Jika tetangga atau warga satu desa menemukan batu terpendam di sawah-sawah. Petani biasanya menghubunginya untuk melihat dan mengambilnya. Karena batu tersebut sering merusak alat bajak tradisional atau traktor.
Guna memastikan batu tersebut layak atau tidak sebagai bahan pembuatan kijing atau nisan. Purwantoro melakukan pengecekan terhadap batu itu. Jika dirasa layak dan memenuhi kualifikasi, batu diambil dengan cara menggali tanah sekitar sawah. Untuk memudahkan pengambilan batu.Â
Walau demikian tidak jarang Purwantoro, menemukan batu yang nampak ulet tetapi setelah dibawa ke bengkel kerja dan dipahat beberapa centimeter. Batu tersebut keras dan mudah pecah.
Ketrampilan membuat nisan atau kijing klasik dengan pola ukiran atau pahatan. Diperolehnya secara turun menurun dari kakek dan ayahnya. Kakeknya dikenal dengan sebutan mbah Sastro. Seorang pembuat gamelan yang mempunyai pekerjaan sampingan membuat batu kijing atau nisan.Â
"Usaha sampingan tersebut ternyata menguntungkan sehingga simbah mengajak tetangga untuk bekerja dengan simbah. Sekaligus mengajarkan bagaimana membuat batu nisan atau kijing," tutur Purwantoro yang akrab dipanggil mas Pur.
Beberapa diantara mereka berhasil membuka usaha yang sejenis. Tetapi tidak sedikit juga yang gagal.Â
Boidi meneruskan tradisi keluarga dengan berbagi ilmu dan pengalaman dalam membuat batu nisan dari batu alam asli ke tetangga dan kenalan.Â
"Bapak sebenarnya tukang pandai besi yang biasa membuat benda-benda tajam seperti arit dan pisau. Tapi karena usaha sampingan dirasa lebih memberikan hasil maka ditekuni," jelas Purwantoro sambil membuat pola di batu nisan yang masih polos.