Oleh: Najwa Khabiza Egaikmal -- Content Writer Intern Growth CenterÂ
"I'm still trying everything to get you laughing at me." -- Â Mirrorball, Taylor Swift
Pernahkah kamu melihat seorang teman yang memiliki kesedihan mendalam tentang sesuatu, tetapi berusaha sekuat tenaga untuk tetap tertawa dan bahagia di depan orang banyak? Atau, apakah kamu salah satunya? Jika iya, fenomena ini bernama duck syndrome.Â
Sejak kecil, kita selalu belajar untuk tegar. Saat menangis, kita seringkali diminta untuk segera diam. Hal ini membentuk persepsi negatif terhadap kesedihan. Akhirnya, kita jadi sering mengabaikannya.Â
Duck syndrome adalah fenomena ketika seseorang berusaha terlihat bahagia dan baik-baik saja, padahal sedang berusaha keras menghadapi kesedihan dan struggle di dalam hidupnya. Selayaknya seekor bebek yang berenang dan terlihat baik-baik saja padahal kakinya berusaha keras untuk menopang dan bergerak.
Meskipun hanya sebatas sebutan dan bukan diagnosa klinis, duck syndrome adalah fenomena yang populer terjadi. Pada awalnya, duck syndrome adalah term yang digunakan oleh para mahasiswa di Stanford yang berusaha untuk terlihat santai dibalik kesulitan-kesulitan yang dialaminya selama kuliah.
Hal ini menjadi lebih buruk ketika kita tidak memiliki orang yang kita percaya untuk membagi perasaan dan emosi. Masalahnya, menurut The Southern Cross Healthy Futures Report 2020, hampir separuh generasi muda merasa tidak puas dengan persahabatan, kehidupan sosial, dan kesejahteraan mereka.Â
Oleh karena itu, penting untuk mengenai penyebab, bahaya, dan cara mengatasi duck syndrome, utamanya bagi Milenial dan Gen Z yang menjadi generasi paling aktif dalam mengarungi kehidupan saat ini.
Baca Juga: Pentingnya Support System untuk Menjalani Hidup
Dari mana Duck Syndrome Bermula?
Alasan mengapa orang cenderung menutupi perasaan yang sebenarnya itu beragam. Namun, biasanya mereka melakukan hal demikian karena memiliki anggapan mendasar bahwa masalah mereka tidak cukup serius untuk disedihkan. Apalagi, pemikiran bahwa menunjukkan emosi adalah bentuk kelemahan.Â
Laki-laki adalah kaum yang paling terdampak dengan kepercayaan ini. Sebab, konstruksi sosial menambah beban mereka dalam menutupi perasaan agar tervalidasi 'kuat'. Padahal, makna ketangguhan tidak berlaku demikian.Â
Menurut survei yang dilakukan oleh Ipsos Mori kepada 4.000 laki-laki di berbagai negara, menunjukkan bahwa 76% menyadari bahwa mengekspresikan emosi itu baik bagi kesehatan mental, tetapi 38% diantaranya tetap tidak melakukan itu karena mempertahankan "ketangguhan"
Alasan lain mengapa orang memilih menutupi perasaan sebenarnya adalah pengalaman pahit dari membagi emosi. Biasanya ini berlaku ketika mereka tidak memiliki kemahiran dalam mentransfer perasaan mereka sehingga berakhir menyakiti orang lain dan mengakibatkan konflik. Hal ini membuat mereka menganggap bahwa, pura-pura bahagia dan menutupinya dengan senyuman jauh lebih baik daripada menjadi apa adanya.Â
Oleh karena itu, mereka melakukan sebuah self-defense untuk menjaga agar tidak semakin merasa sakit karena masalah-masalah baru sebuah self-defense.
Selain itu, anggapan bahwa tidak akan ada yang memiliki kepedulian sebesar itu pada hidup mereka. Kebanyakan dari mereka merasa tidak ada yang berniat mendengar dan mengerti. Bahwa setiap orang pasti punya struggle yang sama sehingga lebih baik memendamnya saja dan pura-pura bahagia.Â
Sosial media juga bermain peran tentang bagaimana kita lebih mahir dalam melakukan framing bahagia. Apa yang kita bagikan cenderung memori-memori indah yang ideal. Oleh karena itu, ketika bertemu dengan dunia nyata, kita cenderung berperilaku sama.
Mengapa Pura-pura Bahagia itu Berbahaya?
Menyangkal perasaan seringkali justru membuat perasaan itu terasa lebih kuat, apapun bentuk perasaannya. Jika kita mau mengatakan dengan jujur, mengekspresikan perasaan dan emosi membuat kita merasa jauh lebih baik.Â
Seperti yang ditulis oleh Olivia Remes bahwa hampir separuh dari penderita depresi justru terlihat bahagia. Dalam penelitian lain, 15 sampai 40 persen dari mereka yang depresi mengalami bentuk depresi yang berbeda, yaitu depresi tersenyum.Â
Saat menyapa mereka, mereka terlihat sangat baik, dapat berkomunikasi sebagaimana mestinya, dan tetap engage dengan kegiatan yang dilakukan. Akan tetapi, kenyataannya perasaan mereka sedang down dan terpuruk.Â
Mengapa ini begitu berbahaya untuk kita?Â
Perasaan yang disangkal ini sebenarnya tidak hilang begitu saja. Mereka menjadi tumpukan-tumpukan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak dan lebih merugikan dampaknya.Â
Kamu mungkin saja sewaktu-waktu menjadi sangat sensitif. Seperti marah yang meledak-ledak atau kesedihan yang terlalu mendalam. Hal ini karena kamu tidak berusaha untuk merawat luka-luka yang muncul dan membiarkannya begitu saja.
Lebih parahnya, penelitian juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang menyembunyikan perasaannya akan sulit menjelaskan atau berkomunikasi secara efektif. Tentu ini menjadi dampak yang berkepanjangan bagi kelangsungan hidup, karir, pertemanan, dan sebagainya.
Terus menerus tenggelam dalam duck syndrome, kamu akan memiliki self-esteem yang rendah. Kamu merasa bahwa apapun yang kamu rasakan tidak sepenting itu untuk hubungan pertemanan, keluarga, pekerjaan, pasangan, dan sebagainya. Kenyataan bahwa semua orang memiliki masalah seharusnya tidak menjadikanmu merasa bertanggung jawab untuk selalu tampil baik-baik saja.
Sayangnya, meskipun faktanya para pengidap duck syndrome membutuhkan bantuan, tetapi kadang kala mereka tidak sadar bahwa ada yang salah dari diri mereka. Itulah mengapa memperhatikan teman sesama sangat penting untuk dilakukanÂ
Meskipun terlihat sepele dan selalu bisa menahannya, akan tetapi duck syndrome harus diatasi dengan serius. Sebab, semua dampak yang terjadi dengan terus menerus tenggelam dalam duck syndrome harus dibayar dengan kesejahteraan diri sendiri.Â
---
Mencintai diri sendiri adalah tentang mencintai dan menghargai diri. Salah satu cara untuk menghargainya adalah dengan memvalidasi dan menerima perasaan dan emosi yang muncul. Life is too short to always pretend.Â
Kita tidak perlu menjadi mirrorball yang bersinar menyesuaikan orang lain. Betapa baik dan mewah penghargaan yang kita berikan kepada diri kita saat memperbolehkannya untuk merasa tidak baik-baik saja.Â
Lakukanlah validasi perasaan dan berikan tindakan untuk menyembuhkan apapun yang menyakiti atau membuatnya marah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H