Hubungan konsumen produsen merupakan hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Semestinya keduanya saling menghormati dan menghargai.Â
Namun tidak jarang salah satu pihak berusaha menguasai agar memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya lewat kuasa yang dimiliki.
Kuasa dari segi jumlah, modal atau pengaruh. Tidak menghargai mitranya. Entah sebagai produsen atau konsumen. Tetapi acap kali yang mendapat perlakuan kurang adil adalah konsumen, pembeli atau pengguna jasa.
Dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen, kita adalah konsumen atas berbagai produk barang dan jasa. Sebelum mengeluarkan sejumlah uang sebagai ganti alat tukar mempunyai hak untuk memilih. Diantaranya hak diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Tetapi pengalaman bercerita lain. Dari membeli soto di salah satu warung karena ingin mengetahui bagaimana rasa soto dari warung tersebut dengan menikmati di rumah. Minta dibungkus. Namun jawaban sungguh mengagetkan. "Tidak bisa".
Pengalaman kurang menyenangkan memutuskan untuk tidak pernah mampir ke warung tersebut. Beberapa tahun kemudian saya iseng mampir ke warung tersebut dan bertanya, ke salah satu pelayan, pemilik atau penjual saya tidak tahu pasti. Boleh membeli soto dengan cara dibungkus sambil menceritakan pengalaman tidak menyenangkan waktu itu.
Kali ini memperoleh jawaban, boleh dibungkus tetapi dengan nada pembelaan diri akan kejadian beberapa waktu lalu. Tidak ada sepatah kata ucapan maaf karena pernah mengecewakan. Beruntung saya hanya mampir. Keinginan membeli pun langsung terbang jauh.
Apakah saya sedang menerapkan hak saya sebagaimana tercantum dalam UU Perlindungan Konsumen dalam pasal 4 butir "b", yang menyebutkan hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Ataukah saat itu sebenarnya saya sedang mengalami layanan yang diskriminatif ? Diperlakukan atau dilayani tidak secara nyaman ? Pengalaman tersebut membuat saya harus berpikir seribu kali jika akan ke warung soto tersebut untuk ketiga kalinya.
Apakah saya merasa menjadi raja sebagaimana pepatah yang menyebutkan, pembeli adalah raja. Namun bagaimana jika produsen atau penjual soto berpikiran dan mengatakan pada dirinya sendiri atau pegawainya. Masih ada pembeli lainnya selain orang itu, yaitu saya.
Bagi sebagian produsen kehilangan satu konsumen atau calon konsumen mungkin bukan masalah. Toh, tiap hari masih ada pembeli-pembeli lainnya. Pembeli itu raja ?
Dalam hati produsen atau penjual mungkin berkata, "Omong kosong, nyatanya uangmu aku keruk secara halus atau terang-terangan. Engkau bukan raja. Masih ada pembeli lain yang datang, antri. Bahkan rela menunggu berhari-hari untuk memperoleh produk. Mau apa?"
Bukan masalah besar bagi produsen atau penjual kehilangan satu pembeli seperti saya.
Bukan masalah besar juga bagi saya tidak menjadi raja. Tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya sebagai pembeli, yang membawa uang. Yang sebenarnya bersedia membayar lebih jika memberi jasa atau layanan yang baik dan memuaskan.
Sebagian orang mungkin berpikir dan berpendapat. Mengapa mesti repot dengan soto yang harganya tidak sampai Rp 15 ribu. Atau ada yang berpikir mengapa repot-repot meminta hak sebagai konsumen kepada penjual soto. Hitung-hitung beramal ke penjualnya.
Namun bagaimana jika barang atau jasa harga satuannya berkisar antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta bahkan lebih. Seperti harga untuk satu unit sepeda motor. Apakah tidak jadi masalah manakala pembeli itu bukan raja ? Manakala mengetahui motor yang dibeli memiliki kekurangan atau masalah. Dari mesin atau yang lain di motor barunya.
Apalagi jika produsen terkesan tidak memberikan solusi cepat terkait kekurangan produk yang dijualnya, saat komplain atau keluhan sudah disampaikan. Cenderung meremehkan keluhan konsumen dengan berbagai cara.
Atau saat menelpon bagian keluhan konsumen, petugas menjawab dengan kata-kata atau ucapan yang standar. Bahkan cenderung menjadi seperti mesin penjawab yang urut, runut dan rapi. Terkesan tidak memberi kesempatan kita bicara, penerima telepon jelas-jelas manusia, ada jeda untuk menarik nafas yang terdengar di handphone atau telepon.
Padahal barang yang dibeli tidak sesuai dengan pemenuhan hak konsumen yang paling dasar sebagaimana tercantum dalam UU Perlindungan Konsumen pasal 4 butir b.
Tidak sedikit penjual atau penyedia jasa memanfaatkan kelemahan konsumen yang kurang teliti saat membeli atau menggunakan jasa. Salah satunya dengan membuat klausula atau perjanjian yang melemahkan posisi konsumen dan melanggar UU Perlindungan Konsumen.
Untuk mendapatkan hak yang sudah diatur dalam UU, konsumen harus repot memperjuangkannya, tak jarang kesabaran habis. Diombang-ambingkan ke sana ke mari, lewat berbagai alasan yang memojokkan konsumen. Sampai mendapat tuduhan atau sangkaan pencernaan nama baik.
Belum lagi teknik berkilah yang kerap diterapkan produsen atau penjual dengan alasan konsumen telah melakukan berbagai kesalah dalam menggunakan barang. Tidak sesuai dalam buku petunjuk penggunaan.
Belum lagi teknik mengulur waktu, supaya konsumen bosan dengan sendirinya karena harus sering bolak-balik ke dealer. Saat mengurus komplain, sehingga aktivitas sehari-hari terganggu dan tidak jelas kapan ditemukan solusi terhadap barang yang sudah dibeli.
Dalam UU Perlindungan Konsumen mendapat bantuan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sesuai tercantum dalam pasal 44.
Namun tidak jarang penjual, penyedia jasa dirugikan oleh perilaku sebagian konsumen yang menunjukkan sifat ingin menang sendiri, dengan alasan sudah mengeluarkan sejumlah uang. Sehingga menuntut pelayanan yang jauh melebihi nilai tukar barang atau jasa yang dibayarnya atau yang telah diatur dalam UU.
Konsumen seperti itu bukan raja, yang cari menang sendiri. Produsen atau penjual juga bukan raja yang boleh mencari untung besar dengan merugikan konsumen. Hubungan konsumen produsen bukan soal menang kalah seperti orang "suits" jari.
Jika hubungan produsen konsumen masih berasa kekuasaan. Maka tidak ada kata lain selain boikot. Tidak perlu berteriak lantang tapi lakukan. Tidak lagi mengunjungi warung soto yang sudah mengecewakan.
Tidak lagi melihat siaran televisi dari salah satu chanel atau saluran yang tidak berimbang dalam menyampaikan informasi, mengesampingkan etika atau kepatutan dan rasa kemanusiaan.
Tidak lagi membeli motor merek tertentu yang meremehkan dan tidak memperhatikan hak konsumen. Baru diberi solusi oleh produsen atau dealer setelah menyampaikan pengalaman kurang menyenangkan dan tidak nyaman itu, akan ditulis di media. Pembeli memang bukan raja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H