Alam memberikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dari yang dapat dimanfaatkan secara langsung sampai yang tidak secara langsung. Dimodifikasi, diolah sampai yang harus dimasak terlebih dahulu.Â
Alam ada supaya manusia hidup sejahtera. Batu besar di sungai, bagi sebagian orang mungkin tidak ada manfaatnya. Namun ada yang melihat sebagai sesuatu yang menakjubkan, bahkan tidak sedikit yang memandangnya secara mistis.Â
Bagi beberapa warga yang tinggal di tepi sungai Boyong, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Batu dilihat sebagai sumber rejeki.  Batu dengan ukuran besar di sungai, atau yang tergeletak begitu saja di tengah sawah, kebun dan halaman rumah. Dapat menjadi lembaran  uang manakala sudah dipecah-pecah atau dibentuk menjadi benda yang lebih fungsional.Â
Waktu yang dipergunakan untuk memecah batu butuh waktu delapan jam. Hanya dengan alat sederhana seperti cuplik dan palu. Batu-batu menjadi  pondasi rumah. Atau dipecah lebih kecil lagi sesuai kebutuhan. Untuk keperluan membangun gedung, membuat jalan, atau landasan pacu pesawat terbang dan sebagainya.Â
Namun jangan kaget jika batu-batu besar dan keras, berserakan di sungai yang berasal dari muntahan gunung Merapi. Dimata Ag. Purwantoro, batu-batu tersebut tidak dapat dimanfaatkan karena usia batu tergolong muda, tidak dapat diukir atau dibentuk.Â
"Tidak ulet dan mudah pecah", jelasnya saat ditemui di rumah sekaligus bengkel kerjanya di dusun Glondong, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogya. Kira-kira 200 meter dari sungai Boyong. Dulu sungai itu menyediakan banyak batu andesit. Berwarna hitam, ulet dan tidak mudah pecah. Batu tersebut merupakan bahan utama untuk membuat candi.
Purwantoro menceritakan semasa kecilnya, di sawah-sawah dekat rumahnya masih sering ditemukan batu-batu andesit yang sudah terpendam dalam tanah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Batu ini menjadi bahan utama dalam membuat batu kijing atau batu nisan model klasik. Karena sifatnya yang ulet, mudah dibentuk dan tidak mudah pecah.
Diantara kesibukannya mengukir kijing atau nisan, Purwantoro mengeluh saat ini sulit untuk menemukan batu hitam yang ulet. Kebanyakan yang ada di sungai batu yang keras dan mudah pecah.Â
Jika tetangga atau warga satu desa menemukan batu terpendam di sawah-sawah. Petani biasanya menghubunginya untuk melihat dan mengambilnya. Karena batu tersebut sering merusak alat bajak tradisional atau traktor.
Guna memastikan batu tersebut layak atau tidak sebagai bahan pembuatan kijing atau nisan. Purwantoro melakukan pengecekan terhadap batu itu. Jika dirasa layak dan memenuhi kualifikasi, batu diambil dengan cara menggali tanah sekitar sawah. Untuk memudahkan pengambilan batu.Â
Walau demikian tidak jarang Purwantoro, menemukan batu yang nampak ulet tetapi setelah dibawa ke bengkel kerja dan dipahat beberapa centimeter. Batu tersebut keras dan mudah pecah.
Ketrampilan membuat nisan atau kijing klasik dengan pola ukiran atau pahatan. Diperolehnya secara turun menurun dari kakek dan ayahnya. Kakeknya dikenal dengan sebutan mbah Sastro. Seorang pembuat gamelan yang mempunyai pekerjaan sampingan membuat batu kijing atau nisan.Â
"Usaha sampingan tersebut ternyata menguntungkan sehingga simbah mengajak tetangga untuk bekerja dengan simbah. Sekaligus mengajarkan bagaimana membuat batu nisan atau kijing," tutur Purwantoro yang akrab dipanggil mas Pur.
