Kasus kematian Wayan Mirna Salihin (27) karena minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat pada Rabu, 06 Januari 2016 lalu, berujung dengan ditetapkan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka.
Mengapa sebegitu hebat kasus ini menjadi akhirnya perhatian publik? Ada dua alasan; pertama karena kematian Mirna, kedua oleh karena penetapan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka.
Apakah Jessica tega membunuh teman karibnya ini?
Sekalipun Jessica tidak mengaku, bagi polisi pengakuan tidak penting. Jessica ditangkap. Direskrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti beralasan bahwa dari 300 kasus pembunuhan dengan racun yang ada di dunia, 90 persen pelaku tak mengaku.
Selanjutnya polisi terus mencari alat bukti dan mengumpulkan keterangan saksi dan saksi ahli untuk melengkapi berkas perkara kematian Mirna.
Untuk melengkapi dakwaan dan penetapan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka, polisi kemudian melibatkan ahli hipnoterapi dan uji kebohongan dengan lie detector. Sayangnya... hasil yang diperoleh tidak sesuai sebagaimana dengan harapan pihak kepolisian.
Aneh-nya Jessica bisa lolos, padahal empat psikolog yang dilibatkan itu berasal dari psikologi forensik Mabes Polri dan dari luar.
Untuk melengkapi analisis, polisi kemudian melakukan rekonstruksi pada minggu 07 Februari 2016. Lagi-lagi rekonstruksi ini tidak berjalan mulus. Dari 65 adegan, hanya 56 yang diakui Jessica. Sembilan adegan lainnya versi polisi, ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan kenyataan. Polisi tentu bingung, walaupun hal tersebut tidak diakui di depan publik.
Untuk menutupi, polisi kemudian melakukan pemeriksaan kejiwaan Jessica. Pemeriksaan pada Kamis, 11 Februari 2016 melibatkan tujuh ahli kejiwaan. Lima dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dua dari Mabes Polri.
Menurut polisi, pemeriksaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kejiwaan tersangka karena selalu bersikukuh membantah sangkaan dan fakta-fakta yang dimiliki polisi.
Direskrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, pada waktu itu menjelaskan bahwa setelah psikiater ahli mengeluarkan analisa kejiwaan Jessica dan hasilnya senada dengan analisa polisi bahwa Jessica memang benar membunuh Mirna, maka hasil tes kejiwaan akan dibawa ke pengadilan. Hasil itu akan dijadikan sebagai alat bukti yang diharapkan menguatkan dakwaan hakim.
Setelah dirasa cukup, akhirnya berkas perkara Jessica untuk pertama kalinya diserahkan ke Kejati DKI pada Jumat, 19 Februari 2016. Saat itu Krishna Murti berharap berkas-berkas tersebut menjadi bahan bagi jaksa untuk menjebloskan Jessica ke penjara.
Kenyataannya, Kejaksaan menilai berkas tersebut masih belum lengkap alias P-19 dan pada Kamis, 3 Maret 2016 Kejaksaan Tinggi Jakarta Pusat mengembalikan berkas perkara Jessica.
Kaget dan kesal, setidaknya itu gambarannya. Polda Metro Jaya kembali mencari bukti-bukti pelengkap untuk menguatkan bahwa Jessica bersalah atas kasus kematian Mirna. Penyidik menjalin kerja sama dengan polisi Australia untuk mencari rekam jejak kehidupan Jessica dan Mirna selama keduanya menempuh studi di negeri Kanguru.
Bukan cuma sekali, tetapi konon berkas Jessica sempat ditolak sampai empat kali!
Ada apa ini?
Salahkah kalau publik kemudian mengartikan bahwa pihak kepolisian memang tergesa-gesa, kelabakan, hingga terkesan memaksa diri untuk menjerat Jessica?
....
Sidang yang telah di gelar dalam minggu ini menghadirkan keterangan para saksi, berikut dibuka rekaman CCTV. Namun fakta yang terungkap; banyak perbedaan keterangan saksi atau isi rekaman dengan berkas dakwaan?
Seperti kita ketahui bersama, hasil forensik menyimpulkan bahwa kematian Wayan Mirna Salihin disebabkan oleh racun Sianida yang terdapat pada es kopi Vietnam.
Polisi menetapkan Jessica sebagai pelaku, dengan dakwaan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Dalam dakwaan disebutkan bahwa Jessica membunuh korban dengan cara memasukkan racun ke dalam minuman kopi Mirna lantaran sakit hati.
Namun dari keterangan para saksi dan juga rekaman CCTV, tidak ditemukan fakta kuat yang membuktikan bahwa Jessica sebagai pelakunya.
Dari fakta-fakta persidangan di atas, muncul banyak pertanyaan, bahkan sedikit liar atas dakwaan kepada Jessica.
Apakah polisi sudah bekerja secara profesional dalam menyimpulkan Jessica sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kematian Mirna atau lebih berdasarkan pada keterangan ayah Mirna, Pak Darmawan Salihin?
Darmawan Salihin, ayah Mirna adalah pengusaha sukses, kalau tidak salah mempunyai 6000-an karyawan. Artinya Pak Darmawan Salihin orang kaya.
Di negeri ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa uang kadang bisa membeli semuanya, termasuk perkara. Salah menjadi benar, benar menjadi salah itu sudah biasa dalam kasus hukum di Indonesia.
Seandainya saya adalah Darmawan Salihin, siapa sih yang tidak geram dan sakit hati kalau anak kandung mati dengan cara begini?
Maksud saya seharusnya dalam menyikapi kasus ini, keluarga, semuanya dipercayakan kepada pihak kepolisian saja. Biarkan polisi bekerja dengan profesional untuk mengungkap fakta.
Pak Darmawan Salihin seharusnya mampu mengontrol emosi dan tidak terkesan blak-blakan di media, apalagi terlalu mendahului aparat penegak hukum.
Kasus kematian Mirna memerlukan bukti, bukan cuma berkeyakinan tanpa didukung bukti yang tidak terbantahkan. Kalau bukan Jessica, bagaimana Pak?
Kalau kejahatan mendekati sempurna, apakah bisa ditafsirkan bahwa ada kemungkinan bahwa pihak kepolisian juga bisa salah?
Semoga kebenaran terkuak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H