Hanya 25 persen yang melapor
Pengalaman itu mengingatkan apa yang disampaikan ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai di Yogya, akhir Oktober. "Dari sekian ribu catatan kejahatan yang terjadi, hanya 25 persen yang melaporkan ke penegak hukum karena korban banyak memilih diam. Jika lapor, korban takut akan dapat intimidasi atau serangan balik lain."
Bayangkan bagaimana dengan orang melakukan kesalahan atau kejahatan, skala dan kualitas pelanggaran hukumnya lebih besar. Berusaha menutupi kesalahannya manakala saksi atau korban, menuntut keadilan.
Bukan hanya intimidasi atau ancaman. Tidak tertutup kemungkinan korban atau saksi "dihilangkan" supaya pelaku merasa "aman". Orang cenderung menutupi kesalahan dengan menghilangkan saksi atau korbannya.
Menyadari pentingnya saksi dan upaya penegakkan hukum secara transparan dan berkeadilan. Negara membentuk LPSK pada 8 Agustus 2008 sebagai mandat dari UU no 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tugas LPSK memberi jaminan keamanan kepada para saksi atau korban tindak kejahatan. Bukan hanya fisik tetapi juga pendampingan hukum, menyediakan rumah penampungan atau tempat tinggal sementara. Bahkan membiayai pengobatan saksi atau korban dari sakit akibat tindak kejahatan oleh pelaku atau kelompok pelaku.
Tujuannya agar korban atau saksi dapat memberikan keterangan kepada polisi dan bersaksi di pengadilan supaya hukum dapat ditegakkan.
Serangan balik
Jumlah orang yang meminta perlindungan dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Kenaikan itu jika boleh diterjemahkan artinya masyarakat mempercayai tugas dan kinerja LPSK.