Industri aviasi merupakan salah satu industri yang berkontribusi pada emisi karbondioksida di dunia melalui penerbangan pesawat, kontribusi aviasi ini diprediksi akan terus meningkat dimasa mendatang seiring dengan prediksi pertumbuhan pada penerbangan.
Menurut Statista, emisi CO2 yang dihasilkan oleh industri aviasi meningkat terus dari tahun 2015 dengan 775 juta metric tonnes menjadi 936 juta metric tonnes pada tahun 2020 sebelum pandemi.
Jejak Karbon aviasi bukanlah sesuatu yang baru setidaknya bila kita melihat pada tahun 1990 an ketika sebuah organisasi nirlaba yaitu Global Foorprintl Network mempromosikan konsep Ecological Footprint yang bertujuan untuk mengukur besar sumber alam yang dibutuhkan oleh manusia atau perekonomian.
Sebelum berlanjut ada baiknya kita memahami betul akan konsep ini karena jika kita berbicara mengenai jejak karbon pada aviasi berarti kita juga berada didalamnya sebagai host atau pembawa dampak tersebut, dalam artian bahwa kita sebagai pengguna transportasi udara memiliki peran juga terhadap jejak karbon ini, sehingga peran serta kita dalam mengurangi dampaknya akan sangat membantu industri aviasi untuk mencapai destination2050.
Bagaimana caranya ? kita bisa memulainya dengan mengetahui jumlah atau besar emisi CO2 yang kita hasilkan sebagai penumpang pesawat.
Jika menggunakan perhitungan di website ICAO, penerbangan dari.CGK ke DPS dengan pesawat Airbus A-320, A-300 200/300 dan Boeing B-738/9 dan B-772/3 akan mengeluarkan angka angka ini :
1. Jumlah Bahan Bakar : 5,726 kg
2. Jarak Tempuh 982 km
3. Carbon footprint kelas ekonomi : 90.4kg/penumpang.
Rumus yang ada pada website ICAO adalah Total passengers' CO2/journey = Passenger CO2/pax/legNumber of pax.
Namun pada website FlightEmissionsCalculator.com jumlah carbon footprint dikelas ekonomi lebih kecil daripada kelas bisnis karena jumlah kursi ekonomi yang juga lebih banyak sehlngga kontribusi per kursi nya memang akan lebih kecil pula yaitu 150.3 kg sedangkan di kelas bisnis 225.5 kg.
Perbedaan perhitungan pada kedua website bisa disebabkan adanya perbedaan dalam.perhitungan pada penggunaan bahan bakar dan jarak tempuh pada penerbangan tersebut.
Jika kita membandingkan besarnya emisi CO2 dikelas bisnis dengan aktivitas lainnya, hal ini berarti setiap satu penumpang dalam penerbangan selama 1 jam 20 menit akan sama sama menghasilkan 225.5 kg dengan perjalanan sejauh 1.338 km dengan kendaraan atau mobil.
Nah jika kita satu orang menghasilkan 90.4 kg dalam satu kali penerbangan (jika menggunakan perhitungan di ICAO) Â maka bagaimana jika jumlah penumpangnya 100 orang dan dengan jumlah penerbangan sebanyak 100 kali maka didapat angka 90.4kg x 100x 100 = 904,000 kg atau 904 ton.
Dengan menyadari dampak yang kita hasilkan tersebut maka kita bisa lebih menyadari betapa pentingnya penggunaan bahan bakar pesawat yang lebih ramah pada lingkungan dan yang tidak berkontribusi banyak pada pemanasan global melalui carbon footprint dalam penerbangan.
Pada akhirnya kita juga akan memahami dan mendukung segala bentuk usaha yang dilakukan oleh para stakeholder dari aviasi, lingkungan, perminyakan dan industri lainnya untuk mewujudkan harapan kita semua tersebut.
Salah satu dari usaha yang dilakukan untuk mewujudkan itu adalah dengan memulai mempromosikan penggunaan bahan bakar yang lebih ramah pada lingkungan dan menghilangkan jejak karbon secara bertahap, bahan bakar tersebut adalah Aviation Bio Fuel atau lebih dikenal dengan nama Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Bahan bakar ini merupakan percampuran bahan bahan dari tumbuhan serta hewan dengan minyak mentah yang merupakan bahan utama dari aviation fuel yang umum digunakan, komposisi nya dapat hingga 50-50 dan diyakini dapat mengurangi efek emisi katbondioksida hingga 80%.
Maskapai Virgin Atlantic milik Richard Brenson menjadi maskapai pertama didunia yang meggunakan aviation biofuel ketika Boeing B-747 mereka melakukan penerbangan uji coba dengan terbang dari London Gatwick LGW ke Amsterdam AMS dengan komposisi 80% Â aviation fuel dan 20% campuran minyak kelapa dan minyak babassu.
Pada perjalanannya Virgin Atlantic juga telah menggunakan biofuel dengan campuran gas hasil dari pengelolaan baja dan pada Virgin Australia menggunakan campuran alkohol.
Pada tahun 2011 komposisi campuran ditingkatkan hingga 50% dan mulai digunakan pada beberapa penerbangan komersial.
Selain minyak kelapa dan babassu, campuran SAF berasal dari tumbuhan lainnya yaitu alga, Camelina, gula, alkohol dan campuran lainnya yang berasal dari sisa olahan baik itu tumbuhan ataupun hewan, namun sepertinya bahan dari tumbuhan alga akan menjadi yang terpopuler .
Salah satu tandanya adalah ketika pada tahun 2008 beberapa pelaku industri aviasi mendirikan organisasi nirlaba bernama Algal Biomass Organization dengan tujuan mengembangkan komoditi yang berkeberlanjutan dengan menggunakan bahan dari tumbuhan alga dimana Boeing sempat menjadi salah satu pihak yang duduk sebagai pimpinan di organisasi tersebut.
Tantangan
Salah satu tantangan dari penerapan SAF ini adalah dengan tidak memerlukan modifikasi pada pesawat pesawat yang sudah beroperasi, dan berangkat dari tantangan tersebut maka SAF yang kita kenal kini merupakan bahan bakar Drop-in (Drop-in Fuel) atau dalam istilah ekonominya mengacu pada bahan pengganti atau substitute, ini berarti penggantian penggunaan SAF dapat langsung dilakukan tanpa memerlukan modifikasi pada pesawat yang kini sudah beroperasi yang menggunakan aviation fuel (avtur) dan jika pun ada maka biayanya tidak akan memberatkan maskapai.
Pada perkembangannya banyak perusahaan yang diberikan permodalan untuk mengembangkan SAF dari berbagai jenis bahan tumbuhan, limbah dan hewan namun tidak sedikit pula yang akhirnya mundur dan mengakibatkan laju dari pengembangan SAF ini agak melamban setidaknya sejak tahun 2011.
Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya biaya produksinya dimana bisa.mencapai 2x lipat dari avtur saat ini yang membuat ketersediaan SAF masih sangat terbatas, pada tahun 2019 jumlah SAF yang tersedia hanya sekitar 0.1% dari total kebutuhan bahan bakar pesawat, jumlah ini bahkan masih jauh dibawah harapan Boeing yang mematok 1% di tahun 2015.
Pada tahun 2021 pihak IATA mencatat ada sekitar 100,000 liter SAF telah digunakan di industri aviasi, jumlah ini hanya mempresentasikan 0.1% dari kebutuhan industri aviasi dan pada tahun 2021.
IATA pun berharap bahwa pada 2025 ketersediaan SAF akan mencapai 2% dari total kebutuhan seluruh maskapai atau sekitar 7.9 milyar liter ketersediaannya bagi maskapai dan pada tahun 2050 jumlah ini akan meningkat tajam menjadi 65% dari total kebutuhan atau sekitar 449 milyar liter per tahunnya.
Jejak karbon pada aviasi sepertinya juga membuka peluang bisnis kepada yang suka bercocok tanam, statistik diatas mungkin dapat memberikan sedikit gambaran peluang tersebut, Â oleh karenanya tidak ada salahnya pula untuk memulai mengalihkan jenis tanamannya dengan tanaman tanaman yang digunakan sebagai campuran SAF ini karena adanya tekad dari industri aviasi untuk menggunakan SAF pada seluruh penerbangan pada tahun 2050.
Standarisasi
Pada aviation fuel yang sudah digunakan selama ini menggunakan standarisasi dari dua badan yaitu ASTM International di Amerika dan Defence Standard (Def-Stan) di Inggris.
Sebagai ilustrasinya, aviation fuel yang selama ini digunakan oleh industri aviasi yaitu Jet A dan  A-1 merujuk pada standarisasi ASTM D1655 and Def-Stan 91-091.
Langkah Menuju Net Zero
Pada tanggal 4 Februari 2022 yang lalu 42 negara dan para stakeholder industri aviasi mendandatangani Toulouse Declaration on Future Sustainability and Decarbonization of Aviation yang terdiri dari 11 butir kesepakatan bersama dalam pengurangan emisi karbondioksida menuju net zero pada tahun 2050 atau yang dikenal dengan Destination 2050.
Perkembangan Terkini
Pada press release nya tertanggal 21 Juni 2022 pihak Neste sebagai salah satu produsen SAF telah melakukan tes bersama dengan maskapai asal Swedia Braathens Regional Airlines dimana mereka telah berhasil menggunakan 100% SAF pada penerbangan dengan pesawat ATR 72-600 .
Pada awal awal tes mereka hanya menggunakan 100% SAF pada satu mesin saja akan tetapi selanjutnya mereka berhasil menggunakan pada kedua mesin turboprop ATR 72-600 tersebut.
Bagaimana Indonesia ?
Pertamina sebagai pihak yang juga menyediakan aviation fuel sudah dapat memproduksi SAF, ini sesuai dengan yang dinyatakan pada website resminya, mereka telah memiliki kilang bio fuel di Cilacap dengan kapasitas produksi sebesar 3,000 barrel per harinya.
Informasi mengenai bahan bahan yang digunakan serta komposisi nya tidak tersedia di website mereka.
Referensi :
Satu Dua Tiga Empat Lima Enam Tujuh Delapan Sembilan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H