Laki-laki adalah kaum yang paling terdampak dengan kepercayaan ini. Sebab, konstruksi sosial menambah beban mereka dalam menutupi perasaan agar tervalidasi 'kuat'. Padahal, makna ketangguhan tidak berlaku demikian.Â
Menurut survei yang dilakukan oleh Ipsos Mori kepada 4.000 laki-laki di berbagai negara, menunjukkan bahwa 76% menyadari bahwa mengekspresikan emosi itu baik bagi kesehatan mental, tetapi 38% diantaranya tetap tidak melakukan itu karena mempertahankan "ketangguhan"
Alasan lain mengapa orang memilih menutupi perasaan sebenarnya adalah pengalaman pahit dari membagi emosi. Biasanya ini berlaku ketika mereka tidak memiliki kemahiran dalam mentransfer perasaan mereka sehingga berakhir menyakiti orang lain dan mengakibatkan konflik. Hal ini membuat mereka menganggap bahwa, pura-pura bahagia dan menutupinya dengan senyuman jauh lebih baik daripada menjadi apa adanya.Â
Oleh karena itu, mereka melakukan sebuah self-defense untuk menjaga agar tidak semakin merasa sakit karena masalah-masalah baru sebuah self-defense.
Selain itu, anggapan bahwa tidak akan ada yang memiliki kepedulian sebesar itu pada hidup mereka. Kebanyakan dari mereka merasa tidak ada yang berniat mendengar dan mengerti. Bahwa setiap orang pasti punya struggle yang sama sehingga lebih baik memendamnya saja dan pura-pura bahagia.Â
Sosial media juga bermain peran tentang bagaimana kita lebih mahir dalam melakukan framing bahagia. Apa yang kita bagikan cenderung memori-memori indah yang ideal. Oleh karena itu, ketika bertemu dengan dunia nyata, kita cenderung berperilaku sama.
Mengapa Pura-pura Bahagia itu Berbahaya?
Menyangkal perasaan seringkali justru membuat perasaan itu terasa lebih kuat, apapun bentuk perasaannya. Jika kita mau mengatakan dengan jujur, mengekspresikan perasaan dan emosi membuat kita merasa jauh lebih baik.Â
Seperti yang ditulis oleh Olivia Remes bahwa hampir separuh dari penderita depresi justru terlihat bahagia. Dalam penelitian lain, 15 sampai 40 persen dari mereka yang depresi mengalami bentuk depresi yang berbeda, yaitu depresi tersenyum.Â
Saat menyapa mereka, mereka terlihat sangat baik, dapat berkomunikasi sebagaimana mestinya, dan tetap engage dengan kegiatan yang dilakukan. Akan tetapi, kenyataannya perasaan mereka sedang down dan terpuruk.Â
Mengapa ini begitu berbahaya untuk kita?Â
Perasaan yang disangkal ini sebenarnya tidak hilang begitu saja. Mereka menjadi tumpukan-tumpukan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak dan lebih merugikan dampaknya.Â