paya Lebar yang sudah beroperasi sejak tahun 1955 sebagai bandara penumpang dan kargo Singapura.
Saat awal beroperasi, Changi hanya terdiri dari satu terminal dan satu landasan pacu saja namun dengan cepat bertambah dengan landasan pacu kedua pada tahun 1983 dan dilanjutkan dengan terminal 2 pada tahun 1990, terminal 3 pada tahun 2007 dan terminal 4 pada tahun 2017.
Kini terminal 5 dan landasan pacu ketiga sudah direncanakan dan itu semakin membuktikan lagi betapa Singapore menganggap penting angkutan udara bagi perekonomian Singapura yang merupakan open economy.
Changi akan bertambah dalam hal kapasitas penumpang, lalu lintas pesawat, jumlah maskapai dan jumlah koneksi penerbangan yang semua itu merupakan ramuan jitu dalam menumbuh kembangkan sebuah bandara.
Penyedia Navigasi Udara
Dengan pertumbuhan trafik pesawat maka dibutuhkan pula layanan navigasi udara yang mampu mengimbangi pertumbuhan trafik tersebut di dalam ruang udara negara Singapura dimana bandara Changi berada.
Pelayanan navigasi udara terhadap ruang udara ini merujuk pada Flight Information Region (FIR) Singapore yang telah ditetapkan oleh Badan Aviasi Sipil Dunia atau ICAO pada tahun 1947.
Singapura melakukan berbagai usaha mulai dari penyediaan peralatan dan peningkatan sumber daya manusia nya untuk dapat selalu menjamin keselamatan penerbangan yang trafiknya kian meningkat pula dari tahun ke tahun.
Berbagai peralatan dengan teknologi dan fasiltas yang mumpuni disediakan oleh Singapura seperti radar utama dan radar kedua dengan jangkauan jauh (long range radar) untuk memonitor dan mengatur semua pergerakan pesawat di FIR Singapore.
Singapura memiliki sistem radar jangkauan jauh yaitu Long Range Radar and Display System (LORADS) yang ditempatkan di pusat pengendalian trafik udara mereka di bandara Changi, sistem radar ini yang menyediakan layanan penerbangan di FIR Singapore terutama pada pesawat yang hendak mendarat (approach) dan juga yang berada di FIR Singapore.
Pergerakan pesawat juga mencakup keberangkatan dan kedatangan yang dalam prosesnya menggunakan beberapa ruang udara untuk keperluan yang berbeda beda seperti untuk descend, climb, approaching dan holding/circlying sehingga ketika trafik di ruang udara tersebut semakin  padat maka penanganannya pun harus tetap dapat menjamin keselamatan dan keefektifan lalu lintas pesawat didalam ruang udara tersebut.
Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Singapura  sejak tahun 1981 serta kedepannya maka tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa dengan memiliki bandara Changi dan sebagai penyedia layanan navigasi udara, Singapura akan tetap menjadikan angkutan udaranya sebagai salah satu pilar perekenomiannya dengan selalu meningkatkan peralatan navigasi udara dan fasilitas bandara serta kemampuan sumber daya manusianya.
Pada tahun 2017 pihak IATA dalam laporannya berjudul " The Importance Air Transport to Singapore" memprediksi akan terjadi pertumbuhan sebesar 126% pada 20 tahun mendatang atau hingga tahun 2037 di industri penerbangan penumpang di Singapore dan pertumbuhan tersebut berkontribusi pada GDP Singapore sebesar $ 826 milyar serta hampir 570 lapangan pekerjaan.
Hal ini sebenarnya menjadi tantangan berat bagi Indonesia  yang telah lama menginginkan untuk mengelola ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna pada FIR Singapore yang masuk dalam teritori negara Indonesia.
Industri penerbangan adalah industri yang melekat pada teknologi yang berbiaya tinggi mulai dari proses risetnya hingga penggunaannya, semakin canggih sebuah teknologi semakin tinggi pula biayanya, ini belum termasuk pelatihan pada sumber daya manusianya.
Sedangkan kemajuan teknologi kini semakin cepat laju perkembangannya sehingga semakin lama waktu berlalu semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan oleh kita bila ingin mengelola ruang udara tersebut.
Selain itu tidak akan mudah bagi Singapore untuk mengembalikan pendelegasian ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna kepada Indonesia dengan melihat betapa pentingnya angkutan udara bagi negaranya serta melihat tingkat kemampuan Indonesia baik dari segi peralatan maupun sumber daya manusia nya.
Potensi akan larinya maskapai maskapai ke bandara hub lainnya akan terbuka apabila kita tidak dapat mengelola dengan tingkat keselamatan dan keefektifan yang sama dengan yang telah mereka lakukan selama ini, yang bila kita tidak mampu maka hal tersebut jelas akan merugikan Singapore.
Kecuali apabila kita sudah dapat tampil dengan tingkat kemampuan dan kapabilitas yang dapat mengimbangi Singapura terutama dalan menyediakan layanan navigasi udara di ketingguan 0-37.000 feet dimana semuanya merupakan trafik keberangkatan dan kedatangan pesawat ke bandara Changi.
Dengan begitu pula akan tetap terjalin hubungan tetangga antara kedua negara yang saling menguntungkan.
Untuk itu apabila kita ingin ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna kembali kepada kita sebaiknya kita sudah mulai mempersiapkan diri sejak keinginan tersebut muncul dan bila kini baru mempersiapkan maka laju persiapannya haruslah dipercepat.
Perpres no.109 tahun 2022 ini sebaiknya dilihat sebagai pengingat kita untuk meningkatkan kemampuan kita untuk bisa mengelola ruang udara yang padat seperti di FIR Singapore agar dikemudian hari kita bisa mengambil kendali ruang udara di atas kepulauan Riau dan Natuna dengan bekal kemampuan yang memenuhi syarat untuk menyediakan layanan navigasi udara serta mengelola trafik sepadat apapun bandara Changi di masa mendatang, tidak hanya berbekal argumentasi tentang kedaulatan udara saja.
Apabila kita masih ingin menggunakannya, sebaiknya juga dilengkapi dengan kemampuan mengelola ruang udara 0-37.000 feet tersebut, sehingga dasar dan argumentasi kita menjadi amunisi yang ampuh.
Disisi lain negara India kini juga telah mempersiapkan diri menjadi bandara hub menyaingi Singapore dan ini bisa menjadi pesaing berat bagi Singapore terutama sebagai hub Asia dan Pasfik serta Asia dan Afrika mengingat lokasi geografis dari India.
Sehingga tidaklah mengherankan jika Singapura tetap akan mempertahankan status bandara Changi sebagai bandara hub untuk kawasan Asia dan Pasifik dan mungkin akan berlomba dengan India sebagai hub untuk benua Asia dan Afrika.
Hal ini juga berarti semakin panjang pula jalan bagi Indonesia untuk mendapatkan ruang udara yang kita ingin rebut kembali pendelegasiannya.
Referensi :
Satu Dua Tiga Empat Lima Enam Tujuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H