Beberapa diantara mereka berhasil membuka usaha yang sejenis. Tetapi tidak sedikit juga yang gagal.Â
Boidi meneruskan tradisi keluarga dengan berbagi ilmu dan pengalaman dalam membuat batu nisan dari batu alam asli ke tetangga dan kenalan.Â
"Bapak sebenarnya tukang pandai besi yang biasa membuat benda-benda tajam seperti arit dan pisau. Tapi karena usaha sampingan dirasa lebih memberikan hasil maka ditekuni," jelas Purwantoro sambil membuat pola di batu nisan yang masih polos.
Dan salah satu anak tetangga dimana bapaknya pernah belajar bagaimana membuat nisan dari mbah Sastro. Anak itu pernah belajar kepada cucu mbah Sastro, Ag. Purwantoro. Ada kesinambungan dan nilai filosofi pentingnya berbagi dan memberi ilmu atau pengalaman. Proses belajar dilakukan secara turun menurun tanpa memandang adanya hubungan kekerabatan dan tingkat sosial. Â
"Murid" Purwantoro kini membuka usaha yang sama tetapi mengkhususkan pembuatan nisan dari bahan keramik atau marmer. Lokasinya tidak jauh dari rumah Ag. Purwantoro kira-kira satu kilometer jauhnya. Masih dalam satu dusun atau pedukuhan.Â
Ketika disinggung apakah tidak merasa khawatir takut mendapat saingan dan mengurangi pasar penjualan nisan klasik. "Nggak papa....., lebih baik maju bersama," jawabnya singkat dengan nada datar tanpa emosi. Sikap khas orang Jawa yang nrimo bukan menunjukkan ketidak mampuan namun lebih pada kemampuan mengolah sikap untuk mencapai kearifan.
Sejahtera bersama, Â istilah mas Pur. Ini menggambarkan bagaimana etos kerja cucu dari mbah Sastro mengedepankan sikap berbagi, menjalankan keseimbangan hidup dalam tataran praksis bukan sekedar teori atau retoris.
Hidup dengan alam. Bagaimana cara hidup berdampingan dengan gunung Merapi. Adakalanya nampak ramah tetapi saat yang lain nampak seperti kakek tua yang pemarah.Â
Lima orang tenaga kerja berasal dari desa Cangkringan kini ikut membantu dalam menjalankan usaha membuat Nisan yang mulai ditekuni Purwantoro sekitar dua puluh empat tahun lalu.
Tanpa terasa ngobrol bersama mas Pur, tangannya terus bergerak mengukir batu. Batu yang nampak polos pada awalnya kini ada ukiran bentuk bunga. Purwantoro menjelaskan motif ukiran namanya lung-lungan. Motif yang cukup digemari pemesan selain motif ombak banyu ceplok .
Menurut pengakuannya, sambil membuat pola pada batu dengan jangka dan penggaris besi. Usahanya sempat sepi karena di beberapa makam melarang pemasangan batu nisan atau kijing. Namun larangan tersebut sepertinya agak longgar. Akhir-akhir ini permintaan pembuatan dan pemasangan nisan atau kijing meningkat.
Batu nisan dengan ukuran satu meter, beratnya mencapai sekitar 120 kg. Dijual dengan harga jual Rp 1,5 juta. Jika tempatnya diluar jangkauan atau cukup jauh maka dikenakan biaya transpotasi pengiriman.
Untuk yang besar dengan ukuran dua meter, jangan tanya soal berat. Bisa 3 sampai 5 kali lebih beratnya dari yang biasa. Bayangkan sendiri bagaimana mengangkutnya. Maka harganya jauh lebih mahal  bisa mencapai Rp 12 juta.Â
Maka tidak heran jika bengkel kerja Purwantoro dan beberapa pekerjanya pindah ke tengah sawah atau ke sungai. Karena batu andesit yang dimaksud masih berada di lokasi semula. Sawah atau di tengah sungai. Â
Salah satu solusi bijak untuk efisiensi serta menekan harga. Purwantoro tidak keberatan karena menurutnya hidup ini harus berbagi. Seperti alam yang memberi dan membagi dirinya bagi manusia. Supaya hidupnya  sejahtera.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI