Tulisan yang terdiri dari susunan huruf, kata dan kalimat dari mesin ketik atau tulisan tangan lewat pena. Bagaikan pedang bermata dua. Menginspirasi banyak orang, khususnya anak-anak negeri yang terjajah.Â
Di sisi lain tulisan itu membuat berang pemerintah kolonial Belanda meradang. Sebab tulisan tersebut terbit di surat kabar De Expres yang mendapat perhatian pada eranya.
Lalu bagaimana dengan generasi sekarang yang gemar mengetik atau menulis di handphone dalam kesunyian tanpa suara. Kemudian mengabarkan ke media sosial. Apakah mereka menginspirasi ? Atau sebaliknya mengabarkan tulisan yang tidak jelas sumber informasi, kebenaran dan tujuannya.
Saran saya, berkunjunglah ke museum Dewantara Kirti Griya yang berada di Jl. Tamansiswa 31 Yogyakarta. Lihatlah mesin milik bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, suara "Tek …, tek, tek, tek, tek. Tek, tek, tek, tek …." Pernah mengisi malam-malam yang telah larut. Berlomba dengan suara jangkrik dan hewan malam lainnya.
Di museum ini disediakan juga mesin ketik bekas, sebagai model agar pengunjung yang belum pernah mendengar dan merasakan membuat bunyi "tek, tek, tek". Supaya memiliki pengalaman dan sensasi tersendiri saat mengetik di mesin ketik manual. Apalagi jika membayangkan tulisannya itu kemudian dibaca banyak orang.
Pendopo tersebut masih sering digunakan untuk aktivitas pendidikan seperti latihan tari siswa di komplek pendidikan Tamansiswa.Â
Namun jangan terkejut jika siang hari terdengar suara "Tek, tek, tek" mesin ketik dari arah museum yang dulu menjadi tempat tinggal keluarga Ki Hadjar Dewantara.Â
Itu menandakan bahwa ada wisatawan yang berkunjung ke museum tersebut dan mencoba mengetik dari mesin ketik. Suara tersebut seolah menyambungkan kembali aktivitas mengetik kakek Ki Hadjar Dewantara dengan cucu-cucunya di zaman milenial ini