Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Money, Cafe dan Coffee

25 September 2024   04:04 Diperbarui: 26 September 2024   20:02 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia itu mahluk yang haus akan kepentingan dan kekuasaan. Sehingga berusaha memenuhi kebutuhan atau kepentingannya dengan berbagai cara. Jika perlu mengabaikan moral, etika serta aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Tidak heran, pada akhirnya muncul konflik antara satu orang dengan yang lain atau dengan kelompok lain. Baik sifatnya gesekan kecil sampai yang besar. Dari yang tidak terlihat sampai yang kasat mata. Dari yang kesal sampai keras dan kasar. Melibatkan fisik sehingga harus diselesaikan dengan kekuasaan tertentu atau pengadilan.

Sebutan homini homo lupus, sangat tepat untuk manusia. Dimana sifat manusia tidak ubahnya seperti serigala. Manusia adalah serigala bagi manusia lain. Sebuah gambaran bagaimana manusia memiliki sifat rakus. Ingin memenuhi keinginan dengan cara apapun.

Manakala money atau uang menjadi alat tukar barang dan jasa. Tidak sedikit yang menjadikannya sebagai alat dan sarana untuk menguasai atau mengendalikan orang lain. Uang  menjadi tujuan karena kebermanfaatannya. 

(foto: Pixabay)
(foto: Pixabay)

Dengan uang, orang merasa dapat melakukan apa saja sesuai apa yang dikehendaki. Bagi sebagian orang, memperoleh uang itu mudah. Sementara bagi yang lain, sulitnya bukan main untuk memperoleh selembar money yang berwarna merah.

Tidak heran jika kesibukan kehidupan sehari-hari, hanya diwarnai oleh aktivitas yang mengarah pada usaha memburu uang dan uang. Maka kehidupan ini terasa hambar. 

Tidak ada aktivasi seni budaya, yang dapat mengundang decak kagum bahkan tawa. Jika kegiatan manusia hanya demi uang dan uang. Maka bisa dikata dunia sudah kiamat. 

Orang memburu uang atau money dengan harapan dapat membeli  dunia. Namun apa artinya jika dunia tidak mengenal dirinya karena manusia terlalu sibuk dengan segala mimpi dan angannya.

(foto: swa.co.id)
(foto: swa.co.id)

Manusia terasing dengan nilai-nilai kehidupan menurut ukurannya. Termasuk mengesampingkan etika dan moral serta kewajiban menjaga alam. Tidak mudah mengekploitasi alam. Walau itu dengan alasan demi kesejahteraan manusia melalui kegiatan ekonomi bisnis.

Sayangnya aktivitas bisnis kecil-kecilan sudah mengarah ke sana. Main sikut sana sini. Tidak memperhatikan etika. Apalagi bisnis yang besar.

Membangun kerajaan bisnis tidak mudah. Lihat, saat booming cafe dengan aneka racikan minuman yang menggoda. Orang mencoba kemudian membuat orang lain ingin mendapatkan uang dengan cara cepat.

Resto, ada cafe & lapak kopi buka 24 jam di sini (foto ko in)
Resto, ada cafe & lapak kopi buka 24 jam di sini (foto ko in)

Meniru salah satu cara sukses memperoleh money. Termasuk meniru menu, tata letak dan lokasi jualan. Caranya, dengan membuka cafe yang letaknya tidak berjauhan. Mulanya satu, kemudian yang lain dan terus bertambah dengan yang lain.

Cafe yang muncul pertama dapat tergeser. Kalah dari kerasnya persaingan yang tidak sehat. Jika tidak inovatif dan kreatif.

Harapannya banyak pengunjung, supaya ongkos sewa gedung atau toko yang sudah dikeluarkan menjadi cafe coffee terlihat menarik. Mendatangkan pelanggan supaya untung.

(foto; detik.com)
(foto; detik.com)

Namun apa jadinya jika BEP saja belum sampai, posisi keuangan usaha dalam keadaan tidak laba atau mendapat keuntungan tetapi juga tidak rugi.

Diganggu oleh persaingan yang tidak sehat. Muncul lapak-lapak kopi di trotoar atau tempat parkir motor yang sebenarnya untuk pengunjung cafe. Sehingga muncul istilah street coffee.

Tidak hanya satu. Lapak kopi lain bermunculan dengan motor roda tiga, vespa, bahkan mobil pick up sampai volkswagen tua yang sudah dirubah bentuknya agar terlihat menarik.  

Semua untuk menggiring minat calon pembeli berbelok arah ke tempat yang lapang di pinggir jalan dari pada kedalam cafe. 

Apakah persaingan tidak sehat, mengingatkan bahwa manusia itu serigala bagi manusia yang lain. Homo homini lupus. Tidak kenal lagi etika, yang penting adalah money. Masa bodoh dengan kepentingan dan keselamatan orang lain ?

