Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Gara-gara Dua Nasi Bungkus

5 Mei 2020   16:10 Diperbarui: 5 Mei 2020   16:07 2836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara azan magrib sudah dua tiga menit berlalu. Nasi bungkus dari para donatur yang terkumpul di Komunitas Kobar Peduli dan harus dibagi-bagikan. Yang saya bawa tinggal dua bungkus. Jalan Palagan Tentara Pelajar sudah mulai sepi, semakin ke Utara jalan semakin naik dan semakin sepi dari lalu lalang kendaraan. Apalagi sudah waktunya berbuka puasa.

Mendekat persimpangan Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman nampak seorang bapak yang usia mungkin sudah lebih 60 tahun. Menuntun sepedanya. Pikiran ini langsung menebak bapak itu tidak mampu menaiki sepedanya karena jalanan menanjak. Memang tidak begitu tajam sudut ke miringannya. 

Untuk usia seperti bapak tersebut jelas akan menguras tenaga dan butuh nafas panjang. Sebab setiap kali melihat para gores, penyepeda yang setiap akhir pekan menempuh jalan tersebut saja, terlihat muka-muka kelelahan. Apalagi bapak tersebut yang sudah tua apalagi berdirinya sudah tidak tegak.

Dengan sedikit membungkuk bapak itu menuntun sepeda jengkinya. Jenis sepeda yang populer di tahun 80an. Apalagi lampu penerangan semakin minim di jalan yang berjarak sekitar 15 km dari puncak Merapi.

Dalam hati, diri ini bertanya dalam hati. Saat jalan sepi, orang-orang sedang berbuka puasa karena azan magrib sudah berlalu beberapa menit lalu. Mengapa bapak ini masih berjalan sambil menuntun sepedanya di jalan raya ? Langsung terpikir bapak ini pasti belum makan atau buka puasa. Kalau saya memang tidak puasa, wajar jika masih ada di jalan.

Jl.Palagan TP saat siang (foto:ko in)
Jl.Palagan TP saat siang (foto:ko in)
Saya mendahuluinya, kemudian berhenti tidak jauh di depannya. Dengan perhitungan saat memberikan nasi bungkus saya tidak perlu berjalan jauh ke arah bapak tersebut. 

Walau dalam hati sudah menebak bapak ini belum buka puasa. Sebagai basa-basi saya menanyakan ke bapak tersebut.

"Bapak sudah buka...?" tanya saya.

"Belum..." jawabnya singkat. Kemudian saya sodorkan dua nasi bungkus. Saya yakin saat mendekatinya, dia tidak melihat saya membawa nasi bungkus. Karena jalannya banyak menunduk ke bawah melihat jalan.

Alhamdulillah

Sambil menyodorkan dua bungkus nasi bungkus yang saya bawa dari donatur, saya menyampaikan kalimat singkat. "Ini untuk buka, pak."

"Alhamdulillah," jawabnya pelan tapi tegas dan nada suaranya seperti mengandung rasa syukur kepada Sang Kasih. Sambil menerima dan melatakkan ke sebuah tempat. Entah keranjang atau tas kain yang di letakkan di depan stang sepedanya karena saya buru-buru untuk kembali ke motor supaya masih sempat jalan karena lampu pengatur lalu lintas masih menyala hijau.

Rupanya warna lampu berubah merah dan saya mesti berhenti. Saat itu saya melihat bapak tersebut masih berjalan menuntun sepedanya melewati persimpangan. Dari jauh, saya lihat bapak itu kemudian menepi di teras atau emperan bengkel atau toko yang tutup. Gelap tidak ada penerangan lampu. Tapi ada bangku yang cukup untuk duduk dua orang.

Bapak itu menyandarkan sepedanya kemudian duduk dan terlihat samar-samar seperti membuka bungkusan berwarna coklat. Karena ada kendaraan melintas dan sinar lampunya, sesaat menerangi bapak yang duduk sambil membuka salah satu nasi bungkus.

Melihat hal itu, mata jadi berkaca-kaca dan warna merah lampu pengatur lalu lintas menjadi pudar seperti kena air. Apalagi melihat samar-samar apa tengah di lakukan bapak tadi dengan nasi bungkus dari donatur-donatur yang baik hati.

Beruntung nyala lampu segera berubah berwarna hijau sehingga air mata haru tidak jadi jatuh. Saat melintasinya saya sengaja sedikit menengok ke kiri, ke emperan toko atau bengkel yang gelap.Rasanya hati ini seperti tersenyum dan penuh dengan perasaan gembira.

Sore itu memberi pelajaran bagi saya. Saya bukan donatur yang memberi nasi bungkus kepada orang-orang yang membutuhkan baik saat pendemi Corona Covid-19 atau karena ingin berbagi sukur di bulan puasa. Saya hanya membantu membagi. Tidak lebih dari itu.

Jujur tulisan ini lama selesai karena harus berhenti berkali-kali. Setiap kali kata diketik di layar tablet. Kelopak mata seperti penuh dengan air mata yang siap jatuh. Sehingga harus meletakkan tablet di meja atau di kursi. Meninggalkan barang sejenak, berjalan ke belakang rumah melihat pohon jambu. Atau berjalan ke teras sambil melihat ayam tetangga yang main ke halaman depan rumah.

Berbahagialah para Donatur

Setiapkali berupaya menyelesaikan tulisan ini selalu teringat ucap syukur bapak tersebut dengan nada yang sulit digambarkan. Ada getar dan terimakasih atau syukur kepada Allah, Sang Kasih yang begitu dalam. Mengingat moment tersebut selalu membuat merinding, bahwa Tuhan begitu baik. 

Para donatur, pasti senang andai peristiwa sederhana dan hanya berlangsung beberapa menit ini. Bisa dilihat di sebuah video bahwa donasi anda sangat berarti bagi seseorang. Tapi sayang di perempatan tersebut belum ada CVTVnya.

Ah, saya kembali harus menghentikan tulisan ini sejenak agar tidak ada yang melihat kelopak mata saya dari tadi selalu mudah di genangi air.

Sekali lagi, saya bukan donatur. Saya hanya membagi sejumlah nasi bungkus dari para donatur. Terimakasih para donatur memberi kesempatan saya untuk membagikan hal baik dari anda, dan ikut merasakan indahnya berbagi.

Siapa sangka gara-gara dua nasi bungkus, mampu membuat merinding dan membuat air menggenang di kelopak mata. Tuhan, terimakasih.
 
Tidak sedikit orang yang sungguh-sungguh lapar karena kurang perhatian dari kita. Tetap diam dan berusaha dalam diam. Tidak "menjual" ketidak berdayaan supaya mendapatkan belas kasih tetapi menjalani dengan kepasrahan yang dinamis. Mungkin karena melihat tidak sedikit orang yang juga "lapar".

Admin Kompasiana menyebutnya lapar mata. Seperti lapar untuk memenuhi keinginan nafsu bukan pada kebutuhan. Mungkin seperti itu maksudnya. Godaan muncul setelah menahan segala bentuk nafsu. Godaan yang mesti dijauhi, salah satunya untuk mengambil sebanyak-banyaknya yang bukan hak milik kita. Godaan muncul setelah menahan "lapar". Lapar terhadap apapun termasuk kekuasan.

Godaan untuk menimbun dan menyimpan. Lebih baik berjamur dan rusak kemudian dibuang, daripada dimakan dan dimanfaatkan oleh orang lain yang membutuhkan. Barangkali saat ini kita sedang dipaksa belajar untuk rela berbagi lewat wabah Corona Covid-19 dan bulan puasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun