Apakah persaingan tidak sehat, mengingatkan bahwa manusia itu serigala bagi manusia yang lain. Homo homini lupus. Tidak kenal lagi etika, yang penting adalah money. Masa bodoh dengan kepentingan dan keselamatan orang lain ?
Di Jogja, gambaran tentang persaingan tidak sehat terlihat jelas dengan aksi saling sikut antar cafe kopi dengan lapak-lapak kopi.Â
Kemudian menjadi trend saat ini dengan sebutan street coffee. Jalan di kawasan Kotabaru Yogya tergolong tidak begitu ramai oleh lalu lalang kendaraan. Sebab jaraknya pendek-pendek, menjadi semacam pemisah bangunan rumah atau kantor.Â
Mulanya cuma ada satu street coffee, kini sudah ada lima lapak  di kawasan yang sama. Padahal jauh sebelumnya sudah ada beberapa cafe kopi di kawasan Kotabaru Yogya.
Kemana identitas keistimewaan Yogyakarta ? Pernah menyandang sebagai kota pendidikan, lama-kelamaan luntur oleh nafsu mengejar uang atau money dengan kulineran dan mengorbankan etika berjualan.
Mencari penghasilan, menjadi kaya itu tidak salah. Namun mestinya didasari oleh etika. Yogya semestinya menjadi tempat untuk menggodok mental dan kepribadian seseorang untuk arif, bijaksana, berwawasan dan berpengetahuan luas. Sehingga saat mengambil  keputusan mempertimbangkan banyak aspek.
Tetapi bagaimana saat jalan-jalan pagi. Melihat beberapa gelas plastik. Bekas kopi dan beberapa tumpahan kopi yang mengotori kursi taman, trotoar dan tempat publik lainnya.
Apakah kopi atau coffee harus selalu menawarkan kepahitan hidup. Termasuk pahitnya melihat sebagian orang yang tidak memiliki etika. Melihat orang lain meninggalkan kotoran berupa gelas plastik atau kertas. Bekas coffee di kursi, trotoar dan tanamanÂ
Termasuk penjual yang terbiasa membuang sisa teh dan kopi ke jalan, milik pejalan kaki. Sehingga menimbulkan aroma tidak sedap, setiap kali melewati trotoar tersebut.