Depan cafe, muncul street coffee, (foto;koin)
Depan cafe, muncul street coffee, (foto;koin)

Di Jogja, gambaran tentang persaingan tidak sehat terlihat jelas dengan aksi saling sikut antar cafe kopi dengan lapak-lapak kopi. 

Kemudian menjadi trend saat ini dengan sebutan street coffee. Jalan di kawasan Kotabaru Yogya tergolong tidak begitu ramai oleh lalu lalang kendaraan. Sebab jaraknya pendek-pendek, menjadi semacam pemisah bangunan rumah atau kantor. 

Mulanya cuma ada satu street coffee, kini sudah ada lima lapak  di kawasan yang sama. Padahal jauh sebelumnya sudah ada beberapa cafe kopi di kawasan Kotabaru Yogya.

(foto:bisnis.com)
(foto:bisnis.com)

Kemana identitas keistimewaan Yogyakarta ? Pernah menyandang sebagai kota pendidikan, lama-kelamaan luntur oleh nafsu mengejar uang atau money dengan kulineran dan mengorbankan etika berjualan.

Mencari penghasilan, menjadi kaya itu tidak salah. Namun mestinya didasari oleh etika. Yogya semestinya menjadi tempat untuk menggodok mental dan kepribadian seseorang untuk arif, bijaksana, berwawasan dan berpengetahuan luas. Sehingga saat mengambil  keputusan mempertimbangkan banyak aspek.

Tetapi bagaimana saat jalan-jalan pagi. Melihat beberapa gelas plastik. Bekas kopi dan beberapa tumpahan kopi yang mengotori kursi taman, trotoar dan tempat publik lainnya.

Apakah kopi atau coffee harus selalu menawarkan kepahitan hidup. Termasuk pahitnya melihat sebagian orang yang tidak memiliki etika. Melihat orang lain meninggalkan kotoran berupa gelas plastik atau kertas. Bekas coffee di kursi, trotoar dan tanaman 

Termasuk penjual yang terbiasa membuang sisa teh dan kopi ke jalan, milik pejalan kaki. Sehingga menimbulkan aroma tidak sedap, setiap kali melewati trotoar tersebut.

Warung kopi Joss  (foto:ko in)
Warung kopi Joss  (foto:ko in)

Berapa biaya, uang atau money dikeluarkan untuk merawat Yogya, supaya Yogya tetap menarik ? Supaya tidak kotor dan tidak tercium aroma tidak sedap. Berapa dan apa kontribusi penjual kopi ke Yogyakarta ? Terlepas itu kelas resto, cafe dan lapak. Ingat, kontribusi tidak harus berbentuk uang atau money.

Hampir setiap sore dan malam remaja, entah itu pelajar atau mahasiswa tidak sedikit nongkrong di angkringan, cafe dan lapak kopi yang tersebar di kota Yogya. Apakah yang mereka bicarakan, obrolkan atau diskusikan ?

Materi kuliah, film drama Korea dari terlama atau terbaru tayang. Ngobrol tanpa tujuan sambil lihat orang lewat.

Nongkrong atau nangkring di Yogya menjadi berarti jika mahasiswa atau pelajar, mengembalikan tradisi intelektual. Mendiskusikan banyak hal dari masalah sosial seni budaya, politik dan ekonomi. Sekaligus menjadi agent of change demi kesejahteraan dan tatanan negara yang lebih baik.

(ilustrasi: slideshare)
(ilustrasi: slideshare)

Obrolan yang yang melatih nalar untuk melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif. Tidak Hanya debat kusir yang tidak memberi manfaat apapun, seperti kopi. Usai minum ampas dibuang.

Perputaran money atau uang di Yogya memang tidak begitu besar

Contoh, tiba-tiba marak penjual kopi dengan lapaknya, sekitar cafe. Apakah hal itu sebagian usaha mahasiswa untuk mengatasi kesulitan ekonomi atau mencari tambahan uang saku? Jika benar mengapa mengesampingkan etika. Apakah bisnis itu memang tidak memiliki etika ?

Mungkinkah hal itu merupakan kegiatan musiman atau tren sesaat seperti banyak yang menjual minuman boba pada waktu itu. Hingga ada perusahaan yang memproduksi tepung tapioka, salah satu bahan baku untuk membuat boba. Berani mencatatkan perusahaannya di Bursa Efek Jakarta dengan kode saham BOBA

(foto:tangkapan layar RTI 23/9)
(foto:tangkapan layar RTI 23/9)

Perusahaan ini go publik dengan harga Rp 280 pada bulan November 2021. Harga sempat mengalami kenaikan menyentuh harga sekitaran Rp 350 di akhir tahun 2021. 

Namun di tahun 2022 sampai sekarang (23/9/24) harga saham ini terus mengalami penurunan dan tidak pernah mencapai harga Rp 250.

Apakah tren penjualan kopi, di cafe atau di lapak bongkar pasang. Nasibnya seperti boba ? Hukum ekonomi selalu berlaku jika menyangkut money.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun