Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Andai Kartini Diberi Kertas dan Pena atau Smartphone

8 April 2021   08:13 Diperbarui: 8 April 2021   08:20 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang bidan dari sebuah Puskesmas atau fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat pertama, saat melakukan pemeriksaan keliling dalam rangka pelaksanaan Posyandu rutin, pernah bercerita jika di desa saya angka kehamilan pada remaja tergolong cukup tinggi. Artinya terdapat kasus kehamilan tidak diinginkan atau hamil diluar pernikahan.

Informasi membuat saya tercengang dan membelalakkan mata. Bagaimana tidak, rata-rata perempuan di desa saya boleh dikata tingkat pendidikan mereka sampai Sekolah Menengah Atas. Baik sekolah umum atau kejuruan dan sebagian lagi masih kuliah di semester awal. 

Pemahaman atau pengetahuan tentang alat reproduksi serta pendidikan seks. Boleh jadi mereka pernah mendapatkan. Seberapa besar memahami dan mengerti. Itu yang patut dipertanyakan jika sampai angka kehamilan remaja atau hamil diluar nikah tinggi.

Berdasar catatan Dinas Kesehatan Sleman sebagaimana dikutip Radar Jogja, pada bulan dua tahun ini, angka kehamilan tidak diinginkan pada remaja meningkat sebanyak 75 kasus. Totalnya 157 kasus Maret sampai Desember 2020. Sisanya kehamilan dari pasangan yang sudah menikah.

(grafis: icon-icons.com)
(grafis: icon-icons.com)
Apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita ? Khususnya perempuan. Jika hal ini dikembalikan kepada institusi pendidikan, sekolah akan memberi alasan, waktu di luar sekolah lebih banyak dibandingkan dengan sekolah. Dengan demikian hal ini diluar tanggung jawab pihak sekolah. Keluarga mestinya lebih memperhatikan anak atau remaja di luar jam sekolah. 

Saling lempar tanggung jawab sudah menjadi hal klasik dalam kehidupan sosial kita. Keluarga juga tidak kalah repot dalam upaya memberikan pendidikan yang berkualitas. Memilih sekolah atau lembaga pendidikan yang menurut mereka baik.

Tengok saja tidak sedikit orang tua yang kewalahan dan tidak cukup kesabaran dalam membantu anak-anak belajar secara online, selama masa pandemi Covid-19. Tidak sedikit orang tua yang merasa beban tanggung jawabnya bertambah, khususnya terkait pendidikan. Apalagi jika orang tua tidak mengetahui dan mendalami ilmu pendidikan dan pengajaran.

(foto:tirto.id)
(foto:tirto.id)
Demikian pula sebagian orang tua yang tidak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu dengan anak-anak mereka saat jam-jam sekolah. Bagaimana sekolah menjaga dan mengawasi siswanya selama proses pembelajaran berlangsung ? Sekolah tidak dapat lepas tanggung jawab begitu saja dengan beralasan waktu mengawasi pelajar terbatas dan lebih banyak dengan keluarga. 

Usai aktivitas pembelajaran di sekolah, ada kesan sekolahan lepas tanggung jawab. Sementara jarang ada komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua terkait pendidikan siswa bagaimana pendidikan dan pelajaran dari sekolah dapat dipraktikkan di rumah dan lingkungan sosial siswa.

Menengok kembali kasus hamil sebelum nikah di kalangan remaja, pihak perempuan biasanya yang lebih berat menanggung beban. Baik beban sosial, ekonomi dan fisik. Jangan cepat-cepat menyalahkan pihak perempuan jika tidak ingin kena marah para aktivis perempuan, yang peduli terkait masalah reproduksi dan kesetaraan gender.

(foto:mamachoice.id)
(foto:mamachoice.id)
Jika kasus kehamilan tidak diinginkan atau hamil sebelum nikah tinggi, ini menunjukkan ada yang salah dalam pola pemberian pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak perempuan. Setidaknya di wilayah desa saya. Bagaimana tidak mengejutkan, tetangga laki-laki yang baru menikah dengan seorang perempuan lain desa. Tiga bulan kemudian, istrinya sudah melahirkan.

Tetangga perempuan terlihat menggendong bayi yang baru berusia beberapa minggu. Saat saya bertanya, "Anak siapa ?". Tetangga menyebutkan anak dari anak perempuannya, alias cucunya.

"Loh, kapan nikah?" Tanya saya dalam hati. Nyaris terlontar dari mulut, yang tidak dapat menyembunyikan keterkejutan. Apakah ini gara-gara pandemi Covid-19, semua informasi jadi terlambat sampai ? Apalagi hampir satu tahun lebih tidak ada pertemuan atau kumpulan di RT (Rukun Tetangga) dan jarang melihat anak tetangga tersebut.

(grafis: dosensosiologi.com)
(grafis: dosensosiologi.com)
Padahal yang bersangkutan masih kuliah. Apakah benar dugaan saya, kelahiran anak tetangga ini merupakan kehamilan tidak diinginkan atau tidak direncanakan akibat pergaulan yang kebablasan ?

Saat bertemu dengan ayahnya dalam suasana yang cair. Rasa penasaran saya tidak tertahan, "Wah, sudah jadi kakek." Kemudian dibalas dengan kata-kata yang nadanya antara kecewa dan tidak dapat berbuat apa-apa, "Yo ngonolah. Piye maneh." Artinya, "Ya begitulah, mau gimana lagi."

Bukan hanya dua kasus tersebut yang membuktikan bahwa pernyataan bidan dan catatan Dinas Kesehatan Sleman itu benar. Sebelumnya, beberapa kasus serupa juga telah terjadi.

(grafis: anggiagistia.com)
(grafis: anggiagistia.com)
Dimana peran pendidikan terhadap perempuan? Rasanya akan ada pihak yang merasa sedikit terusik dengan pertanyaan tersebut. Bukankah peran laki-laki juga nyata disini. Kurang fair jika hanya menuntut ketangguhan perempuan agar tidak sampai terjadi hamil sebelum nikah atau kehamilan tidak direncanakan. Bahasa halus untuk menutupi MBA atau Married By Accident. 

Sebagian orang berpendapat, hamil sebelum menikah tidak akan terjadi jika remaja perempuan memiliki sikap tegas untuk menolak, melakukan hubungan seks sebelum menikah.

Ini terkesan tanggung jawab dan beban tertuju hanya pada perempuan. Padahal tidak tertutup kemungkinan pihak laki-laki yang selalu berusaha dan terus mencoba meruntuhkan pertahanan remaja putri. Bekal pengetahuan dan pendidikan perempuan, akhirnya bobol jika godaan bertubi-tubi datang.  Mengapa tidak menyalahkan laki-laki yang terus menerus berusaha meruntuhkan pertahanan perempuan atau remaja putri. Atau remaja pria di desa saya termasuk golongan laki-laki tangguh ?

(foto: digtara.com)
(foto: digtara.com)
Lalu bagaimana pendidikan terhadap perempuan semestinya ? Tetapi jawaban tersebut  sudah terbukti bahwa pola pendidikan terhadap perempuan, selama ini memang tangguh. Manakala mereka sudah memiliki anak dan berkeluarga. Mereka sigap membantu mencari tambahan penghasilan ekonomi keluarga atau suami.

Untuk persoalan yang satu itu bagaimana? Sebab apa yang pernah dikatakan bidan posyandu yang kerap datang ke desa saya itu benar. Walau sudah disampaikan beberapa tahun lalu. Tetap saja ada kasus MBA atau hamil sebelum menikah di desa saya. Duh, kreatif bener. Tiga bulan setelah nikah, sudah punya anak. Rupanya, sudah berkembang budaya nyicil.

Andai Kartini diberi pena dan kertas atau gadget seperti smartphone "di sana". Mungkin berlembar-lembar surat Kartini masih terkirim sampai saat ini. Dan kita akan sibuk scroll ke atas atau swipe ke kanan layar handphone kita. Atau lebih ekstrim cari menu delete, untuk menghapus chat atau tulisan-tulisannya yang di share.

(foto:sisternet.co.id)
(foto:sisternet.co.id)
Sebaik dan sebagus pendidikan secara umum atau khusus untuk perempuan, menjadi tidak berarti jika tanpa aplikasi. Dan menurut saya pendidikan yang dapat diaplikasikan itu, yang terbaik untuk perempuan.

Bagaimana jika tetangga saya berkilah, "La, itukhan praktek atau aplikasi dari pendidikan reproduksi." 

"Abot-abot"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun