Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengenal Beberapa Metrics Maskapai

18 Agustus 2022   15:20 Diperbarui: 19 Agustus 2022   02:25 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Maskapai (pixabay.com)

Maskapai dalam menjalankan operasionalnya akan menggunakan formula untuk memulai dan menjalankan bisnisnya, formula ini berupa metrics atau perhitungan perthitungan yang dapat memberikan data dari sisi maskapai (supply) dan pengguna transportasi udara (demand) serta sisi operasional dan keadaan (seasonal) yang dapat mempengaruhi bisnisnya.

Hukum ekonomi memang berlaku juga di industri aviasi, begitu pula hukum alam dimana orang akan selalu mencari tiket murah sehingga secara teori maskapai yang menetapkan harga tiket rendah akan lebih dipilih.

Bagi maskapai, tingkat keterisian pesawat (passenger load factor) yang tinggi akan lebih dapat menutupi biaya tetapnya yang tinggi. Namun apakah biaya tetap ini dapat ditutupi juga dengan harga tiket yang rendah walau dengan tingkat keterisian yang tinggi?

Harga tiket dan tingkat keterisian memang merupakan dua dari banyak faktor yang digunakan maskapai dalam menganalisis performance termasuk juga hal-hal yang mempengaruhinya yang bisa ditimbulkan dari internal maskapai seperti pemeliharan, maupun eksternal seperti operasional bandara.

Metrics maskapai yang utama adalah aircraft utilization serta passenger load factor di mana di dalamnya terdapat perhitungan jumlah ketersediaan kursi oleh maskapai. Sebab kursi adalah produk dasar dan utama dari maskapai yang ditawarkan kepada pelanggannya.

Aircraft Utilization

Utlilisasi pesawat digunakan untuk mengukur produktivitas dari sebuah pesawat dalam satu periode operasional pesawat tersebut dengan menghitung berapa lama pesawat melakukan penerbangan dalam sebuah periode waktu operasional.

Waktu penerbangan pesawat biasanya dipresentasikan dalam jam yang mengacu pada istilah block hour atau block time yaitu waktu yang dihitung dari saat pintu pesawat ditutup dan di pushed back saat akan terbang (off-block) hingga pintu pesawat dibuka saat mendarat (on-block).

Semakin banyak block hour semakin tinggi (produktif) pemanfaatan pesawat bagi maskapai dalam menghasilkan pendapatan pada periode waktu operasionalnya yang biasanya dihitung per hari.

Sebagai ilustrasi pesawat A melayani rute penerbangan 8 jam dan kembali nya 8 jam ditambah jeda waktu 2 jam misalnya, jadi utilitas pesawat adalah 14 pada hari tersebut.

Sedangkan pesawat B melayani rute pendek 2 jam dan kembalinya 2 jam ditambah dengan 2 jam jeda, misalnya, sehingga total waktu yang dibutuhkan pada satu penerbangan adalah 6 jam. Jika dalam 24 jam pesawat tersebut bisa terbang pada rute tersebut maka total jam untuk 3x penerbangan adalah 18 jam dikurangi dengan jeda waktu 6 jam: Sehingga utiilitasnya adalah 12 jam pada hari tersebut. Jumlah ini lebih sedikit dari pesawat yang terbang rute 8 jam sekali jalan dalam sehari.

Dari ilustrasi di atas mungkin ada yang bertanya mengapa pesawat A dan B tidak terbang lagi karena masih tersisa waktu dalam hari tersebut?

Jawaban satu adalah karena setiap pesawat membutuhkan waktu untuk inspeksi dan perbaikan jika ada ganguan pada pesawat. Selain itu maskapai juga melakukan persiapan seperti pembersihan kabin untuk penerbangan keesokan harinya.

Jawaban kedua adalah mengacu pada jam operasional bandara yang tidak semua berlangsung 24 jam sehingga secara teori maskapai memiliki waktu efektif dari jam 5 pagi hingga selambatnya jam 12 dini hari untuk mengoptimalkan penggunaan pesawatnya.

Bila dihitung dalam jam ini berarti terdapat waktu selama 19 jam bagi maskapai mengoperasikan pesawatnya dalam satu hari. Namun keefektifan produktivitas juga dapat dipengaruhi faktor eksternal seperti keadaan bandara asal dan kedatangan yang dapat mempengaruhi lewat jeda waktu antar penerbangan atau turnaround time (TAT).

Passenger Load Factor

Keadaan ini kemudian yang membawa kita kepada metrics yang disebut dengan passenger load factor yang berguna bagi maskapai untuk melihat seberapa efektifnya penggunaan pesawatnya pada rute penerbangan yang dilayani pesawat tersebut.

Perhitungannya adalah dengan pembagian dari Revenue Passenger Kilometer/mile dengan Available Seat Kilometer/mile.

Revenue Passenger Kilometer/Mile digunakan maskapai untuk mendapatkan jumlah kilometer/mile yang ditempuh oleh penumpang (yang membayar saja).

Perhitungannya adalah jumlah penerbangan yang dilakukan X jumlah kilometer per penerbangan X jumlah kursi terjual per penerbangan.

Misalnya, satu pesawat dengan penumpang yang membayar berjumlah 100 orang dengan menempuh rute 200 km maka perhitungannya adalah 1 x 100 x 200 = 20.000 RPK.

Sedangkan Available Seat Kilometer/Mile untuk menghitung kapasitas angkut yang tersedia pada pesawat pada sebuah rute untuk dapat menghasilkan pendapatan.

Perhitungannya adalah dengan perkalian jumlah kursi pada pesawat dan jumlah kilometer/mile yang diterbangkan pesawat tersebut

Jadi bila satu pesawat dengan kursi sebanyak 200 buah dan terbang dalam rute berjarak 200 km maka perhitungannya adalah 200x200 = 40.000 ASK/M

Sehingga bila kita menggunakan contoh data pada RPK/M dan ASK/M di atas maka perhitungan Passenger load factor nya adalah 20.000/40.000 = 0.5 kemudian dikalikan 100 untuk mendapatkan nilai persentasenya menjadi 50%.

Semakin tinggi Passenger Load Factor semakin efektif pula penggunaan pesawat pada rute penerbangan, dengan begitu PFL dapat dikatakan sebagai indikator utama bagi maskapai.

Baik Aircraft Utilization maupun Passenger Load Factor akan dapat dipengaruhi oleh faktor lain baik internal maupun eksternal seperti:

1. Pemeliharaan Pesawat

Setiap pesawat akan memiliki X jam terbang pada satu cyle operasional nya, jumlah X ini akan mempengaruhi apa yang dinamakan dengan aircraft availability yang dihitung dengan cara jumlah total hari dalam sebuah periode waktu dikurangi jumlah waktu yang diperlukan pesawat untuk pemeliharaan.

2. Usia Pesawat

Semakin tua pesawat akan lebih banyak membutuhkan jumlah X pada pemeliharaan dan inspeksi dan pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat kesiapan operasional pesawat.

3. Turnaround Time

Pada bandara yang sibuk, waktu untuk loading/unloading bisa berlangsung lebih lama dari jam normal dan berimbas pada keberangkatan dan kedatangan pada penerbangan penerbangan berikutnya dalam satu periode hari atau waktu serta utilisasi pesawat.

Jika kita memasukkan ketiga hal tersebut diatas pada lebih dari satu pesawat atau keseluruhan pesawat atau fleet utilization maka bisa dikatakan secara teori bahwa maskapai dengan armada dengan usia rata rata pesawat pada armadanya tinggi (tua) akan memiliki tingkat utilitas berbeda dengan maskapai dengan usia rata rata rendah (muda) namun ini bisa tergantung dari masing masing maskapai.

Baik aircraft utilization dan passenger load factor tidak memasukkan jumlah uang dalam perhitungannya karena maskapai menggunakan metrics lain, namun kedua metrics ini dapat dikatakan sebagai metrics dasar dari dasar pada sebuah maskapai dalam melihat kemampuan dan kapabilitas maskapai menyediakan kursi penerbangan dan pesawat dalam armadanya pada sebuah periode waktu operasional, baik itu hari, minggu, bulan hingga tahun.

Pada kesimpulannya, maskapai tidak hanya memikirkan antara permintaan dan penawaran saja kursi dalam menjalankan operasinya tetapi juga menyeimbangkan antara passenger load factor dengan aircraft utilization dengan berbagai strategi.

Bila permintaan tinggi namun ketersediaan kursi rendah (penawaran) dapat membuat tinggi tiket, sedangkan tingginya harga tiket dapat mempengaruhi passenger load factor.

Di lain sisi tingkat aircarft availability yang rendah membuat berkurangnya utilisasi pesawat dan fleet keseluruhan serta ketersediaan kursi pada sebuah periode waktu operasional.

Jalan keluarnya terkadang dan umumnya adalah mempertahankan load factor yang dinilai cukup dan dengan harga yang cukup untuk menutupi biaya tetap operasional walau dengan margin sangat kecil.

Tetapi tidak selamanya pula margin keuntungan yang kecil bisa berlangsung konstan bila ada turbulensi baik internal, eksternal maupun seasonal dan lainnya seperti pandemi dan fluktuasi harga aviation fuel.

***

Referensi :

Satu Dua Tiga Empat Lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun